Mendekati Islam melalui HAM

Thursday, March 31, 2011

 Ilustrasi: google.com


Mendekati Islam melalui HAM

Agama, sebagai media normatif, selalu akrab dengan ritualitas. Orang Jawa memanifestasikannya dalam “eling” yang berstandar pada perspektif Kejawen. Sementara sebagai umat Islam, Kristen, Hindu, Buddha, dan Konghucu, mentransformasikan nilai-nilainya melalui ritualitas, yang antara lain sifatnya mengadu, meminta, dan memohon kepada-Nya agar diberi apa saja yang membahagiakan. Pada titik ini, agama lebih dapat dipandang sebagai media harapan dengan keyakinan yang bervarian. Di sinilah agama tampil dalam skematis ritualitas pemeluknya.

Dengan demikian, agama tidak boleh dipertautkan dengan kebuntuan akal. Sebab, nilai-nilai spiritual yang menyelimutinya juga merupakan akal itu sendiri. Ibnu Rusyd melihat peran ritual sebagai peran besar bagi umat Islam, karena Ibnu Rusyd, melalui ritualitas itu, agama menjadi hidup sebagai pencerahan hati. Tidak berbeda dengan Rusyd, Sayid Qutb sebagai salah satu tokoh Ikhwanul Muslimun mengatakan bahwa kewajiban kita menjalankan ritualitas, telah ada sejak Nabi Adam, meski versinya berbeda.

Ritualitas itu, menurut Qutb, perwujudan dari tekad untuk memahami di mana agama tersebut tumbuh dan berkembang. Napasnya, memang normatif, tetapi yang dihembuskannya adalah etos dan etik, tegas pemikir Mesir itu. Apabila ritualitas yang selalu dipandang normatif oleh kebanyakan orang muda, yang kemudian banyak orang muda malas melakukan salat, hasil survei American Islamic Center, justru melihat karena orang muda, juga banyak “dicekoki” ajaran normatif, rigid, dan monoton.

Angka yang cukup tinggi untuk melakukan ritualitas itu sendiri, ironinya ada dalam masyarakat muslim sendiri, seperti Asia Tengah, Asia Selatan, Asia Tenggara. Berbeda dengan pemeluk muslim di Asia Timur jauh, Eropa, dan Amerika sendiri yang minoritas, dus ritualitasnya lebih aktif (dalam hal ini melakukan salat). Islam bagi kaum muda di Asia adalah keseharian yang membosankan, norma-norma besar tidak mampu merasuki para kaum mudanya. Orang muda muslim di Asia lebih banyak mengadopsi ritualitas Barat seperti clubing, DJ, dugem, internet, dan kebesaran fragmatis lainnya.

Maka, apabila dipandang dari sudut ini, tentu kita sangat prihatin. Rasionalitas Islam yang berdiri tegak bersama Alquran dan Hadist tidak mampu membuahkan penetrasi yang gamblang, pragmatis, dan praksis sehingga kaum muda di negara negara muslim akan secara utuh menjalankan kewajibannya. Para dai atau juru dakwah tampaknya mengalami kendala dalam mentransformasikan nilai-nilai Islam sehingga kalaupun Islam berkembang di kalangan muda, ia hanya terbatas di kalangan aktivis Islam di kampus, pun ini terkadang karena digelayuti oleh ideologi X, partai, dan lain-lain.

Denyut nadi agama yang dimulai dari kekhusyukan (tumaqninah) ritual kiranya harus didorong kemuka. Untuk kaum muda, haruslah ditemukan terapi sehingga agama bukan lagi kewajiban semata, melainkan kebutuhan. Ini berarti kepiawaian menerjemahkan dan mengeksplanasi ritualitas agar lebih hidup di kalangan orang muda seyogianya sangat urgen untuk dicarikan formula road map-nya.

Harus ada perombakan struktural pada metode dakwah, teristimewa mengohesikan antara normatif, ritualitas, dan pragmatisme generasi muda. Lebih dari 30 tahun lalu ketika penulis mendiskusikan buku Amrullah Achmad tentang metode dakwah, belum teridentifikasi metode yang jitu. Pergeseran seting soial yang cenderung membuyarkan pemikiran orang muda, kenyataannya harus dibantu dengan beberapa variabel penting dalam kerangka mengintrodusir Islam di kalangan kaum muda.

Salah satu variabel terpenting di kalangan kaum muda yang berdekatan dengan kultur Barat yang mereka gandrungi adalah tentang HAM. HAM bagi kaum muda dewasa ini melebihi segalanya. Itulah sebabnya Jaringan Islam Liberal (JIL), Kontras, dan beberapa kelompok muda lainnya sangat mengutamakan HAM. Sesungguhnya HAM dalam Islam telah diperkenalkan secara menarik dan ilmiah oleh A.K. Brohi.

A.K. Brohi dalam tulisannya The Spirit of Human Right in Islam menegaskan bahwa di Barat perhatian terhadap individu timbul dari pandangan yang anthroposentris, saat manusia merupakan ukuran terhadap segala sesuatu. Dalam Islam pandangan tersebut bersifat teosentris: Tuhan adalah Yang Mahatinggi, dan manusia hanya ada untuk mengabdi kepada-Nya.

Dari pandangan teosentris ini, mungkin akan terlihat bahwa manusia seolah-olah tidak mempunyai hak-hak dan hanya mempunyai kewajiban-kewajiban saja. Karena di dalam totalitas Islam kewajiban manusia kepada Allah swt. mencakup kewajibannya kepada masyarakat dan kepada setiap individu lainnya. Maka secara paradoks hak-hak dari setiap manusia dilindungi oleh kewajiban-kewajiban semua manusia di bawah hukum Allah.

Karena negara sekalipun tunduk kepada hukum Allah, ia pun dipaksa untuk melindungi hak-hak individu. Dengan menekankan persamaan semua manusia di depan Allah, dengan menekankan martabatnya, menekankan kemerdekaannya dari segala macam kepatuhan, kecuali kepada kepatuhan terhadap Allah semata-mata, dan dengan membuat negara bertanggung jawab kepada Allah. Oleh karena itu harus melindungi individu-individu dari penindasannya (negara) sendiri.

Dalam konteks itulah, perlu dipahami kaum muda bahwa Islam menegakkan sebuah standar yang tinggi mengenai hak-hak asasi manusia. Bila dibandingkan antara Barat dan Islam, Deklarasi Semesta mengenai hak-hak asasi manusia yang dikumandangkan tahun 1948, yang notabene digandrungi kaum muda, dengan sendirinya mampu dipenetrasikan melalui nilai-nilai Islam.(*)
 
(*)Oleh: Hardi Hamzah,
Staf Ahli Mahar Foundation dan Ketua Biro Pengembangan Media Massa DPW PAN Lampung 
 
(Sumber: Lampung Post, 28 Maret 2011)