Cross Default dan Cross Collateral Sebagai Alternatif Penyelesaian Kredit

Monday, May 23, 2011

Berdasarkan ketentuan UU No. 7 tahun 1992 sebagaimana yang telah diubah dengan UU No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan, salah satu usaha bank umum adalah memberikan kredit. Artinya, memberikan kredit adalah salah satu kegiatan Bank untuk memperoleh laba/untung dengan cara penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan-kesepakatan pinjam-meminjam antara Bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

Berdasarkan hal tersebut, Bank dapat memberikan kredit kepada debitur apabila terlebih dahulu diadakan persetujuan atau kesepakatan. Mengenai persetujuan atau kesepakatan harus memenuhi persyaratan sebagaimana yang dimuat dalam ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata yang dapat dibagi dalam 2 (dua) klasifikasi, yaitu:

1. Syarat subyektif yang terdiri dari sepakat dan kecakapan; dan
2. Syarat obyektif yang terdiri dari suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal

Apabila persyaratan diatas telah terpenuhi, maka pemberian kredit kepada debitur dapat dilaksanakan dalam bentuk akta notaril. Dan biasanya Bank lebih memberanikan diri memberikan kredit dalam bentuk modal kerja. Karena kredit modal kerja telah teruji penggunaannya dimana debitur mampu mengembalikan kredit dalam jangka waktu yang telah disepakati dan meminimalisir terjadinya cedera janji atau wanprestasi.

Oleh karena itu, untuk lebih meyakinkan pengembalian kredit tersebut, maka Bank biasanya meminta jaminan kepada debitur. Jaminan tersebut dapat berbentuk benda tidak bergerak maupun benda bergerak yang mana bila benda tersebut tidak bergerak maka akan dilekatkan hak tanggungan, sementara bila benda bergerak maka dilekatkan jaminan fidusia.

Meskipun demikian, risiko kredit macet akan selalu ada. Oleh karena itu Bank sedini mungkin harus mengantisipasi supaya kredit macet tidak terjadi termasuk didalamnya bagaimana menyelamatkan kredit yang telah diberikan. Menurut Rachmadi Usman, S.H., ada beberapa bentuk dari penyelematan kredit yang dapat dilakukan oleh Bank, yaitu:

1. Penjadwalan kembali (rescheduling), yaitu perubahan syarat kredit yang hanya menyangkut jadwal pembayaran dan/atau jangka waktunya;
2. Persyaratan kembali (reconditioining), yaitu perubahan sebagian atau seluruh syarat kredit, yang tidak terbatas pada perubahan jadwal pembayaran, jangka waktu, dan/atau persyaratan lainnya sepanjang tidak menyangkut perubahan maksimum saldo kredit-kredit;
3. Penataan kembali (restructuring), yaitu perubahan syarat-syarat kredit yang menyangkut: penambahan dana bank dan/atau konversi seluruh atau sebagian tunggakan bunga menjadi pokok kredit baru dan atau konversi seluruh atau sebagian dari kredit menjadi penyertaan dalam perusahaan, yang dapat disertai dengan penjadwalan kembali dan/atau persyaratan kembali.

Sementara, menurut Dr. Johannnes Ibrahim, S.H., M.H untuk menyelamatkan kredit, perlu ditempuh beberapa hal yaitu:

1. Penjadwalan Kembali ( Reschedulling), dengan cara memperpanjang jangka waktu kredit dan memperpanjang jangka waktu angsuran;
2. Penyesuaian Kembali (Reconditioning), dengan cara mengubah berbagai persyaratan seperti kapitulasi bunga, penundaan pembayaran bunga sampai waktu tertentu, penurunan suku bunga, dan pembebasan bunga,
3. Restrukturisasi (restructuring), dengan cara menambah jumlah kredit, menambah equity dilakukan dengan menyetor uang tunai atau tambahan dari pemilik.
4. Kombinasi

Bila langkah-langkah penyelamatan kredit diatas tidak berhasil, maka alternatif penyelesaian kredit dapat dilakukan dengan mengadopsi sistem Cross Default dan Cross Collateral yang dimuat dalam perjanjian kredit. Menurut Dr. Johannnes Ibrahim, S.H., M.H klausula Default dan Collateral adalah dengan dibuktikan adanya kelalaian dari debitur, maka Bank dapat menyelesaikannya pinjaman dengan jaminan yang tersedia, baik dengan pengimpasan (set-off) atau akta penyelesaian pinjaman.

Bentuk klausula Cross Default dan Cross Collateral dapat dilihat dalam perjanjian kredit yang bunyinya sebagai berikut:

“…… ketentuan dalam ayat ini berlaku secara Cross Default dengan hutangnya pihak pertama berdasarkan…………”

“…… Jaminan-jaminan tersebut diatas juga akan dijaminkan secara Cross Collateral dengan hutangnya pihak pertama kepada Bank berdasarkan…….”

Oleh karena itu, apabila Bank hendak menerapkan klausula Cross Default dan Cross Collateral, Bank harus memperhatikan terlebih dahulu secara hati-hati mengenai jaminan kredit agar nilai jaminan tersebut cukup menutup pinjaman. Untuk itu perlu dilakukan laporan penilaian (Appraisal Report) terhadap jaminan yang dilakukan oleh kantor Jasa Penilai Publik yang biasanya berpedoman pada metode/prosedur dan Kode Etik Penilaian Indonesia (KEPI) dan Standar Penilaian Indonesia (SPI) yang dikeluarkan oleh Gabungan Perusahaan Penilaian Indonesia (GAPPI) dan Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI).

Bila hal ini telah dilakukan, maka pengimpasan dengan jaminan yang tersedia akan menutupi pinjaman yang telah dikucurkan Bank kepada debitur. Begitu juga dengan akta penyelesaian kredit. Debitur hanya cukup menyerahkan jaminan yang tersedia untuk menutupi pinjamannya. Sehingga dengan demikian, maka selesailah penyelesaian kredit antara Bank dengan debitur diluar langkah hukum litigasi dan mengesampingkan langkah-langkah hukum di Pengadilan yang tingkat akselerasinya terkenal lambat.(*)


(*) Oleh: Rolas Tampubolon
Advokat dan Konsultan Hukum Perbankan