Hukuman Mati Perspektif Hukum Adat Indonesia

Wednesday, March 16, 2011

  Ilustrasi: google.com

Fokus Penghapusan Hukuman Mati (Bagian VII)

Di mana ada masyarakat, di situ ada hukum. Hukum tumbuh beriringan dengan perkembangan masyarakat setempat. Dalam pergaulan suatu masyarakat muncul tata tertib sosial dan tata tertib hukum yang diharapkan dapat mencegah segala bentuk ketidak-harmonisan dalam pergaulan suatu masyarakat. Karena setiap masyarakat memiliki pola berfikir, sifat, corak dan adat-istiadat masing-masing maka hukum yang tumbuh pun akan berbeda-beda sesuai dengan adat-istiadatnya masing-masing. Adat-istiadat yang berhubungan dengan tradisi rakyat tersebut menjadi sumber lahirnya hukum adat. Tetapi tidak semua adat merupakan hukum. Terdapat perbedaan antara adat-istiadat biasa dan hukum adat. Menurut Van Vallenhoven, hanya adat yang memiliki sanksi saja yang merupakan hukum adat[1].

Indonesia yang terdiri dari berbagai suku adat dari Sabang sampai Merauke memiliki hukum adat yang berbeda-beda tergantung dimana hukum adat tersebut berlaku. Maka tidaklah dimungkinkan hukum yang dirasakan asing bagi suatu masyarakat dipaksakan untuk diberlakukan dalam kehidupan masyarakat tersebut karena akan berakibat tidak terpenuhinya rasa keadilan yang tumbuh dalam masyarakat setempat dengan diterapkannya hukum yang asing bagi masyarakat tersebut.

Setiap perbuatan dalam sistem adat dinilai dan dipertimbangkan berdasarkan tata susunan persekutuan yang berlaku pada saat perbuatan tersebut dilakukan. Pelanggaran yang terjadi di dalam hukum adat atau juga disebut delik adat menurut Ter Haar yaitu setiap gangguan terhadap keseimbangan dan setiap gangguan terhadap barang-barang materiil dan imateriil milik seseorang atau sekelompok orang yang menimbulkan reaksi adat. Reaksi adat ini akan dan harus dapat memulihkan keseimbangan tersebut. Jenis dan besarnya reaksi adat ditentukan oleh hukum adat yang pada umumnya berupa pembayaran berupa uang atau barang[2]

Jadi untuk dapat disebut sebagai suatu delik perbuatan tersebut harus mengakibatkan ketidak-seimbangan. Ketidak-seimbangan ini tidak hanya akan terjadi apabila peraturan-peraturan dalam suatu masyarakat dilanggar, melainkan juga apabila norma-norma kesusilaan, keagamaan dan sopan santun dalam masyarakat tertentu dilanggar. Namun perlu diketahui bahwa dalam hukum adat tidak ada sistem peraturan statis. Maka delik adat juga tidak bersifat statis, artinya suatu delik adat tidak akan selamanya merupakan delik adat karena hukum adat lahir, berkembang dan punah dengan lahirnya hukum adat yang baru. Hukum adat yang baru itu juga berkembang dan mungkin akan hilang dengan adanya perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat serta pergeseran atas rasa keadilan masyarakat. Proses ini akan terus berlangsung selama masyarakat itu ada. 

Dalam hukum adat tidak terdapat perbedaan prosedur dalam hal terjadinya pelanggaran hukum yang mewajibkan tuntutan memperbaiki kembali hukum di lapangan hukum pidana dan pelanggaran hukum yang hanya dapat dituntut di lapangan perdata. Oleh karena itu, di dalam hukum adat hanya terdapat satu prosedur dalam hal penuntutan yang berlaku baik untuk penuntutan secara perdata maupun pidana. Hal ini menunjukan bahwa dalam hukum adat petugas hukum yang berwenang mengambil tindakan-tindakan konkrit atas pelanggaran hukum adat hanya satu pejabat saja, yaitu Kepala Adat atau Hakim Perdamaian atau Hakim Pengadilan Negeri untuk segala macam bentuk pelanggaran hukum adat. Dalam hal terjadinya pelanggaran hukum adat petugas hukum akan menimbang bagaimana pengembalian keseimbangan hukum yang telah dilanggar tersebut. Bentuk reaksi adat yang muncul mungkin hanya berupa hukuman untuk membayar sejumlah uang sebagai pelunasan hutang atau sebagai pengganti kerugian[3]

Di samping itu, “Pandecten van het Adatrecht” bagian X yang mengumpulkan bahan-bahan mengenai delik adat memuat beberapa bentuk reaksi adat yang terdapat dalam berbagai hukum adat di Indonesia. Reaksi-reaksi adat tersebut diantaranya[4]:
  1. Pengganti kerugian “imateriil” dalam berbagai bentuk, seperti paksaan menikahi gadis yang telah dinodai.
  2. Pembayaran “uang adat” kepada orang yang terkena santet sebagai kerugian rohani.
  3. Selamatan untuk membersihkan masyarakat dari segala kotoran gaib.
  4. Penutup malu, permintaan maaf.
  5. Hukuman badan, bahkan sampai hukuman mati.
  6. Pengasingan atau meletakan seseorang di luar tata hukum adat setempat.
Pada umumnya reaksi adat adalah berupa permintaan maaf, pembayaran dan pengasingan ke luar wilayah adat. Penerapan hukuman mati dalam hukum adat tidak terlepas dari pengaruh hukum barat, karena hukum adat ini banyak mendapat pengaruh dari barat ketika Indonesia masih berada di bawah kekuasaan penjajah. Pada saat itu ada kalanya hukum pelanggaran adat bertemu dengan hukum pelanggaran dari penjajah yang mana jenis-jenis pelanggaran dan hukumannya terkadang tidak dikenal dalam masyarakat adat setempat. Dalam menyelesaikan delik ini pengadilan memakai dasar pemikiran dan penilaian-penilaian berdasarkan hukum penguasa pada saat itu yang jelas tidak sejalan dengan masyarakat Indonesia. Hal ini tidak lain bertujuan untuk melindungi kepentingan penguasa demi memperlancar penguasa dalam menjalankan politiknya dan mematahkan perlawanan yang dilakukan oleh bangsa Indonesia.

Pengaruh-pengaruh barat yang masuk ke dalam hukum adat Indonesia jelas bertentangan dengan nilai-nilai dalam masyarakat Indonesia yang tumbuh dengan budaya timur. Namun dalam pergaulan pada masa penjajahan pola berfikir orang-orang barat mempengaruhi pula cara berfikir orang-orang Indonesia sehingga ada kalanya sesuatu yang pada awalnya tidak dapat diterima dan bertentangan dengan kebudayaan Indonesia menjadi dapat diterima dan dianggap wajar oleh masyarakat Indonesia. Oleh karena hukum adat yang tumbuh di Indonesia tidak lain merupakan penjelmaan dari kebudayaan, sifat, corak, dan pola berfikir masyarakat Indonesia itu sendiri, maka harus diakui bahwa hukum adat Indonesia sudah terpengaruh oleh alam pikiran barat. 

Hukum adat adalah hukum yang mencerminkan kepribadian bangsa Indonesia dan hukum adat ini merupakan salah satu petunjuk identitas bangsa. Maka bahan-bahan yang mendasarinya tidak mungkin diperoleh dari selain bahan-bahan yang telah dimiliki oleh bangsa Indonesia itu sendiri[5]. Hukum adat sebagai hukum yang berakar pada kebudayaan tradisional dan merupakan penjelmaan dari perasaan hukum yang hidup dalam hati nurani rakyat sudah seharusnya dijiwai oleh falsafah hidup bangsa Indonesia dan ideologi negara, yaitu Pancasila[6]. Selama kita memegang teguh Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa dan ideologi negara, maka pembangunan dan penyelenggaraan hukum di Indonesia pun harus sejalan dengan Pancasila.


[1] Surojo Wignjodipuro, “Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat”, (1982), hal. 17.
[2] Ter Haar, Terjemahan: Soebakti Poesponoto, “Asas-asas dan Susunan Hukum Adat”, (1981), hal. 255.
[3] Wignjodipuro, op cit, hal 228-234.
[4] Sebagaimana dikutip dalamPengantar dan Asas-asas Hukum Adat” oleh Surojo Wignjodipuro, “Pandacten van het Adatrecht” bagian X, (1939), hal. 695-720.
[5] Sebagaimana dikutip dalamPengantar dan Asas-asas Hukum Adat” oleh Surojo Wignjodipuro, “Dasar Falsafah Adat Minangkabau”, hal. 197.
[6] Wignjodipuro, op cit, hal 245.

(Tim JLC)