Bisik-bisik politik—ada uang, pemilu menang. Tak ada uang, parpol sempoyongan—kini telah menjadi geger rerungon di persada Indonesia. Deret huruf dalam lembaran dollar in God we trust, tak mustahil menginspirasi politikus Partai Demokrat Nazaruddin ketika sodorkan amplop berisi 120 ribu dolar Singapura kepada Sekjen Mahkamah Konstitusi Djanedjri M. Gaffar. Deret huruf money theism itu juga kayaknya sih yang membuat Nazaruddin diduga menerima amplop politik dalam kasus suap proyek Wisma Atlet SEA Games.
Bola pun bergulir! Bisik-bisik Jakarta pun berseliweran. Kemenangan Partai Demokrat pada pemilu yang lalu kini sisakan bau busuk politik uang. Ini bisa jadi benar, tak mustahil memang begitu itu adanya. Meskipun demikian, dari Nusa Dua, Bali, dalam International Conference Combating Foreign Briberry in International Business Transaction (10-5) SBY mencitrakan diri sebagai paling antikorupsi. “Memerangi korupsi harus sistematis, terus menerus bersifat maraton,” kata dia, “Jika kita tidak rajin merawat, akan tumbuh banyak gulma dan parasit.”
Gulma dan parasitkah Nazaruddin? “Pemecatan sudah akan pasti. Bahkan, bukan dari jabatannya saja, melainkan dari organisasi,” kata Ketua DPP Partai Demokrat Kastorius Sinaga di Jakarta. “Drafnya sudah di tangan Pak SBY, tinggal menunggu rapat pleno Dewan Kehormatan.”
Maka Indonesia pun menunggu. Bila Bambang Eka Wijaya menulis Harus dijaga, citra partai bebas rente!”(Buras, Lampost [23-5]), SBY pastikan pemberantasan korupsi bukan sekadar kewajiban moral, juga politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan. Saya sependapat dengan Mas Bambang Eka dan Mas Bambang Yudhoyono! Maklum yang bisa membedakan mana air mata buaya dan mana pula air mata koruptor konon hanya para budayawan.
Sebagai “sastrawan” penulis novel Pelacur, Politik dan Hehehe (2010) saya sependapat dengan diri saya seperti tertulis dalam novel itu bahwa disebabkan Nusantara berlambang Burung Garuda—hewan jenis Spizaetus bartelsi—
maka layak disebut republik predator. Hmm, anekdot aneh kulturalkah? Tentu, tidak! Bila, benar toh hewan predator itu konon sudah ditatar Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Dengan begitu, predator Pancasialis itu sudah bisa terpampang manis diapit SBY dan Budiono, menclok di dinding kantor lurah, camat, wali kota, bupati, gubernur hingga presiden.
Tak jelas, jenis kelamin predator Pancasialis ini. Yang pasti, Burung Garuda terlihat kesepian. Ia sendiri tanpa pasangan. Wajar kalau sang predator itu kerap berburu hewan lain untuk memuncratkan hasrat seksualnya. Konon bentuk Tugu Monas manis selalu menggoda birahi predator Garuda. Dalam gelap, ujung Monas itu tak jua berhenti bersetubuh dengan predator Garuda. Ejakulasi peradaban pun meleleh melahirkan anak haram sejarah bernama corruption optime pessima.
Maka tak aneh bila data Bank Dunia kabarkan potensi suap dalam transaksi bisnis internasional yang antara lain ada di Indonesia mencapai angka 3% dari total biaya ekonomi dunia atau sebesar 1 juta dolar AS. Juga ceritakan bahwa 150 perusahaan dikenakan hukuman di 10 negara karena terlibat kasus penyuapan. Saat ini masih ada sekitar 250 kasus yang masih dalam investigasi.
Koruptor di ruang sejarah Nusantara mirip prostitusi. Sungai sunyi yang terus alirkan lahar erupsi korupsi, yang di setiap pemberhentian melahirkan luka pedih tak terperih. Kerajaan Singosari terkoyak pertarungan predator hingga tujuh turunan antara Anusopati, Tohjoyo, Ranggawuni, Mahesa Wongateleng, dan entah siapa lagi. Simak juga pertarungan predator di era Majapahit dalam lakon Kuti, Nambi, Suro. Lihat ketika Joko Tingkir dengan Haryo Penangsang berebut kekuasaan di Demak. Hingga sejarah mencatat pada 1755 dalam Perjanjian Giyanti, VOC memecah Mataram menjadi dua kekuasaan, yaitu Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta.
Apa artinya, erupsi korupsi di tingkat elite telah menjadi pintu masuk VOC untuk menghabisi Nusantara. Malangnya, mental korup ini juga diadopsi orang-orang Portugis, Spanyol, dan Belanda sebagai bagian dari perilaku yang layak untuk disandang sanding sandung. Batavia mencatat lebih dari 200 orang pengumpul Liverantie dan Contingenten melakukan tindak pidana korupsi! Bahkan History of Java karya Thomas Stanford Raffles menuturkan alur korup secara berjamaah dimulai dari abdi dalem, demang, tumenggung hingga raja atau sultan.
Usai merdeka, koruptor di Republik Predator kian berkibar! Badan Pemberantasan Korupsi, Operasi Budhi, dan Panitia Retooling Aparatur Negara di Era Sukarno dan Tim Pemberantasan Korupsi era Suharto adalah agregat dari sebuah situasi ketika Indonesia menjadi sarang koruptor. Bahkan, Presiden B.J. Habibie pernah mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN. Diteruskan Abdurrahman Wahid dengan membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK).
Malangnya, instituisi itu tak jua mampu hentikan para koruptor menyetubuhi predator Pancasila. Simak di era Megawati. Pemberian SP3 untuk Prajogo Pangestu, Marimutu Sinivasan, Sjamsul Nursalim, The Nien King, lolosnya Samadikun Hartono dari jeratan eksekusi putusan MA, pemberian fasilitas MSAA kepada konglomerat yang utangnya macet dan entah apalagi adalah kisah sedih di bumi Indonesia Raya.
Era SBY? Saya hanya bisa angkat bahu! Koruptor di republik predator ini, di era SBY ini, mencitrakan bahwa benar dan betul Indonesia adalah republik predator! Para koruptor bermain di antara kisi-kisi involusi tata atur flow of document. Berbekal kecerdasan hedonisme, mereka zig-zag mencuri peluang di antara lemahnya tata peraturan-perundangan. Juga berbekal wajah sumringah lihatlah ia masuki kamar harum rezim kekuasaan yang dibangun berdasar kartel-kartel politik yang menjijikan yang di dalamnya ada banyak kekuasaan oligarki bersifat holistik.
Gulma dan parasitkah Nazaruddin? Tentu hanya Tuhan yang tahu. Kini Indonesia menunggu bukan hanya akhir cerita ‘amplop dollar’ juga ’amplop politik’ di saku bendaharawan Partai Demokrat itu. Entah kapan akan dibuka. Adakah akan terungkap ejakulasi pernikahan ilalang antara pengusaha, penguasa dan politikus. Tentu hanya Nazaruddin yang tahu. Yang pasti, selalu saja dalam gelap, selalu ada sperma anak-anak haram reformasi yang meleleh-leleh. Tak aneh manakala terdengar suara risau Garuda Pancasila mengutip sajak Goenawan Mohamad, “Di alismu langit berkabung dengan jerit hitam dua burung.”
(*) Oleh: Tandi Skober
Ketua Presidium Indonesia Politicians Watch Tandi Skober
(Sumber: Lampung Post, 25 Mei 2011).