Mengaudit kinerja tim Detasmen Khusus (Densus) 88 menjadi bentuk pertanggungjawaban kepada publik
PENANGKAPAN terduga teroris oleh Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Mabes Polri acapkali memunculkan kekhawatiran terjadinya pelanggaran hukum dan HAM. Seperti di Sukoharjo, terduga teroris Sigit Qordowi dan Hendro Yunianto tewas tertembus peluru tim Densus. Nur Iman, warga di kampung tempat penggerebekan itu, yang sehari-hari berjualan hik, tewas terkena peluru nyasar.
Tewasnya terduga teroris saat penangkapan dan jatuhnya korban jiwa anggota masyarakat akibat peluru nyasar memunculkan penilaian perlunya mengaudit kinerja Densus. Termasuk ranah ini adalah penilaian terhadap berbagai upaya paksa Densus dalam membongkar terorisme, misalnya asal tangkap, tidak menjunjung asas praduga tak bersalah, dan tidak mempertimbangkan berbagai risiko traumatik keluarga terduga teroris, termasuk bagi anak mereka, yang tidak tahu-menahu kesalahan orang tuanya.
Karenanya, penangkapan terduga teroris yang berujung pada kematian memunculkan dua pendapat. Pertama; Polri selalu mengklaim bahwa tindakannya sudah sesuai prosedur. Wajar bila dalam penangkapan itu terjadi perlawanan, dan polisi mendasarkan pada standar operasional prosedur. Seandainya harus menggunakan senjata api maka dilakukan secara terukur dan proporsional.
Kedua; ada pihak lain menuduh tindakan Polri cenderung ceroboh dengan mengabaikan hak-hak sipil dan mengesampingkan asas praduga tidak bersalah. Padahal penangkapan secara hidup-hidup terduga teroris justru menguntungkan karena polisi bisa mengungkap jaringannya.
Dalam konteks tewasnya dua terduga teroris di Sukoharjo ini, Direktur JAT Media Centre Son Hadi seperti dikutip eramuslim.com (14/05/11) mengatakan tindakan Densus sudah termasuk brutal dan tidak bisa dibiarkan karena melakukan extrajudicial killing, yaitu pembunuhan di luar cara-cara yang dibenarkan hukum.
Dua pendapat yang saling bersilangan ini tentunya mempunyai dasar pembenaran masing-masing sehingga diperlukan langkah moderat. Bila dibiarkan berlarut-larut bisa memunculkan potensi dan stigma tertentu terhadap kinerja Densus ataupun stigma terhadap pihak yang menganggap kinerja Densus keluar dari jalur hukum. Jangan sampai pemberantasan terorisme justru terperangkap dalam persemaian benih-benih ketidaksepahaman dan kecurigaan.
Diuji secara Ilmiah
Aksi terorisme merupakan perbuatan yang tidak bisa ditoleransi sehingga bila sedikit saja terbuka celah sikap toleran akan menjadi preseden buruk pada masa mendatang. Seperti dikatakan Direktur Setara Institute Hendardi, intoleransi merupakan akar dari terorisme karena itu memberantas terorisme berarti menekan perilaku intoleransi di tengah masyarakat.
Karenanya, mengaudit kinerja Densus menjadi bentuk pertanggungjawaban kepada publik. Pertanggungjawaban ini menjadi hal siginifikan dalam kaitannya dengan kepercayaan masyarakat bahwa kinerja Densus memang bisa dibanggakan.
Maka menjadi keniscayaan dan ditunggu tindak lanjutnya pernyataan Kapolda Jateng Irjen Pol Edward Aritonang, sesaat setelah tertembaknya dua terduga teroris dan seorang warga di Sukoharjo yang menegaskan bahwa peluru yang menewaskan warga itu bukan dari tim Densus. Semuanya akan dipertanggungjawabkan secara scientific crime identification (SCI).
Pengungkapan perkara dengan standar SCI sudah diakui dunia internasional karena baik metode maupun pembuktiannya bisa diuji secara ilmiah sehingga bisa untuk mengkaji kebenaran material perkara tersebut.
Bentuk transparansi ini juga perlu ditunjukkan kepada masyarakat tentang keterlibatan terduga teroris, peran yang dilakukan dan sepak terjangnya selama ini supaya masyarakat mengetahui secara jelas. Kadang masyarakat tidak memercayai sepak terjang seseorang yang ditangkap Densus, bila dikaitkan dengan keseharian mereka yang tidak menunjukkan ciri-ciri atau perilaku teroris.
Keberhasilan Densus 88 mengeliminasi gerakan terorisme yang diakui dunia internasional akan lebih diapresiasi oleh semua elemen bangsa, bila Densus tetap berada dalam rule of the game. Karena itu, sekecil apapun risiko atas kemungkinan terjadinya tindakan yang menyalahi undang-undang atau melawan hak seseorang, harus dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. (*)
(*)Oleh: Herie Purwanto
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pekalongan (Unikal)
(Sumber : Suara Merdeka, 20 Mei 2011)