
Ilustrasi: google.com
Dalam agama Hindu dikenal apa yang dinamakan ahimsa. Ahimsa merupakan suatu ajaran yang menentang tindak kekerasan dan dalam ajaran Hindu juga terdapat pemahaman bahwa jiwa seseorang tidak dapat dibunuh dan kematian hanya dibatasi pada kematian fisik[1]. Jiwa seseorang akan terlahir kembali ke dalam tubuh yang berbeda.
Fokus Penghapusan Hukuman Mati (Bagian XV)
Dalam agama Hindu dikenal apa yang dinamakan ahimsa. Ahimsa merupakan suatu ajaran yang menentang tindak kekerasan dan dalam ajaran Hindu juga terdapat pemahaman bahwa jiwa seseorang tidak dapat dibunuh dan kematian hanya dibatasi pada kematian fisik[1]. Jiwa seseorang akan terlahir kembali ke dalam tubuh yang berbeda.
Hukum agama dan hukum pidana Hindu diatur dalam Dharmasastra. Dharmasastra mengatur berbagai bentuk kejahatan serta bentuk-bentuk hukumannya dan mencantumkan ancaman hukuman mati untuk beberapa bentuk kejahatan tertentu. Tetapi ada pula beberapa tinjauan dari ajaran Hindu yang menyerukan untuk tidak menggunakan hukuman mati tersebut. Salah satu ajaran tersebut tercantum dalam Kitab Santiparva dalam bab 257 yang menceritakan seorang pangeran yang menentang pembunuhan terhadap pelaku kejahatan yang senantiasa dilakukan oleh seorang Raja yang tidak lain adalah ayahnya sendiri. Berikut isi dari percakapan tersebut[2]:
Pangeran Satyavan: Terkadang kebajikan membuat kita mengetahui dosa dan dosa membuat kita mengetahui bentuk kebajikan. Dan tidak akan pernah mungkin membinasakan manusia dapat dianggap suatu perbuatan yang bijak.
Raja Dyumatsena: Apabila mengecualikan mereka yang harus dibunuh adalah bijak, apabila perampok dikecualikan, Satyavan, maka perbedaan antara kebajikan dan perbuatan dosa akan samar.
Pangeran Satyavan: Tidak dengan membinasakan seorang pelaku kejahatan, seorang Raja hendaknya menghukum dia sebagai seseorang yang ditakdirkan berdasarkan Kitab. Seorang Raja hendaknya tidak berbuat sebaliknya, mengabaikan moral untuk merendahkan martabat pelaku kejahatan. Dengan membunuh seorang pelanggar, Raja membunuh banyak orang tidak berdosa. Dengan membunuh seorang perampok tunggal, istri, ibu, bapa dan anak yang bersangkutan semuanya ikut terbunuh. Ketika dirugikan oleh seorang pelaku kejahatan, Raja oleh karenanya harus merenungkan persoalan penghukuman. Terkadang orang jahat terlihat meniru kebaikan dari orang baik. Hal tersebut mencerminkan anak yang baik berasal dari keturunan orang jahat. Maka dari itu sebaiknya orang jahat tidak dimusnahkan. Pemusnahan seorang jahat tidak sesuai dengan hukum keabadian dalam agama Hindu.
Raja Dyumatsena: Apabila mengecualikan mereka yang harus dibunuh adalah bijak, apabila perampok dikecualikan, Satyavan, maka perbedaan antara kebajikan dan perbuatan dosa akan samar.
Pangeran Satyavan: Tidak dengan membinasakan seorang pelaku kejahatan, seorang Raja hendaknya menghukum dia sebagai seseorang yang ditakdirkan berdasarkan Kitab. Seorang Raja hendaknya tidak berbuat sebaliknya, mengabaikan moral untuk merendahkan martabat pelaku kejahatan. Dengan membunuh seorang pelanggar, Raja membunuh banyak orang tidak berdosa. Dengan membunuh seorang perampok tunggal, istri, ibu, bapa dan anak yang bersangkutan semuanya ikut terbunuh. Ketika dirugikan oleh seorang pelaku kejahatan, Raja oleh karenanya harus merenungkan persoalan penghukuman. Terkadang orang jahat terlihat meniru kebaikan dari orang baik. Hal tersebut mencerminkan anak yang baik berasal dari keturunan orang jahat. Maka dari itu sebaiknya orang jahat tidak dimusnahkan. Pemusnahan seorang jahat tidak sesuai dengan hukum keabadian dalam agama Hindu.
Isi dari percakapan Raja Dyumatsena dan Pangeran Satyavan inilah yang sering digunakan sebagai dasar dalam menentang hukuman mati oleh umat Hindu.
[1] “Capital punishment”, From Wikipedia, the free encyclopedia, http://en.wikipedia.org/wiki/Capital_punishment, last modified: 6 February 2006.