Ilustrasi: google.com
Fokus Penghapusan Hukuman Mati (Bagian VIII)
Pidana mati dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana merupakan pidana pokok sebagaimana tercantum dalam pasal 10. Dalam pasal 11 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dijelaskan bahwa pelaksanaan pidana mati dilakukan oleh algojo pada tempat penggantungan dengan menjeratkan tali yang terikat pada tiang gantungan pada leher terpidana, kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri. Namun ketentuan ini tidak berlaku lagi dengan dikeluarkannya Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964, yang kemudian berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1969 Penetapan Presiden tersebut ditetapkan menjadi Undang-undang Nomor 2/PnPs/1964 yang menyatakan bahwa pelaksanaan hukuman mati dilakukan oleh regu tembak dengan menembak terpidana sampai mati.
Berbeda dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang masih berlaku sekarang, Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana dalam pasal 66 menyebutkan bahwa pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif. Setelah itu ditegaskan dalam pasal 87 bahwa pidana mati secara alternatif dijatuhkan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat. Mengenai pelaksanaan pidana mati ini, Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana masih mengatur dengan cara yang sama yaitu dengan menembak terpidana sampai mati oleh regu tembak, seperti dinyatakan dalam pasal 88 ayat 1. Selanjutnya ayat 2, 3, dan 4 secara berturut-turut menyebutkan bahwa eksekusi mati tidak dilakukan di muka umum, terhadap wanita hamil atau orang yang sakit jiwa ditunda sampai wanita tersebut melahirkan atau orang yang sakit jiwa tersebut sembuh, dan pidana mati baru dapat dilaksanakan setelah permohonan grasi bagi terpidana ditolak Presiden. Dengan adanya pasal 89 ayat 1, Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana memungkinkan adanya penundaan pelaksanaan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 tahun apabila:
a. reaksi masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu besar
b. terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki
c. kedudukan terpidana dalam penyertaan tindak pidana tidak terlalu penting, dan
d. ada alasan yang meringankan.
Dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana juga dimungkinkan diubahnya pidana mati menjadi pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun apabila terpidana menunjukan sikap dan perbuatan terpuji selama masa percobaan atau apabila pidana mati belum juga dilaksanakan oleh negara selama 10 tahun bukan karena terpidana melarikan diri[1].