Ilustrasi: google.com
Senin, 11 April 2011
Demokrasi dan Merger Televisi Swasta
Membaca tulisan Veven Sp. Wardhana di Koran Tempo, 26 Maret 2011, dengan judul “Kontroversi Korporasi SCTV-Indosiar”, ada beberapa catatan kritis yang perlu disampaikan. Pertama, dalam tulisan tersebut Veven mengemukakan bahwa hingga kini tidak ada yang mempersoalkan kepemilikan MNC atas RCTI, TPI, dan Global TV, demikian juga kepemilikan atas TV One dan ANTV, serta Trans TV dan TV 7. Sebenarnya, beberapa pihak telah mempersoalkan pemusatan kepemilikan dan “jual-beli” frekuensi tersebut. Pada September 2007, misalnya, Forum Yogya Peduli Penyiaran telah mempersoalkan akuisisi dalam industri penyiaran. Pada Oktober 2007, Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia (MPPI) telah mengirim somasi kepada menteri, DPR, Badan Pengawas Pasar Modal, dan Komisi Penyiaran Indonesia. Secara tegas, MPPI meminta dan menyeru pemerintah agar undang-undang penyiaran diterapkan.
DPR juga pernah meminta pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika agar menegakkan Undang-Undang Penyiaran. Pada 19 Maret 2011, Aliansi Masyarakat untuk Demokratisasi Penyiaran mengeluarkan somasi dengan tema menggugat dan melawan pemusatan kepemilikan dan penguasaan stasiun televisi swasta. Kemudian, pada 23 Maret 2011, Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran mengeluarkan surat gugatan publik: selamatkan dunia penyiaran Indonesia dari ancaman pemusatan kepemilikan dan kerusakan isi siaran. Surat gugatan ini ditandatangani oleh 73 tokoh dan lembaga swadaya masyarakat. Jadi, tidak benar jika kasus-kasus merger dan akuisisi stasiun televisi tidak ada yang mempersoalkan.
Kedua, dalam tulisan itu, yang menurut Veven merupakan catatan terpenting, dikatakan bahwa jika kasus merger TV One-ANTV, Trans TV-Trans 7, dan RCTI-TPI-Global TV merupakan sebuah preseden atau bahkan yurisprudensi, maka SCTV-Indosiar sekadar mengikutinya. Dikatakan pula, industri persaingan juga akan lebih sehat. Persaingan tidak dilakukan oleh kesepuluh industri penyiaran sehingga publik diuntungkan, karena ada keberagaman sebagai bentuk persaingan sehat. Menurut saya, kesimpulan ini menyesatkan.
Pertama, kita harus membedakan antara yurisprudensi dan ketidakmauan atau ketidakmampuan regulator penyiaran, yaitu pemerintah dan Komisi Penyiaran Indonesia untuk menegakkan peraturan perundang-undangan. Veven mengutip Peraturan Pemerintah Nomor 50 tentang lembaga penyiaran swasta, dan keliru memaknainya. Peraturan tersebut menyatakan bahwa satu badan hukum paling banyak memiliki dua izin penyelenggaraan jasa penyiaran televisi yang berlokasi di dua provinsi yang berbeda. Sehingga, MNC, yang memiliki dan menguasai tiga stasiun televisi di satu provinsi, melanggar peraturan perundangan-undangan. Demikian juga bila akuisisi PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (Emtek) terjadi, maka Emtek akan memiliki dan menguasai SCTV, Indosiar, dan O Channel di satu provinsi. Itu melanggar peraturan perundang-undangan. Undang-undang penyiaran secara tegas mempergunakan istilah memiliki dan menguasai. Kepemilikan dan penguasaan itu bisa dilihat atau dilacak secara berjenjang dan bertingkat.
Selanjutnya, Veven mengemukakan bahwa pengambilalihan saham itu hanya sebesar 27,24%, jauh lebih kecil dari 49% yang diperkenankan pada lembaga/stasiun televisi kedua. Padahal peraturan mengatakan lembaga kedua itu harus berada di provinsi lain. Kemudian, tidak dijelaskan bahwa saham sebesar 27,24% adalah saham pengendali yang selanjutnya harus dilakukan penawaran tender untuk memenuhi syarat melakukan akuisisi.
Kedua, logika yang sama menyesatkannya saya kira juga terjadi dalam melihat dampak merger dan akuisisi bagi publik. Barangkali, merger akan meningkatkan performance perusahaan, tapi implikasinya terhadap publik belum tentu. Di sini, keuntungan publik tidak boleh hanya diletakkan semata sebagai kekhasan sebuah stasiun atau program siaran. Namun harus pula dilihat kualitas substantif atas program siaran itu.
Singkatnya, sebuah program siaran yang khas belum tentu mempunyai nilai edukasi atau bahkan pencerahan. Ini karena akan ada hukum pasar yang senantiasa berlaku, yakni mengeluarkan biaya seminimal mungkin untuk menghasilkan keuntungan sebesar mungkin. Di Amerika, ini telah terjadi dalam bentuk penurunan kualitas jurnalisme (Chesney, 2000; Merril, 2005). Selanjutnya, baik juga Veven mengingat kembali pernyataan Veven yang dimuat di Suara Pembaruan (24 Agustus 2007) yang mengatakan bahwa merger dan akuisisi akan melahirkan keseragaman isi.
Kemudian, di luar dua hal tersebut, ada tiga alasan mengapa implementasi UU No. 32 tentang Penyiaran mutlak dilakukan. Pertama, keberadaan media atau lebih spesifik lembaga siaran adalah unik. Ia berbeda dengan industri lain (Croteau dan Hoyness, 2006), karena berkait erat dengan komitmen atas freedom of expression, freedom of speech, dan freedom of press. Media penyiaran juga menikmati kebebasan itu, tapi regulasinya jauh lebih ketat. Ini karena ia menggunakan public domain, frekuensi yang sifatnya terbatas. Prinsip diversity of ownership and of content harus diutamakan. Sehingga, pembenaran Veven atas langkah akuisisi dan merger dalam dunia pertelevisian sekarang ini bukan hanya sangat kapitalistik/neoliberal, tapi juga melanggar prinsip pengelolaan penyiaran dalam negara yang demokratis.
Kedua, implikasi merger tidak sekadar mendorong ke arah kekhasan sebuah stasiun sebagaimana dibayangkan Veven, tapi juga berarti menegasikan realitas sosiologis masyarakat Indonesia. Selama ini, stasiun siaran swasta nasional, yang mestinya harus sudah berjaringan, telah melakukan “pemerkosaan” atas realitas sosiologis masyarakat Indonesia. Hampir seluruh realitas siaran berbasis Jakarta. Padahal lembaga siaran swasta yang semuanya berbasis Jakarta itu tidak akan mampu merepresentasikan realitas sosiologis masyarakat Indonesia yang berjajar dari Sabang sampai Merauke.
Di sisi lain, frekuensi yang ada di daerah mestinya menjadi sumber daya lokal yang bisa dimanfaatkan oleh orang-orang lokal. Namun lembaga siaran swasta nasional telah secara otomatis memiliki hal tersebut. Padahal keseluruhan program acaranya hampir tidak mencerminkan “kelokalan”. Program siaran lokal didapatkan masyarakat melalui lembaga siaran TV lokal, yang “hidup segan, mati tak mau” karena kalah bersaing dengan swasta nasional.
Keempat, dalam situasi politik yang televisual saat ini (Louw, 2005), keberadaan media sangat penting. Ia sangat mudah digunakan untuk memfabrikasi pikiran (manufacturing consent) masyarakat. Karena itu, menguatnya konsentrasi kepemilikan stasiun televisi di tangan segelintir orang akan memudahkan beberapa pihak memanipulasi informasi demi keuntungan pribadi. Padahal, demokrasi hanya akan berjalan baik jika masyarakatnya terinformasi dengan baik. Karena itu, memecah lembaga penyiaran yang ada saat ini dengan menegakkan UU No. 32 kiranya bisa menjadi jawaban.(*)
(*) Oleh: Puji Rianto
Sekretaris Aliansi Masyarakat untuk Demokratisasi Penyiaran, tinggal di Yogyakarta
(Sumber: Koran Tempo, 9 April 2011)