PENDAHULUAN
Krisis moneter yang dimulai sejak pertengahan tahun 1997, sangat memukul secara luar biasa sebagian besar dunia usaha. Dunia usaha bagaikan “kiamat” dengan melonjaknya harga dolar sampai sekitar empat kali lipat dan bunga bank sekitar 60% pertahun. Seluruh badan usaha yang mengandalkan pinjaman dalam dolar maupun pinjaman dari bank “mati suri”. Harga-harga saham berjatuhan dibursa dari harga ribuan rupiah perlembar, turun menjadi dua ratus rupiah bahkan ada yang Rp. 50/lembar. Sedikit sekali badan usaha yang bisa survive pada waktu itu, khususnya yang tidak mengandalkan pinjaman dolar dan pinjaman bank. Padahal pinjaman luar negeri dan bank pada waktu itu sangat mudah didapat. Kreditor luar negeri yang mencari dan menawarkan pinjaman, bukan debitur yang perlu dana. Situasi sebelum krismon sangat bertolak belakang dengan situasi dewasa ini, dimana mencari pinjaman sangat sulit didapat.
Akibat dampak yang luar biasa tersebut pada dunia usaha, Pemerintah RI dengan IMF sepakat bahwa salah satu theraphy yang harus dilakukan adalah menghidupkan kembali peraturan kepailitan. Peraturan kepailitan yang lama, yaitu Staatsblad tahun 1905 No. 217 juncto Staadsblad tahun 1906, No. 348, di up grade secara darurat dan mulai diberlakukan sejak bulan Agustus 1998. Peraturan kepailitan yang baru tersebut dikenal dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1 tahun 1998, karena DPR dan Pemerintah belum sempat membuatnya dalam bentuk Undang-undang. Setelah DPR bersidang, kemudian ditetapkan menjadi Undang-undang berdasarkan Undang-undang No. 4 tahun 1998. Terakhir kalinya setelah dilakukan perubahan dalam rangka penyempurnaan telah diterbitkan Undang-undang No. 37 tahun 2004, tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Perpu No. 1 tahun 1998 tersebut diharapkan menjadi suatu “pedang demokles” yang memisahkan antara badan usaha yang sehat dengan dunia usaha yang sakit. Dunia usaha yang sehat dibiarkan hidup dan berkembang, sedangkan dunia usaha yang sakit dimatikan bilamana dianggap tidak bisa disehatkan.
Akibat banyaknya badan usaha atau orang yang bangkrut, karena tidak dapat bayar utangnya akan menimbulkan dampak domino. Suatu perusahaan atau orang yang kreditnya macet, akan menulari krediturnya yang lain karena tagihan tidak terbayar. Padahal kreditur sudah mengalokasikan dana tagihan tersebut pada mitra dagangnya yang lain. Dalam banyak hubungan bisnis yang demikian sering terjadi, sehingga badan usaha yang lain yang sehat dan tidak mengandalkan pinjaman dari bank maupun pinjaman dolar, keuangannya menjadi terikut tidak sehat pula.
Debitur pailit yang punya banyak kreditur juga akan menimbulkan kekacauan hukum dan cenderung akan menyelesaikan tagihannya dengan caranya sendiri-sendiri, sehingga potensial melanggar hukum. Upaya hukum kreditur dengan berbagai cara, tidak bisa dihindarkan. Pengajuan tuntutan oleh kreditur melalui Pengadilan Negeri, Arbitrasi, perburuhan dan bahkan pengambilan barang-barang debitur pailit dengan cara parate eksekusi akan menimbulkan kekacauan hukum dan tidak adil. Undang-undang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang memberikan jawaban untuk mengatasi permasalahan tersebut untuk kepentingan kreditur, debitur, karyawan, masyarakat dan pihak ketiga lainnya.
PENGERTIAN KEPAILITAN
Pailit adalah situasi dimana terhadap harta kekayaan seseorang atau badan usaha dilakukan sita umum, dimana pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas Pengadilan Niaga (pasal 1 UU No. 37, tahun 2004). Dalam pailit, debitur pailit dianggap tidak cakap lagi mengurus harta kekayaannya, dan pengurusannya diambil alih oleh kurator.
Suatu badan usaha atau orang, tidak akan pernah dinyatakan pailit, bilamana tidak ada utang. Utang adalah faktor utama untuk menyatakan debitur, pailit. Utang yang dimaksud adalah segala kewajiban yang timbul akibat perjanjian maupun undang-undang yang dapat dinyatakan dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing (Pasal 1, butir 6 UU No. 37 tahun 2004). Sebelum diterbitkannya Undang-undang No. 37 tahun 2004, defenisi utang belum ada sehingga ada beberapa putusan Pengadilan Niaga yang membatasi pengertian utang hanya yang bersumber dari perjanjian pinjam meminjam. Jumlah utang tidak dipersyaratkan. Berapapun jumlahnya tidak ada pembatasan, yang penting utang dapat dibuktikan.
Dalam putusan pailit dipersyaratkan debitur yang dinyatakan pailit, harus mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang jatuh waktu dan dapat ditagih, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya (Pasal 2, ayat 1, UU No. 37 tahun 2004). Setiap debitur yang diajukan pailit pada Pengadilan Niaga yang telah memenuhi persyaratan dalam pasal 2, ayat 1, UU No. 37 tahun 2004, dinyatakan pailit dengan segala akibat hukumnya. Memang dalam pasal 2 ayat 3 s/d pasal 5, yaitu lembaga Bank, Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun dan BUMN yang bergerak dalam kepentingan Publik, tidak dapat diajukan langsung oleh kreditur, melainkan wajib diajukan oleh instansi yang ditunjuk dalam pasal tersebut. Pemohon pailit dalam UU No. 37 tahun 2004, tidak lagi terbatas pada kreditur konkuren, tetapi kreditur separatis dan kreditur istimewa juga dapat mengajukan kepailitan terhadap debitur tanpa kehilangan hak jaminan dan atau hak istimewanya.
PENGERTIAN PKPU
Debitur yang tidak dapat atau memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, dapat mengajukan permohonan PKPU dengan maksud diberikannya kesempatan untuk melakukan restrukturisasi dan reorganisasi guna membayar seluruh utang atau sebagian utang pada kreditur konkuren. (pasal 222 UUP)
Pengajuan PKPU hanya dapat dilakukan debitur dan disyaratkan juga minimal mempunyai paling sedikit 2 kreditur. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dimaksudkan untuk kepentingan bersama debitur maupun kreditur. Tujuan PKPU untuk debitur adalah diberikannya waktu dan kesempatan untuk menjadwalkan utang-utangnya karena usaha debitur masih potensial. Dan pihak kreditur juga harus mampu mempertimbangkan bahwa dengan dipailitkannya debitur pada saat ini akan membawa hasil lebih sedikit dibandingkan pembayaran yang dilakukan debitur bilamana diberikan kesempatan PKPU.
Berbeda dengan kepailitan, dalam PKPU debitur masih berwenang untuk mengurus dan mengalihkan harta-hartanya, asalkan dilakukan bersama-sama dengan pengurus.
Permohonan PKPU diajukan berdasarkan kemauan debitur sendiri, atau dapat pula terjadi karena reaksi debitur atas permohonan pailit yang diajukan oleh kreditur.
Jika permohonan PKPU tersebut diajukan terhadap reaksi debitur atas permohonan pailit kreditur, permohonan PKPU harus diajukan sebelum putusan pailit dijatuhkan. Jika permohonan PKPU diajukan debitur selama pailit belum diputus, maka hakim wajib memeriksa dan memutus PKPU terlebih dahulu.
AKIBAT KEPAILITAN
Suatu badan usaha atau orang yang pailit, antara lain mempunyai implikasi hukum sbb:
Debitur kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya, termasuk segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan, terhitung sejak hari dan tanggal putusan pailit diucapkan (Pasal 21 dan pasal 24 UUP). Untuk pemenuhan kebutuhan minimal debitur, dikecualikan beberapa harta benda dalam pasal 22 UUP.
Semua perikatan debitur yang terbit sesudah putusan pernyataan pailit tidak lagi dapat dibayar dari harta pailit, kecuali perikatan tersebut menguntungkan harta pailit (Pasal 25 UUP).
Segala tuntutan untuk memenuhi perikatan dari harta pailit, hanya dapat diajukan dengan mendaftarkannya untuk dicocokkan kepada kurator (Pasal 27 UUP).
Segala penetapan pelaksanaan pengadilan terhadap kekayaan debitur yang telah dimulai sebelum kepailitan, dihentikan seketika dan tidak ada suatu putusan yang dapat dilaksanakan.
Demikian pula semua penyitaan yang telah dilakukan menjadi hapus dan jika diperlukan Hakim Pengawas harus memerintahkan pencoretannya. Jika eksekusi sudah sedemikian jauh sehingga hari penjualan benda itu sudah ditetapkan, maka dengan ijin Hakim Pengawas, kurator dapat meneruskan penjualan itu atas tanggungan harta pailit (Pasal 31 dan pasal 33 UUP).
Perbuatan hukum yang tidak wajib dilakukan oleh debitor dengan pihak lain, yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan, dapat dilakukan pembatalan apabila debitur dan pihak lain tersebut mengetahui atau sepatutnya mengetahui perbuatan hukum tersebut akan merugikan kreditur (Pasal 41 UUP). Debitor dan pihak lain tersebut dianggap mengetahui atau patut mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut merugikan kreditor, apabila perbuatan tersebut dilakukan dalam jangka waktu 1 tahun sebelum pernyataan pailit diucapkan. (Pasal 42 UUP).
Hibah yang dilakukan debitor dapat dimintakan pembatalan kepada Pengadilan, apabila kurator dapat dimintakan, apabila kurator dapat membuktikan bahwa pada saat hibah tersebut dilakukan, debitur mengetahui atau patut mengetahui bahwa tindakan tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditor. Debitor dianggap mengetahui atau patut mengetahui bahwa hibah tersebut merugikan kreditor, apabila hibah tersebut dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan (Pasal 43 dan pasal 44 UUP)
Debitur pailit selama kepailitan, tidak boleh meninggalkan domisilinya tanpa ijin dari Hakim Pengawas (Pasal 97 UUP).
HUKUM ACARA DALAM KEPAILITAN
Bahwa Undang-Undang Kepailitan No. 37 tahun 2004, mengandung ketentuan hukum material dan formil. Dalam beracara, memeriksa dan memutus perkara-perkara Kepailitan dan PKPU, digunakan UUP. Kecuali tidak diatur dalam UUP, maka hukum acara yang diberlaku adalah Hukum Acara Perdata (Pasal 299 UUP)
Adapun prosedur dan hukum acara dalam kepailitan dapat diuraikan sbb:
- Atas permohonan sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya, debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak dapat membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan (Pasal 2 ayat 1 UUP)
- Bahwa untuk kepentingan umum, kepailitan diajukan oleh jaksa. Bilamana debiturnya bank, yang mengajukan pailit hanya dapat dilakukan oleh Bank Indonesia. Dalam hal debitornya adalah efek, hanya boleh diajukan oleh Bapepam. Perusahaan Asuransi, Dana Pensiun, BUMN yang bergerak dalam bidang kepentingan umum, hanya dapat diajukan oleh Departemen Keuangan (Pasal 2, ayat 2 s/d 5 UUP)
- Putusan atas permohonan pernyataan pailit dan hal-hal lain yang diatur dalam Undang-undang ini, diputuskan oleh Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum debitor (Pasal 3 ayat 1UUP)
- Dalam hal debitor adalah pesero suatu firma, Pengadilan yang berwenang adalah Pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum firma tersebut (Pasal 3, ayat 2 UUP)
- Dalam hal debitor berkedudukan diluar Indonesia, akan tetapi menjalankan usahanya di Indonesia, Pengadilan yang berwenang adalah pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan debitur menjalankan usahanya di Indonesia (Pasal 3 ayat 4 UUP)
- Dalam hal debitur merupakan badan hukum, tempat kedudukan hukumnya adalah sesuai dengan Anggaran Dasarnya (Pasal 3 ayat 5 UUP)
- Permohonan pailit diajukan oleh debitur pailit yang terikat dalam pernikahan, permohonan hanya dapat diajukan atas persetujuan suami atau isteri. Dalam perkawinan yang pisah harta, persetujuan pasangannya tidak diperlukan (Pasal 4 UUP)
- Permohonan pernyataan pailit terhadap suatu firma, harus memuat nama dan tempat tinggal masing-masing pesero yang secara tanggung renteng terikat untuk seluruh utang firma (pasal 5 UUP)
- Permohonan pernyataan pailit diajukan kepada Ketua Pengadilan setempat (Pasal 6 ayat 1 UUP). Panitera mendaftarkan permohonan kepailitan tersebut pada tanggal permohonan diajukan (Pasal 6 ayat 2 UUP). Panitera menyampaikan permohonan pernyataan pailit kepada Ketua Pengadilan paling lambat 2 hari setelah tanggal permohonan (Pasal 6 ayat 4 UUP). Dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah permohonan pailit didaftarkan, Pengadilan mempelajari permohonan dan menetapkan hari sidang (Pasal 6 ayat 5 UUP). Paling lambat 20 hari setelah tanggal pendaftaran, diselenggarakan sidang pemeriksaan kepailitan (Pasal 6 ayat 6 UUP)
- Dalam mengajukan permohonan pailit, permohonan sita jaminan, kasasi, Peninjauan kembali dan upaya-upaya hukum lainnya, harus diajukan oleh Advokat (pasal 7 UUP)
- Pengadilan wajib memanggil debitor dalam hal kepailitan diajukan oleh kreditor, Kejaksaan, Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal dan Menteri Keuangan. Dapat memanggil kreditor dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh debitor dan terdapat keraguan persyaratan untuk dinyatakan pailit (Pasal 8 ayat 1 UUP). Pemanggilan kepailitan dilakukan oleh juru sita dengan surat kilat tercatat paling lambat 7 hari sebelum sidang pemeriksaan pertama diadakan (pasal 8 ayat 2 UUP). Pemanggilan adalah sah dan dianggap telah diterima jika sudah dilakukan sesuai dengan pasal 8 ayat 2 UUP. (Pasal 8 ayat 3 UUP)
- Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit, sudah terpenuhi (Pasal 8 ayat 4 UUP)
- Putusan pengadilan atas permohonan pernyataan pailit harus diucapkan paling lambat 60 hari terhitung sejak permohonan pailit didaftar (Pasal 8 ayat 5 UUP)
- Putusan pailit yang memuat secara lengkap pertimbangan hukum, harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum dan dapat dilaksanakan terlebih dahulu, meskipun terhadap putusan diajukan suatu upaya hukum. (Pasal 8 ayat 7 UUP)
- Salinan putusan pailit wajib disampaikan oleh juru sita dengan surat kilat tercatat kepada debitor, pihak yang mengajukan pailit, kurator dan Hakim Pengawas paling lambat 3 (tiga) hari setelah tanggal putusan pailit diucapkan (Pasal 9 ayat UUP)
- Selama putusan pailit belum diucapkan, pemohon pailit dapat mengajukan permohonan pada Pengadilan Niaga untuk: - Meletakkan sita jaminan atas harta debitur; - Menunjuk kurator sementara.(Pasal 10 UUP)
- Dalam putusan pernyataan pailit, harus diangkat kurator dan hakim pengawas oleh hakim pengadilan. Dalam jangka waktu paling lambat 5 hari setelah diterima oleh kurator dan hakim pengawas, kurator harus mengumumkan dalam berita Negara RI dan paling sedikit dalam 2 surat kabar yang ditetapkan hakim pengawas.
- Upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap putusan pailit adalah kasasi ke Mahkamah Agung (Pasal 11 ayat 1 UUP). Permohonan kasasi diajukan paling lambat 8 hari setelah tanggal putusan pailit yang dimohonkan kasasi diucapkan Pasal 11 ayat 2 UUP). Permohonan kasasi dapat juga dilakukan oleh kreditor lain yang bukan pihak dalam kepailitan tersebut (pasal 8 ayat 3 UUP)
- Pemohon kasasi wajib menyampaikan kepada Panitera pengadilan memori kasasi pada tanggal permohonan kasasi didaftarkan (Pasal 12 ayat 1 UUP) Panitera wajib mengirimkan permohonan kasasi dan memori kasasi kepada termohon kasasi paling lambat 2 hari sestelah permohonan kasasi didaftarkan. Termohon kasasi dapat mengajukan kontra memori kasasi kepada panitera pengadilan paling lambat 7 hari setelah termohon kasasi menerima memori kasasi. Panitera wajib menyampaikan berkas perkara ke Mahkamah Agung paling lambat 14 hari setelah permohonan kasasi didaftarkan (Pasal 12 ayat 1 s/d 4 UUP)
- Mahkamah Agung wajib mempelajari permohonan kasasi dan menetapkan hari sidang paling lambat 2 hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung. Sidangnya dilakukan paling lambat 20 hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima dan putusan kasasi paling lambat diucapkan 60 hari setelah berkas kasasi diterima. Panitera Mahkamah Agung wajib menyampaikan salinan putusan kasasi kepada panitera Pengadilan Niaga paling lambat 3 hari setelah putusan diucapkan. Juru sita pengadilan wajib menyampaikan salinan putusan kasasi kepada para pihak, paling lambat 2 hari putusan kasasi diterima (Pasal 13 ayat 1 s/d 7 UUP)
- Terhadap putusan pailit yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dapat diajukan peninjauan kembali pada Mahkamah Agung RI dan prosedurnya sama dengan ketentuan dalam pasal 12 dan 13 UUP)
- Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan, apabila: - Setelah perkara diputus ditemukan bukti baru yang bersifat menentukan; - Dalam putusan hakim terdapat kekeliruan yang nyata (Pasal 295 UUP)
Pengajuan berdasarkan bukti baru, dilakukan paling lambat 180 hari terhitung dari putusan pailit memperolah kekuatan hukum tetap. Sedangkan bilamana peninjauan kembali didasarkan adanya kekeliruan yang nyata, peninjauan kembali diajukan paling lambat 30 hari setelah tanggal putusan berkekuatan hukum tetap (Pasal 296 ayat 1 dan 2 UUP)
HUKUM ACARA DALAM PKPU
Adapun prosedur dan hukum acara dalam PKPU dapat diuraikan sbb:
- Penundaan kewajiban pembayaran utang diajukan oleh debitor yang mempunyai lebih dari 1 kreditor atau oleh kreditor (pasal 222 ayat 1 UUP)
- Atas permohonan sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya, debitur yang tidak dapat atau memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, dapat memohon PKPU, dengan maksud untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditor. (pasal 222 UUP)
- Bilamana debiturnya bank, pengajuan permohonan PKPU hanya dapat dilakukan oleh Bank Indonesia. Dalam hal debitornya adalah perusahaan efek, hanya boleh diajukan oleh Bapepam. Apabila debitur adalah Perusahaan Asuransi, Dana Pensiun, BUMN yang bergerak dalam bidang kepentingan umum, hanya dapat diajukan oleh Departemen Keuangan (Pasal 223 UUP)
- Permohonan PKPU kepada pengadilan harus ditandatangani oleh pemohon dan advokatnya. Dalam hal pemohon adalah debitur, permohonan harus disertai daftar yang memuat sifat, jumalh piutangdan utang debitur beserta surat bukti secukupnya. Dalam hal pemohon adalah kreditur pengadialn wajib memanggil debitur paling lambat 7 hari sebelum sidang (pasal 224 ayat 1 s/d 5 UUP).
- PKPU yang didajukan oleh debitur paling lambat 3 hari sejak tanggal pendaftaran harus mengabulkan PKPU sementara dan harus menunjuk hakim pengawas dan pengurus. Jika permohonan diajukan oleh kreditur pengadilan paling lambat 20 hari sejak permohonan didaftarkan harus mengabulkan PKPU sementara dan menunjuk hakim pengawas dan pengurus. Segera setelah putusan PKPU diucapkan, pengadilan melalui pengurus wajib memanggil debitur dan kreditur untuk menghadap dipersidangan yang diselenggarakan paling lama 45 hari terhitung sejak putusan PKPU sementar diucapkan (pasal 225 ayat 1 s/d 4 UUP).
- Pengurus wajib mengumumkan PKPU sementara dalam berita Negara RI dan paling sedikit dalam 2 surat kabar harian yang ditunjuk hakim pengawas (pasal 226).
- Apabila pemungutan suara tentang rencana perdamaian belum dipenuhi, maka kreditur harus menentukan pemberian atau penolakan penundaan kewajiban pembayaran utang tetap maksimal 270 hari.
Bahwa dalam kepailitan dan PKPU digunakan hukum acara perdata maupun ketentuan undang-undang lainnya apabila tidak diatur dalam undang-undang kepailitan No.37 Tahun 2004. Dalam UUP tersebut tidak diatur tentang sarat dan prosedur dan penyitaan serta proses beracara di pengadilan. Karena tidak ditemukan dalam UUP tersebut, maka yang diberlakukan adalah hukum acara perdata. Sedangkan mengenai alasan-alasan kasasi, UUP No.37 Tahun 2004 tidak ada mengatur, karenanya alasan untuk mengajukan kasasi mengacu pada UU RI No.5 Tahun 2004, tentang perubahan atas UU No.14 Tahun 1985, tentang Mahkamah Agung, yaitu pasal 30.