Tarik Menarik dalam Menyusun Hierarki Perundang-Undangan

Thursday, March 31, 2011

 Ilustrasi: Bagan Hirarki Peraturan Perundang-Undangan


Pemerintah dan fraksi di DPR tarik menarik kepentingan dalam menyusun tata urutan perundang-undangan.

Proses pembahasan revisi Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan pada level Panitia Khusus berlangsung alot. Padahal nyaris tidak ada kelompok swadaya masyarakat, kecuali Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), yang memantau dan mengkritik proses pembahasan revisi itu.

Penyebabnya tak lain karena materi yang sudah disepakati, acapkali harus ditinjau ulang hanya karena sebelumnya ada perwakilan fraksi yang tidak hadir. Beberapa kesepakatan tentang rumusan kembali mentah. ‘Beruntung’, rapat Pansus DPR dengan Pemerintah yang diwakili Kementerian Hukum dan HAM, seolah luput dari pantauan masyarakat. Toh, itu bukan jaminan proses pembahasan berlangsung mulus. Pansus sampai harus menggelar forum lobi karena tidak ada kata sepakat.

Salah satu topik pembahasan yang cukup ketat adalah hierarki atau tata urutan peraturan perundang-undangan. Kesan bahwa ada tarik menarik fraksi di DPR dan Pemerintah sulit dihindari. Masing-masing pihak menginginkan usulannya masuk ke dalam tata urutan.

Selama ini, berdasarkan pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 10 Tahun 2004, jenis dan hierarki peraturan berturut-turut adalah UUD 1945, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden (Perpres), dan Peraturan Daerah (Perda). Hierarki tahun 2004 ini mengubah tata urutan terdahulu. Ketetapan MPR (TAP MPR) dihilangkan, Perppu disejajarkan dengan Undang-Undang, dan Peraturan Menteri (Permen) tidak dimasukkan sama sekali.

Posisi dari masing-masing jenis peraturan itulah yang menjadi ajang tarik menarik kepentingan. Menteri Hukum dan HAM, Patrialis, terus memperjuangkan masuknya Permen ke dalam hierarki selama rapat Pansus berlangsung. Patrialis berdalih di bawah rezim UU No. 10 Tahun 2004, Permen acapkali dicuekin daerah karena tak masuk tata urutan peraturan perundang-undangan. Daerah lebih menghormati Perda ketimbang Permen. “Permen seringkali dikalahkan oleh Perda,” ujarnya di Gedung DPR, pekan lalu.

Patrialis menilai otonomi daerah sudah keluar dari rel. Contohnya, kasus pembalakan hutan di daerah. Daerah berlindung di balik Perda. “Menteri tak bisa langsung menegur kepala daerah,” tuturnya.

Menurut Patrialis, situasi ini sudah sangat berbahaya. Masuknya Permen ke dalam hierarki, kata sang Menteri, bertujuan agar Permen mempunyai daya ikat yang sangat kuat. Mau tidak mau, daerah tak lagi bisa lagi berkelit.

Selain keukeuh ingin memasukan Permen, Patrialis ngotot mempertahankan Peraturan Presiden (Perpres) dalam hierarki. Sikap Patrialis bersebarangan dengan pandangan sejumlah anggota Fraksi PDI Perjuangan yang tak setuju Perpres masuk hierarki.

Arif Wibowo, politisi PDIP Perjuangan, menilai tak tepat bila Perpres dimasukkan ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Sebab, kata dia, watak Perpres adalah ‘beleid regel’ alias peraturan kebijakan yang mengikat ke dalam “Mengingat wataknya yang mengikat ke dalam (internal,-red),” jelasnya.

Lalu, Arif menggunakan analogi jika Perpres saja dianggap tak layak masuk hierarki, apalagi Permen. “Perpres dan Permen itu tak bisa masuk ke hierarki,” sambungnya.

Anggota partai ‘moncong putih’ lain mengkritisi jangan sampai keinginan Menteri Patrialis memasukkan Perpres dan Permen ke dalam hierarki karena kepentingan sesaat. Maksudnya, kepentingan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang tengah berkuasa. Arif menegaskan revisi UU No. 10 Tahun 2004 harus bisa mempertimbangkan kepentingan jangka panjang.

Perdebatan soal ini berlangsung alot. Ketua Pansus Sutjipto akhirnya menskors sidang dan menggelar lobi antar fraksi dengan Menkumham. Hasil lobi menyatakan Perpres masuk ke dalam hierarki dan Permen akan dibahas kemudian. Untuk posisi Peraturan Menteri dan SKB-SKB (Surat Keputusan Bersama Menteri,-red) nanti akan dibawa ke Panja (Panitia Kerja,-red). Nanti, kita bahas disana,” ujar Sutjipto.

Sementara, TAP MPR disepakati secara bulat oleh DPR maupun Pemerintah untuk masuk ke dalam hierarki. “Jadi, kita sepakat memasukkan TAP MPR ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan,” ujar Sutjipto.

Patrialis menilai memasukan TAP MPR ke dalam hierarki sangat penting. Pasalnya, eksistensi TAP MPR dijamin oleh UUD 1945. Apalagi, saat ini ada sekitar 139 TAP MPR dari berbagai jenis yang masih eksis. “Ada yang bersifat regeling (pengaturan,-red), beschikking (keputusan,-red), atau einmalig (berlaku sekali pakai,-red),” ujarnya.

Hasil ini mendapat ‘anggukan’ setuju para anggota FPDIP. “Kami setuju TAP MPR dimasukan ke dalam hierarki,” ujar Anggota FPDIP dari Komisi II Yasona Laoly. Seperti diketahui Ketua MPR saat ini adalah Taufik Kiemas, politisi PDI Perjuangan.

Langkah Mundur
Pengajar Ilmu Peraturan Perundang-undangan UI Sonny Maulana Sikumbang menilai masuknya TAP MPR ke dalam hierarki merupakan langkah mundur. “Ini seperti mundur kembali ke belakang. Padahal, dahulu TAP MPR sudah dikeluarkan dari hierarki,” ujarnya kepada hukumonline, Senin (21/3).

Sekedar mengingatkan, TAP MPR memang sempat masuk ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 dan TAP MPR No. III/MPR/2000. Namun, akhirnya TAP MPR dikeluarkan dari hierarki sejak 2004.

Sonny menduga adanya kepentingan politik antar lembaga di banding kajian ilmiah dalam pembahasan revisi UU No.10 Tahun 2004 ini. “Saya melihat sangat kental muatan politisnya,” ujarnya. Ia menilai ada upaya berlomba-lomba memasukan produk hukum miliknya ke dalam hierarki, sehingga membuat sebuah lembaga memiliki ‘power’.

Contohnya, sikap FPDIP yang lebih ngotot memasukan TAP MPR dibanding mempertahankan Perpres. Sonny menduga ini ada hubungannya dengan MPR yang saat ini dipimpin oleh Taufik Kiemas, politisi senior asal PDIP. “Ini kan kepentingan jangka pendek,” ujarnya.

Padahal, dari kajian secara ilmiah berdasarkan teori Hans Nawiasky, TAP MPR bukan termasuk peraturan perundang-undangan. “TAP MPR itu setara dengan UUD 1945. Dia norma dasar negara,” ujarnya. Karenanya, Sonny juga mengusulkan agar UUD 1945 harus dikeluarkan dari hierarki peraturan perundang-undangan. Menurutnya, UU adalah peraturan perundang-undangan yang tertinggi.

Sonny menyayangkan revisi UU No.10/2004 ini hanya memfokuskan kepada hierarki peraturan perundang-undangan, bukan kepada proses, metode atau teknik pembuatan peraturan perundang-undanangan sesuai dengan nama UU ini. “Fokusnya hanya eksistensi lembaga agar produk hukumnya lebih diakui,” ujarnya.

Pengajar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Ni’matul Huda, juga berpendapat revisi kali ini sebaiknya memperjelas materi muatan. Perppu misalnya. Revisi harus sudah memperjelas batasan dan syarat-syarat agar Perppu bisa dikeluarkan. Presiden sebagai kepala pemerintahan tidak bisa seenaknya mengeluarkan Perppu. “Sebaiknya Perppu punya rambu-rambu yang jelas,” tegas Ni’matul Huda.

Selain itu, ada persoalan penting yang harus dibahas dalam revisi ini: bagaimana kedudukan peraturan yang diterbitkan lembaga-lembaga dan komisi negara. Sebagian peraturan lembaga atau komisi itu langsung diperintahkan Undang-Undang. Misalnya, Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Peraturan Bank Indonesia (BI), Peraturan Mahkamah Agung, Peraturan Komisi Informasi, dan sebagainya. Posisi dan kedudukan regulasi internal demikian harus jelas karena faktanya banyak dipakai dalam praktik.

Belum lagi memposisikan persoalan perancangan perundangan-undangan yang terindikasi menyalahgunakan wewenang. Anda masih ingat kasus penghilangan ‘ayat tembakau’ dalam pembahasan RUU Kesehatan kan? Undang-Undang tahun 2004 tak memuat sanksi terhadap mereka yang sengaja menghilangkan ayat atau frase tertentu demi kepentingan tertentu.

Kalau tarik menarik kepentingan lebih mewarnai tata urutan atau hierarki, bukan pada substansi yang diatur, ada kekhawatiran revisi kali ini tidak akan bisa menutupi kelemahan Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 selama ini.  “Karena itu, saya menilai revisi Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 ini tidak akan lebih baik,” pungkas Sony.

Kini, proses pembahasan revisi memasuki Panja yang bersifat tertutup. Apakah tarik menarik kepentingan akan lebih besar? Mudah-mudahan tidak. (*)
(*) Penulis : Ali Salmande & Kartini Laras M.

(Sumber: Hukum Online)