Hukuman Mati di Indonesia

Wednesday, March 16, 2011

Ilustrasi: google.com
 
Fokus Penghapusan Hukuman Mati (Bagian VI)

Seperti telah kita ketahui bahwa Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia sekarang ini berasal dari Wetboek van Strafrecht (WvS) yang tidak lain merupakan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Belanda yang mulai di berlakukan sejak 1 Januari 1918 berdasarkan asas konkordansi. Ancaman hukuman mati yang terdapat di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Belanda juga turut di berlakukan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia dan masih tetap diberlakukan sampai sekarang. Sedangkan Belanda sendiri pada 1970 telah menghapus hukuman mati untuk kejahatan biasa, dan selanjutnya pada 1982 Belanda menghapus hukuman mati untuk semua jenis kejahatan.

Masalah hukuman mati di Indonesia sudah sejak lama menuai pro dan kontra. Akhir-akhir ini masalah hukuman mati muncul ke permukaan menyusul desakan dari sebagian lapisan masyarakat yang menghendaki agar pelaksanaan hukuman terhadap terpidana mati segera direalisasikan, khususnya terhadap terpidana kasus terorisme dan narkoba (narkotika dan obat-obatan terlarang). Di lain pihak, sebagian lapisan masyarakat menentang pelaksanaan hukuman mati tersebut dan bersikukuh agar hukuman mati dihapuskan karena dianggap bertentangan dengan hak asasi manusia, khususnya dengan hak untuk hidup (the right to life). Pada kenyataannya pun hingga saat ini belum terdapat bukti ilmiah yang kuat bahwa ancaman dan pelaksanaan hukuman mati tersebut merupakan sarana yang efektif untuk mencegah terjadinya suatu tindak kejahatan.

Indonesia termasuk salah satu negara yang masih menerapkan ancaman hukuman mati dalam sistem hukum pidananya. Baik dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana maupun di luar Kitab Undang-undang Hukum Pidana terdapat beberapa pasal yang berisi ancaman hukuman mati, di antaranya: 

No
Kategori
Pasal
Penjelasan
Keterangan
1
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
104
Tentang makar.



111 (2)
Tentang mengajak atau menghasut negara lain untuk menyerang RI.



124
Tentang melindungi musuh atau menolong musuh yang berperang melawan RI.



140 (3)
Tentang membunuh kepala negara sahabat.



140 (3) dan 340
Tentang pembunuhan berencana.



365 (4)
Tentang pencurian dengan kekerasan oleh dua orang atau lebih berkawan pada waktu malam dengan merusak rumah yang mengakibatkan orang luka berat atau mati.



444
Tentang pembajakan di laut, di tepi laut, di sungai sehingga ada orang yang mati.



124 bis
Tentang menganjurkan pemberontakan atau huru-hara para buruh terhadap perusahaan pertahanan negara waktu perang.



127 dan 129
Tentang melakukan penipuan dalam menyerahkan barang-barang di saat perang.



368 (2)
Tentang pemerasan dengan kekerasan.

2
Di luar Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
UU Darurat No.12/1951 pasal 1 (1)
Tentang senjata api.
Diundang-kan tanggal 4 September 1951.


PnPs No.5/1959 pasal (2)
Tentang wewenang Jaksa Agung/Jaksa Tentara Agung dalam hal memperberat ancaman hukuman terhadap tindak pidana yang membahayakan pelaksanaan perlengkapan sandang pangan.
Diundang-kan tanggal 27 Juli 1959 (LN 1959-80)


Perpu No.21/1959 pasal 1 (1 dan 2)
Tentang memperberat ancaman hukuman terhadap pelaku tindak pidana ekonomi.
Diundang-kan tanggal 16 November 1959 (LN Tahun 1959 No.130)


UU No.11/PnPs/1963 pasal 13 (1 dan 2) dan pasal 1 (1)
Tentang pemberantasan kegiatan subversi.
Diundang-kan tanggal 16 Oktober 1963 (LN Tahun 1963 No. 101)


UU No.31/PnPs/1964 pasal 23
Tentang ketentuan-ketentuan pokok tenaga atom. Sudah di ganti dengan UU No. 10/1997 tentang ketenaga nukliran: hukuman mati di hapus, diganti dengan hukuman penjara seumur hidup.
Diundang-kan tanggal 26 November 1964 (LN 1964/124: TLN No. 2722)


UU No.4/1976 pasal 3 (pasal 479 k dan 479 o)
Tentang perubahan dan penambahan beberapa pasal dalam KUHP bertalian dengan perluasan berlakunya ketentuan perundang-undangan pidana kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana/prasarana penerbangan.
Diundang-kan tanggal 27 April 1976 (LN 1976 No. 26: TLN No.3080)


UU No.5/1997 pasal 59 (2)
Tentang Psikotropika.
Diundang-kan 11 Maret 1997 (LN 1997/10: TLN No. 3671)


UU No.22/1997 pasal 80 (1, 2, dan3), pasal 81 (3), dan pasal 82 (1, 2, dan 3)
Tentang Narkotika.
Diundang-kan 1 September 1997 (LN1997/67: TLN No. 3698)


UU No.31/1999 pasal 2 (2)
Tentang Pemberantasan Korupsi.
Diundang-kan 16 Agustus 1999.


UU No.26/2000 pasal 36, 37, 41, dan 42 (3)
Tentang Pengadilan HAM.
Diundang-kan 23 Nov 2000.


UU No.15/2003 pasal 6, 8, 9, 10, 14, 15, 16.
Tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Diundang-kan 6 Maret 2003.

Sekarang ini Indonesia tengah memperbaharui Kitab Undang-undang Hukum Pidananya. Dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana tersebut ancaman hukuman mati masih tetap dipertahankan. Beberapa pasal yang mencantumkan hukuman mati dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yaitu:

No
Pasal
Tindak Pidana
Keterangan
1
242
Terorisme
Menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas umum atau fasilitas internasional.
2
244
Terorisme menggunakan
Bahan-bahan kimia
Menggunakan bahan-bahan kimia, senjata biologis, radiology, mikro-organisme, radioaktif atau komponennya untuk melakukan terorisme.
3
247
Penggerakan, Pemberian Bantuan dan Kemudian untuk Terorisme
Merencanakan dan/atau menggerakan orang lain untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam pasal 242 sampai dengan pasal 244, pasal 245 dan pasal 246.
4
249
Terorisme
Setiap orang di luar wilayah Negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kemudahan, sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 242 sampai pasal 244, pasal 245, dan pasal 246.
5
250
Perluasan Pidana Terorisme
Dipidana karena terorisme setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 258 dengan pidana mati. Pasal 258 adalah pasal tentang Perusakan Pesawat Udara yang Mengakibatkan Matinya Orang atau Hancurnya Pesawat.
6
251
Terorisme
Permufakatan jahat, persiapan atau percobaan dan pembantuan melakukan terorisme sebagaimana dimaksud dalam pasal 242, pasal 243, pasal 244 dan pasal 250 dipidana sesuai dengan ketentuan pasal-pasal tersebut.
7
262 (2)
Perbuatan yang membahayakan keselamatan Penerbangan
Tindak pidana pasal 262 ayat (1) mengakibatkan matinya orang atau hancurnya pesawat udara tersebut.
8
269 (2)
Makar terhadap Kepala Negara Sahabat
Jika makar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu melakukan makar dengan maksud membunuh atau merampas kemerdekaan kepala negara sahabat, mengakibatkan kepala negara mati.
9
504
Penyalahgunaan Narkotika
Tanpa hak dan melawan hukum memproduksi atau menyediakan narkotika.
10
506
Penyalahgunaan Narkotika
Tanpa hak dan melawan hukum mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantrara dalam jual beli, atau menukar narkotika.
11
511
Penyalahgunaan Narkotika di luar wilayah Indonesia
Setiap orang yang melakukan tindak pidana narkotika sebagaimana dimaksud dalam pasal 503 ayat (1), pasal 504 sampai pasal 506 di luar wilayah Negara Republik Indonesia diberlakukan pula ketentuan Undang-undang ini.
12
513
Penyalahgunaan Psikotropika
Memproduksi dan/atau menggunakan dalam proses produksi psikotropika, mengedarkan, mengimpor, atau mengekspor psikotropika.
13
518
Penyalahgunaan Psikotropika di luar wilayah Indonesia
Setiap orang yang melakukan tindak pidana psikotropika sebagaimana dimaksud dalam pasal 513 ayat (1) dan pasal 514 di luar wilayah Negara Republik Indonesia diberlakukan pula ketentuan Undang-undang ini.
14
521
Penyalahgunaan Psikotropika
Permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana psikotropika sebagaimana dimaksud dalam pasal 513 ayat (1), pasal 514 samapai pasal 519 dipidana.
15
574
Pembunuhan Berencana
Dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan berencana.
 
Dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana, hukuman mati merupakan bentuk pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif. Selanjutnya disebutkan bahwa pidana mati secara alternatif dijatuhkan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat.
 
Mengenai prosedur pelaksanaan hukuman mati dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana masih sama dengan prosedur pelaksanaan hukuman mati yang sekarang masih berlaku, yaitu dengan menembak terpidana sampai mati oleh regu tembak dan tidak dilaksanakan di muka umum. Dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang baru juga dimungkinkan adanya masa percobaan bagi terpidana mati selama 10 tahun. Jika terpidana selama masa percobaan tersebut menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, maka pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun dengan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Apabila terpidana mengajukan grasi tetapi permohonan grasi terpidana mati tersebut ditolak dan pidana mati tidak dilaksanakan selama 10 tahun bukan karena yang bersangkutan melarikan diri, maka pidana mati tersebut dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dengan Keputusan Presiden. 

Penerapan ancaman hukuman mati di Indonesia seperti yang tercantum dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang baru tidak jelas acuannya. Apakah tingkat keseriusan dari suatu kejahatan atau besarnya dampak dari kejahatan tersebut[1]. Karena apabila di dalam pasal pembunuhan berencana diancamkan hukuman mati, mengapa dalam pasal mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida hanya diancam dengan hukuman penjara antara 3 sampai 15 tahun.
Terlepas dari hal tersebut, hukuman mati yang masih dicantumkan oleh Indonesia dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidananya juga bertentangan dengan tujuan pemidanaan itu sendiri. Dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana ditegaskan bahwa pemidanaan bertujuan untuk:
a. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegak­kan norma hukum demi pengayoman masyarakat;
b. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;
c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;dan
d. membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

Selanjutnya ditegaskan pula bahwa pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendah­kan martabat manusia.

Dilaksanakannya hukuman mati terhadap seorang terpidana mati tidak dapat mencapai tujuan pemidanaan seperti yang telah disebutkan di atas. Setelah dilakukan eksekusi terpidana tidak akan manjadi orang yang baik dan berguna sebagaimana disebutkan dalam tujuan pemidanaan karena yang bersangkutan telah mati. Begitu pula hubungannya dengan rasa bersalah pada terpidana. Dengan dilaksanakan eksekusi, terpidana tidak akan merasa bebas dari rasa bersalahnya. Hukuman mati ini juga mendatangkan penderitaan yang sangat berat bagi terpidana, baik pada saat menunggu eksekusi maupun pada saat eksekusi itu sendiri. Pada saat menunggu eksekusi, terpidana mati mengalami tekanan mental atas hukuman yang akan dijalaninya dan pada saat dilaksanakannya eksekusi, yang bersangkutan mengalami penderitaan fisik. Sehingga muncul pendapat bahwa apabila seseorang dijatuhi hukuman mati maka yang bersangkutan menjalani double punishment.

Untuk menjalankan kehidupan bernegara suatu negara pasti memiliki suatu asas menegara yang pada hakekatnya merupakan dasar filsafat negaranya. Dasar filsafat negara yang dimaksud adalah dalil-dalil yang bila dikembangkan ke dalam suatu sistem yang utuh dan rasional akan mewujudkan filsafat negara tertentu[2]. Pada alinea keempat Undang-undang Dasar 1945 Indonesia merumuskan: ”..., maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia”. Kata-kata ”...dengan berdasar kepada...” menunjukan bahwa keseluruhan pasal-pasal di dalam Undang-undang Dasar itu disusun berdasarkan Pancasila. Dengan kata lain Undang-undang Dasar 1945 itu dijiwai oleh Pancasila dan pemahamannya pun harus didasarkan pada Pancasila. Maka dari itu Pancasila merupakan guiding principle dalam menjalankan kegiatan bernegara di Indonesia[3]. Sebagai asas menegara Pancasila dapat dikatakan sebagai dasar-dasar filsafat negara atau dasar-dasar ideologi negara. Secara yuridis Pancasila merupakan pokok kaidah negara yang fundamental[4].

Penempatan Pancasila dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia membuat Pancasila memiliki kekuatan hukum. Maka pola tingkah laku dalam menjalankan kegiatan politik negara yang konsisten dengan Undang-undang Dasar 1945 adalah pola tingkah laku yang dijiwai Pancasila. Sama halnya dalam bidang hukum. Pancasila merupakan pedoman baik dalam pembuatan undang-undang maupun penerapan hukum secara konkrit. Dengan kata lain, Pancasila merupakan norma dasar atau grundnorm[5].

Eksistensi manusia dalam Pancasila diakui sebagai pribadi yang dikaruniai akal budi dan kehendak bebas, dan oleh karenanya mempunyai tanggung jawab pribadi yang tidak dapat diambil alih oleh siapapun. Dalam kerangka sila pertama dari Pancasila, yaitu sila Ketuhanan Yang Maha Esa, manusia memiliki hubungan pribadi dengan Tuhannya berdasarkan keimanan yang diwujudkan dengan menyerahkan diri secara rela dan ikhlas kepadaNya dan tujuan akhir manusia adalah untuk kembali kepada penciptanya, yaitu Tuhan. Tekanan dan paksaan dalam bentuk apapun tidak mendapat tempat dalam hubungan pribadi antara manusia dengan Tuhan karena akan merusak inti dari hubungan ini, yaitu hubungan pribadi yang ikhlas dan rela[6].

Sila Kemanusiaan yang adil beradab juga mengandung norma-norma yang penting untuk menjalankan kegiatan bernegara, dalam hal ini khususnya mengenai pembuatan, penerapan dan penegakkan hukum di Indonesia. Kemanusiaan mengandung arti segala sesuatu yang sesuai dengan martabat manusia yang harus dikembangkan menuju manusia yang utuh dan seimbang. Untuk mencapai manusia yang utuh dan seimbang perlu ditegakkan norma-norma yang muncul dari hukum kodrat karena hak dan kewajiban yang diemban oleh setiap manusia dalam menjalankan hubungannya dengan sesama manusia lahir bersama-sama dari kodrat manusia itu sendiri. Dalam kehidupan bermasyarakat setiap hak yang diberikan kepada seseorang menimbulkan kewajiban pada orang lain, yaitu untuk mengakui dan menghormati hak tersebut. Setiap hak asasi manusia memiliki kekuatan memaksa dari hukum kodrat karena hukum kodrat itulah yang memberikan hak tersebut dan membebankan kewajiban yang setara dengannya. Selanjutnya norma-norma yang terkandung dalam Pancasila berdasarkan sila keempat salah satunya menegaskan bahwa setiap undang-undang harus memuat isi yang menghormati martabat manusia berdasarkan Pancasila[7].
 
Dalam Undang-undang Dasar 1945 itu sendiri terdapat pasal yang secara tegas melindungi hak hidup dari setiap individu, yaitu pasal 28 I ayat 1 yang isinya menyebutkan bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Hal senada dapat kita temukan dalam pasal 4 Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menegaskan bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak hak manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan keadaan apapun dan oleh siapapun. Dalam konsiderans Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia juga dinyatakan bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun.

Dalam penjelasan Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dijelaskan bahwa kebebasan dasar dan hak-hak dasar yang dimiliki setiap manusia atau yang disebut hak asasi manusia, melekat pada manusia secara kodrati sebagai anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa. Pengingkaran terhadap hak-hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia berarti mengingkari martabat kemanusiaan. Maka siapa pun, termasuk negara, pemerintah, atau organisasi apapun memiliki kewajiban untuk mengakui dan melindungi hak asasi manusia pada setiap individu tanpa kecuali. Hak asasi manusia juga harus selalu menjadi titik tolak dan tujuan dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Di samping itu, terdapat pernyataan bahwa Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia perlu dibentuk untuk memayungi seluruh peraturan perundang-undangan yang sudah ada dan Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia ini secara rinci mengatur mengenai hak untuk hidup dan hak untuk tidak dihilangkan paksa dan/atau tidak dihilangkan nyawa. Selanjutnya disebutkan bahwa materi Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia ini disesuaikan juga dengan pembangunan hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. 

Tetapi seperti kita semua ketahui, masih terdapat beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia yang masih mencantumkan ancaman hukuman mati. Bahkan dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang baru juga ancaman hukuman mati masih dicantumkan. Hal ini tidak mencerminkan pembangunan hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, padahal Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 memiliki arti kedudukan yang sangat penting dan mendasar dalam pembangunan hukum di Indonesia. Terlebih lagi Indonesia juga telah mengesahkan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya) melalui Undang-undang No. 11 Tahun 2005 dan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik) melalui Undang-undang No. 12 Tahun 2005 yang isinya menjunjung tinggi penghargaan terhadap hak asasi dari setiap manusia.

Sama halnya dengan Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang dibentuk atas dasar Deklarasi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa, dalam konsiderans Undang-undang No. 11 Tahun 2005 tentang pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights dan Undang-undang No. 12 Tahun 2005 tentang pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights ditegaskan bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, dan oleh karena itu, harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun.


[1] Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, “Analisa Terhadap Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana”, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2006, hal. 20.
[2] Kelompok Studi Pancasila UNPAR, “Pengertian dan Norma-norma Pancasila”, hal. 2.
[3] Ibid, hal. 7.
[4] Sebagaimana dikutip dalam “Pengertian dan Norma-norma Pancasila” oleh Kelompok Studi Pancasila UNPAR, Notonagoro, “Pancasila Dasar Falsafah Negara”, hal. 7.
[5] Kelompok Studi Pancasila UNPAR, op cit, hal. 8-14.
[6] Sebagaimana dikutip dalam “Pengertian dan Norma-norma Pancasila” oleh Kelompok Studi Pancasila UNPAR, “Negara Berketuhanan dan Agama-agama, Seri: Bebas dan Tertib”, hal. 99-100.
[7] Kelompok Studi Pancasila UNPAR, op cit, hal. 35-55.

(Tim JLC)