Hukuman Mati Bagi Koruptor

Thursday, March 17, 2011

 Ilustrasi: google.com
 
Fokus Penghapusan Hukuman Mati (Bagian X)
 
Munculnya pendapat bahwa diperlukannya hukuman mati terhadap para pelaku tindak pidana korupsi agar memberi efek jera, khususnya terhadap para pejabat yang rentan terhadap tindak pidana korupsi, menjadikan masalah hukuman mati di Indonesia terus menuai perdebatan.

Pada bulan Juli 2008 juga berturut-turut eksekusi terhadap dua WNA terpidana mati kasus narkoba telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia, diikuti dengan dieksekusinya Dukun AS, Sumiarsih dan Sugeng.

Argumen yang melatar-belakangi pemikiran kalangan pendukung hukuman mati ini sebenarnya sudah ada sejak lama yang dikenal dengan teori absolut. Pandangan ini memiliki keyakinan yang mutlak atas pidana itu sendiri, sekalipun penjatuhan pidana sebenarnya tidak berguna atau bahkan memiliki dampak yang lebih buruk terhadap pelaku kejahatan. Pandangannya diarahkan ke masa lalu (backward looking), bukan forward looking. Perlu diketahui bahwa maksud dan tujuan pandangan ini selain sebagai pembalasan adalah juga untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa hukum telah ditegakkan. Tujuan pemidanaan dalam pandangan ini memang jelas sebagai pembalasan, tetapi cara bagaimana pidana tersebut dapat dibenarkan kurang jelas, karena berdasarkan pandangan ini tidak dijelaskan mengapa harus dianggap adil meniadakan rasa terganggunya masyarakat dengan cara menjatuhkan penderitaan terhadap seseorang yang melakukan kejahatan.

Penerapan ancaman hukuman mati di Indonesia seperti yang tercantum dalam berbagai peraturan perundang-undangan tidak jelas acuannya, apakah tingkat keseriusan dari suatu kejahatan atau besarnya dampak dari kejahatan tersebut. Karena apabila di dalam KUHP pasal mengenai pembunuhan berencana diancamkan dengan hukuman mati, mengapa dalam pasal mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida hanya diancam dengan hukuman penjara antara 3 sampai 15 tahun.

Yang perlu diketahui adalah bahwa pemidanaan bertujuan untuk (a) mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegak­kan norma hukum demi pengayoman masyarakat; (b) memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna; (c) menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan (d) membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Pemidanaan juga tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendah­kan martabat manusia.

Dilaksanakannya hukuman mati terhadap seorang terpidana mati tidak dapat mencapai tujuan pemidanaan tersebut. Setelah dieksekusinya seorang terpidana mati, tidak akan membuat yang bersangkutan manjadi orang yang baik dan berguna sebagaimana disebutkan dalam tujuan pemidanaan, karena yang bersangkutan telah meninggal. Begitu pula hubungannya dengan rasa bersalah pada terpidana. Dengan dilaksanakan eksekusi, terpidana tidak akan merasa bebas dari rasa bersalahnya. Hukuman mati ini juga mendatangkan penderitaan yang sangat berat bagi terpidana, baik pada saat menunggu eksekusi maupun pada saat eksekusi itu sendiri. Pada saat menunggu eksekusi, terpidana mati mengalami tekanan mental atas hukuman yang akan dijalaninya dan pada saat dilaksanakannya eksekusi, yang bersangkutan mengalami penderitaan fisik. Sehingga apabila seseorang dijatuhi hukuman mati maka yang bersangkutan menjalani double punishment.

Dalam Undang-undang Dasar 1945 terdapat pasal yang secara tegas melindungi hak hidup dari setiap individu, yaitu pasal 28 I ayat 1 yang isinya menyebutkan bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.

Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mentransformasikan Universal Declaration of Human Rights ke dalam bentuk Undang-Undang, yakni Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Hal yang senada dengan Undang-undang Dasar 1945 dapat kita temukan dalam pasal 4 dari Undang-undang tersebut menyatakan bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak-hak manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Dalam konsiderans Undang-Undang tersebut juga dinyatakan bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun.

Hak yang tertinggi dari hak asasi manusia adalah hak untuk hidup. Hak hidup ini merupakan non-derogable rights. Maka, dengan diterapkannya hukuman mati berarti hak hidup ini bukan lagi hak tertinggi atau hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun dan dengan alasan apapun. Dengan dijatuhinya hukuman mati terhadap seseorang berarti negara mengesampingkan hak hidup dari terpidana mati tersebut.

Apabila penegakan hukum di Indonesia dilaksanakan secara sungguh-sungguh, baik dalam proses peradilan maupun pelaksanaan hukuman penjara, maka tujuan pemidanaan seperti fungsi pencegahan dan efek jera akan dapat tercapai tanpa perlu adanya hukuman mati. Penelitian PBB pun dalam kesimpulannya menyatakan bahwa tidak ada korelasi antara tingkat kejahatan dengan pelaksanaan hukuman mati. Hilangnya efek jera dari sistem pemidanaan di Indonesia dikarenakan adanya perlakuan khusus terhadap narapidana dari kalangan-kalangan tertentu dengan adanya fasilitas-fasilitas tertentu yang seharusnya tidak diterima oleh seorang narapidana di dalam penjara.

(Tim JLC)