Ilustrasi: google.com
Fokus Penghapusan Hukuman Mati (Bagian IX)
Hak asasi manusia adalah hak yang mutlak dimiliki oleh setiap manusia. Hak ini tidak boleh dilanggar, dicabut, atau dikurangi. Negara dalam menjalankan tugasnya harus melindungi hak asasi dari setiap warga negaranya. Produk hukum yang dibuat oleh negara dalam menjalankan tugasnya harus dalam rangka melindungi dan menjamin ditegakkannya hak asasi manusia dari setiap warga negaranya.
Hukum dan hak asasi manusia merupakan dua hal yang sangat erat kaitannya. Hukum pidana dalam menjalankan fungsinya menjatuhkan sanksi pidana kepada setiap pelanggarnya. Dengan diterapkan sanksi hukuman pidana tersebut, maka narapidana akan dibatasi hak asasinya. Hal ini dilakukan untuk melindungi setiap orang dari perbuatan narapidana tersebut atau dapat pula dikatakan untuk melindungi hak asasi warga negara agar tidak dilanggar oleh warga negara yang lain. Dari sini terlihat bahwa hukum pidana itu bersifat kontradiktif. Di satu pihak hukum pidana bermaksud untuk melindungi hak asasi manusia, tetapi di lain pihak hukum pidana melanggar hak asasi dari narapidana dengan menjatuhkan sanksi pidana. Oleh karena itu hukum pidana dikatakan pedang bermata dua[1].
Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mentransformasikan Universal Declaration of Human Rights ke dalam bentuk Undang-Undang, yakni Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam salah satu konsiderans Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun[2]. Pasal 4 dari Undang-undang tersebut menyatakan bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak-hak manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun[3].
Selain telah mentransformasikan Universal Declaration of Human Rights ke dalam bentuk Undang-Undang, yaitu Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Indonesia juga telah mengesahkan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya) melalui Undang-undang No. 11 Tahun 2005 dan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik) melalui Undang-undang No. 12 Tahun 2005. Sama halnya dengan Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dalam konsiderans Undang-undang No. 11 Tahun 2005 tentang pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights dan Undang-undang No. 12 Tahun 2005 tentang pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights juga ditegaskan bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, dan oleh karena itu, harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun.
Tetapi di samping itu masih ada beberapa produk perundang-undangan Indonesia yang masih mencantumkan hukuman mati sebagai salah satu ancaman hukumannya, seperti dalam pasal 59 Undang-Undang No.5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, pasal 80, 81 dan 82 Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, Undang-Undang No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan Undang-Undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Bahkan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia yang baru ancaman hukuman mati masih dipertahankan.
Dalam kehidupan bermasyarakat yang dengan budaya apapun masyarakat itu tumbuh, menghargai hak hidup atas seseorang merupakan nilai paling mendasar dan barulah dapat dianggap wajar apabila pelanggaran atas hak hidup tersebut hanya dengan pengecualian yang sangat terbatas seperti melindungi diri atau membela negara[4].
Hak yang tertinggi dari hak asasi manusia adalah hak untuk hidup. Hak hidup ini merupakan non-derogable rights. Dengan diterapkannya hukuman mati berarti hak hidup ini bukan lagi hak tertinggi atau hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun dan dengan alasan apapun. Dengan dijatuhinya hukuman mati terhadap seseorang berarti negara mengesampingkan hak hidup dari terpidana mati tersebut.
[1] Barda Nawawi Arief, “Beberapa Aspek Kebijakan Penegakkan dan Pengembangan Hukum Pidana”, Citra Adhitya Bhakti, Bandung, 1998, hal. 18.
[2] Undang-Undang Republik Indonesia No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
[3] Ibid.
[4] Hans Goran Franck, “The Barbaric Punisment; Abolishing the Death Penalty”, Martinus Nijhoff Publishers, Great Britain, 2003, hal. 34.
(Tim JLC)