Ganti Kerugian Oleh Negara Terhadap Korban Kejahatan (Bagian I)

Tuesday, May 24, 2011

Ganti Kerugian Oleh Negara Terhadap Korban Kejahatan Dalam Perspektif Politik Hukum Pidana dan Perlindungan Korban di Indonesia

(Dari Konsepsi Teoritis Menuju Artikulasi Empiris)

A.  Latar Belakang
 
Adanya suatu kesepakatan untuk hidup bersama dalam satu kelompok bangsa dan negara, pada hakekatnya merupakan kesepakatan dari warga masyarakat untuk memberikan mandat kepada negara. Mandat yang diberikan tersebut termasuk pula dalam hal untuk mengadakan aturan-aturan mengenai pola tingkah laku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, agar terciptanya tatanan kehidupan yang teratur, aman, dan sejahtera. Dalam konteks inilah setiap aturan hukum yang dibentuk oleh penguasa negara pada dasarnya merupakan perwujudan bentuk perlindungan negara terhadap warga mayarakatnya.

Kesepakatan yang sama pun terjadi pada pola kehidupan bernegara di Indonesia. Bahwa berdirinya negara Indonesia dengan mendasarkan pada prinsip negara hukum, merupakan awal munculnya keharusan bagi para penguasa negara untuk mengatur dan menjamin ketertiban masyarakat. Dari sini pula lah timbul kewajiban negara untuk memberikan perlindungan yang maksimal, baik terhadap kesejahteraan secara material maupun spiritual kepada masyarakatnya.

Adanya jaminan perlindungan dari negara terhadap masyarakat ini harus berlaku secara meluas, dalam arti bahwa perlindungan yang diberikan tidak hanya terbatas pada ancama dan gangguan yang berasal dari dalam negeri saja, akan tetapi juga terhadap ancaman yang berasal dari luar negeri yang dapat membahayakan dan mengancam keamanan jiwa dan raga masyarakat. Perlindungan ini harus diberikan negara kepada masyarakat baik terhadap masyarakat dalam suatu kelompok maupun secara individu.

Salah satu bentuk wujud tanggung jawab negara atas perlindungan terhadap masyarakatnya, adalah dengan memberikan jaminan dan tindakan nyata yang melindungi masyarakatnya dari segala bentuk kejahatan atau perbuatan-perbuatan menyimpang lainnya yang mungkin di alami oleh masyarakat. Di awal telah disebutkan bahwa negara memiliki kewajiban untuk melindungi warganya dalam segala keadaan dan atas tantangan dari manapun, hal ini berarti menunjukan bahwa negara lebih berkewajiban lagi untuk memberikan perlindungan kepada warganya yang berada dalam keadaan yang tidak wajar. Maksud tidak wajar disini adalah dalam hal warga menjadi seorang korban dari perbuatan menyimpang atau kejahatan.

Dalam konteks negara hukum, upaya perlindungan dari kejahatan terhadap masyarakat di mulai dengan mengeluarkan aturan-aturan hukum yang mengatur dan melarang perbuatan-perbuatan bersifat kejahatan, aturan ini kemudian di kenal dengan istilah Hukum Pidana. Di Indonesia sendiri hukum pidana tersebut dikodifikasi dalam suatu bentuk Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau yang lazim disingkat dengan KUHP. Dalam KUHP inilah tertuang bentuk perlindungan awal terhadap masyarakat, baik perlindungan yang bersifat fisik maupun fsikis, termasuk juga perlindungan terhadap harta benda dan kekayaan masyarakat. Pada intinya, KUHP melarang dan memberikan ancaman hukuman pidana kepada siapa saja yang mengganggu, mengurangi bahkan menghilangkan hak jiwa, raga, keamanan dan kekayaan warga masyarakat.

Secara umum, dalam KUHP sekarang ini tidak ditemui adanya pengaturan tentang pemberian ganti rugi bagi korban kejahatan baik sebagai pidana pokok maupun sebagai pidana tambahan. Hanya ada suatu kemungkinan untuk adanya ganti rugi pada korban atau keluarganya bilamana hakim menjatuhkan pidana bersyarat dan dalam putusan hakim tersebut dicantumkan pemberian ganti rugi kepada korban sebagai salah satu syarat yang harus dilaksanakan oleh terpidana.

Kemungkinan lainnya bagi korban kejahatan atau keluarganya untuk memperoleh ganti rugi, dalam penegakan hukum pidana adalah manakala dilakukan permohonan penggabungan ganti kerugian ke dalam proses pemeriksaan perkara pidana, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 98 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Dewasa ini, terdapat kecenderungan bahwa masalah korban dibahas secara tersendiri dan terperinci dalam ilmu viktimologi dan bukan merupakan cabang lmu dari kriminologi melainkan membentuk cabang ilmu tersendiri. Akan tetapi antara Viktimologi dan Kriminologi, akan selalu terdapat hubungan yang kesinambungan dan saling mempengaruhi.

Dalam kajian viktimologi, bahwa korban selalu menjadi pihak yang paling dirugikan. Bagaimana tidak, selain korban telah menderita kerugian akibat kejahatan yang menimpa dirinya, baik secara materiil, fisik maupun psikologis, korban juga harus menanggung derita berganda karena tanpa disadari sering diperlakukan hanya sebagai sarana demi terwujudnya sebuah kepastian hukum, misalnya harus kembali mengemukakan, mengingat bahkan mengulangi (merekonstruksi) kejahatan yang pernah menimpanya pada saat sedang menjalani proses pemeriksaan, baik di tingkat penyidikan maupun setelah kasusnyadi periksa di pengadilan.

Keberpihakan hukum terhadap korban yang terkesan timpang jika dibandingkan dengan tersangka (terdakwa), terlihat dari adanya beberapa peraturan perundang-undangan yang lebih banyak memberikan ”hak istimewa” kepada tersangka (terdakwa) dibandingkan kepada korban.

Pada saat seseorang diduga melakukan kejahatan, sejak saat yang bersangkutan dimintai keterangan hingga vonis dijatuhkan oleh hakim, perlindungan hukum terhadap tersangka (terdakwa) senantiasa melekat. Pada saat orang tersebut ditangkap, maka harus disertai dengan surat penangkapan sekaligus menyebutkan kejahatan apa yang dituduhkan, ketika dalam proses penyidikan tersangka diperkenankan didampingi oleh penasihat hukum, begitu pula pada saat tersangka ditahan, maka masa penahanannya dibatasi untuk jangka waktu tertentu. Bahkan, setelah orang tersebut (terdakwa) divonis oleh hakim, masih diberi kesempatan untuk mengajukan upaya hukum lain, seperti banding, kasasi dan peninjauan kembali. Hal tersebut tentu menumbulkan kesenjangan secara normatif, hingga pada akhirnya menjadi pemicu ketidak percayaan masyarakat terhadap hukum pidana itu sendiri.

Tidak diatur secara rincinya masalah perlindungan korban dalam hukum pidana, baik hukum pidana materil maupun formil, akhirnya mendorong masyarakat untuk melakukan perbuatan main hakim sendiri (eigenrichting). Terutama dalam kasus tindak pidana penganiayaan, kecenderungan masyarakat lebih memilih jalur informal dalam arti menyelesaikan permasalahan dengan tata cara yang tidak baku di luar pengadilan. Misalanya pada kasus penganiayaan, masyarakat lebih memilih untuk memberikan tekanan represif kepada pelaku agar pelaku mau mengganti kerugian matreri dan imateri kepada korban, seperti biaya pengobatan dan biaya-biaya santunan. Pada akhirnya, prak tek seperti ini memang bisa menjadi lebih efektif, akan tetapi dari segi kepastian hukumnya tentu praktek seperti itu tidak dapat memberikan kepastian hukum baik kepada pelaku terutama kepada korban.

Dalam perkembangannya, perturan perundang-undangan di Indonesia sedikit demi sedikit memperhatikan permasalahan tersebut. Miasalnya dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Peradilan Hak Asasi Manusia, kemudian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tinak Pidana Terorisme, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Akan tetapi dari seluruh peraturan perundang-undangan yang ada tersebut, masih dirasakan kurang memperhatikan dan memberikan hak-hak seperti ganti rugi kepada seorang korban.

Setelah sekian lama banyak pihak menunggu lahirnya undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai perlindungan saksi dan korban, akhirnya pada tanggal 11 Agustus 2006, Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, disahkan dan diberlakukan. Sekalipun beberapa materi dalam undang-undang ini masih harus dilengkapi dengan peraturan pelaksanaan. Akan tetapi dari beberapa ketentuan dalam peraturan perundang-udangan ini pun masih dirasakan tidak cukup fundamental mengatur dan memberikan jaminan perlindungan terhadap korban suatu kejahatan.

(Bersambung)

_____
Penulis: CSA Teddy Lesmana
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Jambi