Renaisans Indonesia

Monday, May 23, 2011

20 Mei 2011, terasa menjadi momen spesial bagi sejarah panjang bangsa Indonesia dalam merengkuh manisnya sebuah kemerdekaan dari kaum penjajah. Betapa tidak, momen tersebut menjadi titik balik kebangkitan para pemuda Indonesia yang berjuang dengan segala daya dan kekuatan dalam merealisasikan dambaan bangsa agar terbebas dari belenggu penjajahan. Itulah mengapa, semangat nasionalisme anak muda perlu ditumbuhkan kembali sehingga bisa mencapai cita-cita ideal bangsa kita, yakni kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara keseluruhan.

Sebagai sebuah gerakan pembaruan, nasionalisme akan mencapai idealismenya yang sangat fundamental bila sudah terbentuk masyarakat madani (civil society) yang menjadi cita-cita bersama. Istilah ‘masyarakat madani’ sebenarnya bermula dari gagasan Dato Anwar Ibrahim, ketika menjabat sebagai Menteri Keuangan dan Asisten Perdana Menteri Malaysia. Dan ketika itu, ia ke Indonesia membawa istilah masyarakat madani sebagai terjemahan civil society.

Gagasan ini merupakan sebuah perwujudan dalam membangun sebuah bangsa yang benar-benar maju di setiap sektor pembangunan. Seperti halnya masa kejayaan yang telah dicapai oleh Rasulullah, yang mampu membawa umat Islam dalam sebuah kehidupan yang sejahtera dan demokratis. Hal ini telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad, sehingga John E Esposito (1990) berpendapat tentang psikologi Madinah kala itu yang mampu memperlihatkan kristalisasinya sebagai sebuah sistem sosio-politik.

Dengan demikian, masyarakat madani adalah sebuah gagasan tentang masyarakat ideal. Di mana civil society yang hingga kini masih belum ditemukan terjemahannya yang tepat itu adalah bagian dari masyarakat madani. Di sini, civil society diartikan sebagai suatu ruang publik yang independen dari negara, sehingga masyarakat madani dapat dipahami dalam kerangka yang lebih luas, termasuk pada fungsi negara dan masyarakat. Yakni, pertama, meniadakan ketidakadilan dan kesenjangan dalam masyarakat. Kedua, melindungi kepentingan penduduk yang universal, di mana kepentingan tersebut meliputi elemen sipil-politik dan sosial.

Terbentuknya masyarakat madani dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, pada dasarnya merupakan cita-cita bersama untuk mewujudkan masyarakat yang berkeadaban dan berperadaban. Menurut Nurcholis Madjid (1999) dalam bukunya Cita-Cita Politik Islam, terbentuknya masyarakat madani adalah bagian mutlak dari wujud cita-cita kenegaraan, yakni mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Karena itulah, pembentukan masyarakat madani harus dipahami sebagai sebuah cita-cita untuk mewujudkan kebangsaan modern (modern nation state) yang demokratis, merdeka, inklusif, dan kosmopolit. Ketika dicetuskan Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928, telah ditunjukkan bahwa kristalisasi wawasan kebangsaan modern tersebut berwatak membebaskan. Peradaban yang dicita-citakan oleh seluruh bangsa Indonesia memunculkan stigma positif untuk kemajuan bangsa ke arah yang lebih demokratis.

Maka, tidak berlebihan kalau peradaban yang ideal akan mampu membangun bangsa dalam kemajuan yang signifikan. Itulah mengapa, Sufyanto (2000) menilai bahwa perspektif masyarakat madani di Indonesia dirumuskan secara sederhana, yaitu membangun masyarakat yang adil, terbuka, dan demokratis, dengan landasan Tuhan. Ditambah lagi dengan nilai sosial yang luhur seperti toleransi, dan juga pluralisme adalah merupakan kelanjutan nilai-nilai keadaban. Sebab, toleransi dan pluralisme adalah wujud ikatan keadaban (bond of civility).

Pluralisme tidak bisa dipahami dengan mengatakan bahwa masyarakat majemuk, beraneka ragam, terdiri atas berbagai suku dan agama, justru hanya mendeskripsikan kesan fragmentase, bukan pluralisme. Pluralisme tidak bisa dipahamami hanya sebagai kebaikan negatif (negative good), yang hanya ditilik dari kegunaan menyingkirkan fanatisme (to keep fanatism at boy). Akan tetapi, dalam pandangan Ahmad Baso (2002), pluralisme harus dipahami sebagai pertalian sejati kebinekaan dalam ikatan keadaban (genuine engagement of diversities within the bond of civility).

Dalam konteks modernisasi saat ini, cita-cita kemajemukan (the idea of progress) bangsa yang berbasis peradaban perlu diijtihadi secara sungguh-sungguh agar pengembangan kondisi masyarakat dan bangsa pasca-Orde Baru segera direalisasikan untuk menuju masyarakat madani. Sebab, semakin majemuk struktur masyarakat, kehadiran dan berfungsinya masyarakat madani semakin diperlukan.


Reaktualisasi masyarakat madani

Dalam hal ini, ada tiga poin penting yang perlu dikemukakan, kaitannya dengan revitalisasi nasionalisme dalam membangun masyarakat madani. Pertama, menghidupkan dan mengembangkan secara terus-menerus wacana pluralisme di tingkat publik sebagai dasar pemahaman nasionalisme. Dalam hal ini, konseptualisasi nasionalisme merupakan anugrah Tuhan, karena tentu saja kekayaan kebangsaan Indonesia yang berupa suku, agama, ras, dan antargolongan relatif bisa dipelihara dalam kerangka kesatuan bangsa.

Kedua, meyakinkan bahwa pluralisme selain berpeluang menciptakan konflik (hal ini cenderung terjadi dalam iklim politik yang monolitik), tetapi juga dapat menjadi energi besar bagi proses pembetukan civil society menuju ke arah demokratis. Cita-cita ini menjadi instrumen positif bagi pembangunan masyarakat madani yang benar-benar memenuhi kriteria bangsa yang tamaddun.

Ketiga, kenyataan ini sesunguhnya memberikan isyarat bagi otonomi kepada masyarakat, dari cara berpikir sampai bertindak melalui penyemaian media-media komunikasi di tingkat lokal sebagai basis pembentukan kesadaran. Dengan bentuk kesadaran, semangat nasionalisme yang merupakan psychological state of mind harus selalu dibangkitkan dan dihidupkan. Jelas kiranya bahwa nasionalisme Indonesia, seperti nasionalisme negara Asia Tenggara lainnya, mempunyai basis historis pada kolonialisme. Dan karena itu, antikolonialisme merupakan kekuatan pengimbangnya. (Heru Nugroho, 2003).

Pada titik inilah, gagasan masyarakat madani perlu mendapatkan perhatian secara khusus (special attention) dari pihak pemerintah, agar potensi untuk membangun sebuah bangsa yang integral dapat terwujud. Menurut Prof Dr Suhartono (2000), perkembangan nasionalisme di Indonesia dalam segala perwujudannya adalah berlandaskan kesadaran, sentimen bersama, dan keinginan berjuang untuk kebebasan rakyat dan wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dengan demikian, implementasi nasionalisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, pada perkembangan selanjutnya dapat menjadi pendorong (motivator) timbulnya kesadaran masyarakat. Inilah yang digunakan dan dimobilisasi sebagai kekuatan nasionalisme. Dalam hal ini, nasionalisme ingin mengembalikan the human dignity, yaitu harga diri dan martabat manusia yang tereliminasi dari permukaan karena adanya kolonialisme dan imprialisme yang berkepanjangan. (*)


(*) Oleh: Mohammad Takdir Ilahi
Staf Riset The Mukti Ali Institute Fakultas Ushuluddin UIN Yogyakarta.

(Sumber: Republika , 20 Mei 2011)