Tertib Pemilu Kada, Belajar dari Imam Salat

Thursday, March 31, 2011

 Ilustrasi: google.com


Tertib Pemilu Kada, Belajar dari Imam Salat

Sepuluh tahun bertugas di Kabupaten Solok sebagai bupati, saya belum pernah didatangi seorang jemaah masjid atau surau yang mengajukan protes bahwa imam salat magrib, isya, dan subuh tidak demokratis, tidak mencerminkan kedaulatan berjemaah dan melanggar one man one vote. Sebaliknya, sangat sering saya menerima pengaduan bahwa pemilihan wali nagari tidak sah karena melanggar prinsip demokrasi, seperti kebebasan berkompetisi.

Dalam rentang waktu yang cukup lama itu, saya selalu diliputi pertanyaan, “Bisakah hubungan pemimpin publik dan masyarakat seperti hubungan imam dan makmum dalam salat jemaah? Bisakah umat Islam di Indonesia menempatkan dan menyikapi pemimpin formalnya seperti saat dia menjadi makmum dalam salat berjemaah? Apakah sebagai rakyat yang dipimpin dapat menahan diri untuk tidak unjuk rasa, tidak menghujat dan tidak mencaci, seperti akhlak para makmum yang memilih dan menegur imamnya dengan halus dan santun? Kini pertanyaan kritis itu kembali terlintas setelah merenungi berbagai kerugian yang ditimbulkan konflik politik dalam pemilu kada.


Kepemimpinan dalam Islam

Di subuh yang dingin pada suatu nagari di kaki Gunung Talang, Kabupaten Solok, sekelompok masyarakat bergegas menuju suatu masjid tanpa rasa kantuk, setelah mendengar azan subuh. Dingin juga bukan halangan bagi mereka untuk menunaikan ritual suci itu. Jemaah berkumpul dan membentuk barisan (saf-saf) yang teratur. Ketika muazin selesai ikamah, para jemaah terdepan seperti sepakat meminta jemaah yang paling baik pengetahuan agamanya untuk menjadi imam.

Sang panutan agama yang diminta menjadi imam hanya tersenyum. Kemudian melangkah ke depan mengambil posisi memimpin jemaah salat. Sementara jemaah lain langsung merapatkan barisan, mengikuti sang imam dengan khusyuk, patuh, dan tertib. Tidak ada protes apalagi demo selama salat berlangsung. Andaipun sang imam keliru membaca ayat, para makmum hanya berucap “Subhanallah!”, Mahasuci Allah. Ucapan “Subhanallah” bukanlah cara yang sah bagi makmum untuk meminta berhenti atau mengkritik imamnya. ‘Teguran’ lembut itu hanya sekadar untuk mengingatkan pemimpinnya bahwa hanya Allah Yang Mahabenar, dan tidak pernah keliru apalagi salah. Mendengar makmum menyebut “Subhanallah”, sang imam dengan arif segera memperbaiki kekeliruannya, lalu merenung sejenak untuk mengingat lalu membetulkan kembali bacaan ayatnya yang salah. Salat tidak diulang kembali, tetap dilanjutkan dengan lancar yang dipimpin imam yang arif dan jemaah yang patuh kepada imamnya.

Islam tidak mengajarkan kepada penganutnya bahwa seorang imam dapat diberhentikan (pemakzulan) oleh makmumnya salah membaca ayat. Islam juga tidak membolehkan pergantian imam dengan cara paksa (kudeta). Pergantian imam dalam salat berjemaah hanya dimungkinkan sejauh sang imam meninggalkan tempatnya dengan alasan merasa salatnya tidak lagi sempurna karena wudunya batal. Barisan terdepan diperkenankan mengambil posisi imam untuk melanjutkan salat jemaah bila sang imam telah meninggalkan tempatnya atas kesadaran sendiri. Sedangkan sang imam yang tadi batal wudunya hendaknya bergegas memperbarui wudunya, lalu mengambil posisi makmum pada barisan paling belakang. Betapa indahnya kepemimpinan dalam Islam bila becermin dari prosesi salat berjemaah yang diajarkan Islam itu.

Oleh sebab itu, tidak sepantasnya apabila kemudian berkembang pula profesi baru di tengah-tengah masyarakat, seperti sebagai imam mesjid dan imam salat berjemaah. Karena honornya semakin besar, akan muncullah iklan di media massa yang mempromosikan keahlian para imam. Misalnya, imam A mempunyai keunggulan jika dibandingkan dengan imam B, karena imam A fasih membaca ayat-ayat Alquran, menguasai beberapa irama mulai dari irama imam Masjidil Haram, Imam Masjid Madinah, dan beberapa irama lainnya, dll. Saya menjadi berpikir, seandainya imam mesjid atau surau diberikan honor yang besar, pekerjaan imam akan menjadi rebutan. Sehingga sebelum salat dimulai, antarjemaah yang hadir perlu dilakukan voting. Yang memperoleh suara terbanyaklah yang berhak menjadi imam. Jika hal ini terjadi, hilanglah ajaran Islam di muka bumi ini.


Kepemimpinan dalam demokrasi

Pemimpin dalam pemilu kada, bupati, wali kota, atau gubernur dalam Islam disebut sebagai imam. Tapi mungkinkah ada pemimpin (imam) pada jabatan publik dan yang dipimpin (makmum), seperti imam dan makmum dalam salat berjemaah? Tidak perlu kasak-kusuk dan tidak perlu menebar isu terhadap calon imam lainnya. Apalagi mengeluarkan sejumlah dana untuk mencari kelemahan calon imam lainnya untuk dibeberkan kepada publik atau jemaah. Tidak perlu menggunakan tim sukses, dan menyebarkan kelemahan calon imam lainnya melalui tim sukses ini dan itu, karena teringat hadis Rasulullah, “Akan menyesal di hari kiamat kelak, orang-orang yang minta-minta jabatan.”Masih adakah pemimpin dalam meraih jabatan publik yang berpikir seperti imam salat jemaah yang menjalankan amanah masyarakat/jemaah dengan tulus ikhlas? Menurut ajaran Islam, jabatan itu adalah amanah. Atau sebaliknya, sebagai masyarakat seperti makmum yang secara islami berpikir bahwa mereka membutuhkan seorang imam publik, yang dipercaya atau amanah, tanpa mempertimbangkan kepentingan partai dan kelompoknya, serta mengharapkan imbalan dari sang calon imam. Dan ketika imam dalam jabatan publik melakukan kesalahan yang prinsip, yang diyakininya telah membuat esensi kepemimpinannya menjadi tidak mampu menopang jabatan karena tidak lagi amanah, tidak jujur dan telah cacat moral seperti halnya imam dalam salat yang batal wuduknya, tanpa diminta makmum/publik ia mundur dan kemudian meminta jemaah lain yang paling pantas untuk menggantikannya. Lalu dengan kesadaran mendalam ia beralih posisi menjadi makmum/rakyat yang patuh kepada pemimpinnya, karena memahami ‘atiullaha wa atiurrasul, wa ulil amri minkum’, taati Allah, taati Rasul dan patuhi pemimpinmu.

Teman saya mengatakan, kita tidak mungkin menghadirkan sosok pemimpin layaknya imam dalam salat jemaah. Kita hidup di zaman di mana demokrasi dengan segala prinsip-prinsipnya telah menjadi pilihan dunia. Kita tidak mungkin berharap seperti zaman nabi. Itu adalah masa lalu. Jangan bermimpi, atau jangan sok idealis, kita harus realistis. Demokrasi Amerika telah menjadi pilihan dunia, dengan segala argumennya yang sarat muatan ilmiah. Kalau memang masyarakat atau umat Islam lainnya berpikir seperti teman saya tadi dan juga calon-calon pemimpin publik lainnya berpikir seperti teman saya itu, masih tepatkah atau masih relevankah kita berharap akan ada pemimpin yang hadir di Republik ini seperti Rasulullah, atau sebaliknya seperti Umar bin Abdul Azis, Umar bin Khatab, atau Harun Al Rasyid?

Kita berharap bahwa perilaku umat Islam ketika dalam posisi sebagai rakyat yang dipimpin sama dengan ketika jemaah dalam aktivitas salat berjemaah. Memang berbeda kepemimpinan publik dengan kepemimpinan salat berjemaah. Yang satu punya imbalan gaji, yang kadang menggiurkan. Sementara yang lain hanya berharap pahala dan rida Allah. Yang satu menyimpan rasa cemburu dan yang lainnya menyimpan rasa keikhlasan.


Jalan keluar

Saya mencubit kulit tangan saya, masih terasa sakit, pertanda saya tidak bermimpi. Saya juga tidak sedang berkhayal, dan yang pasti saya sedang berkontemplasi. Saya percaya bahwa pemilu kada masih menyisakan harapan akan munculnya kepala daerah yang memiliki kapasitas, kapabilitas, dan integritas moral, serta tanggung jawab terhadap masyarakat yang dipimpinnya. Ketertiban pemilu kada tetap dapat diwujudkan bila masyarakat selaku pemilih dan para calon kepala daerah dalam proses pemilu diinspirasi pemilihan dan penggantian imam dalam salat berjemaah.

Harapan saya ke depan, pemimpin daerah dalam mengemban tugasnya agar menjunjung tinggi nilai dan ajaran Islam, sebagaimana terdapat dalam Alquran, watawa shoubil haqqi watawa shoubisshobr yang berarti ‘saling menasihati untuk kebenaran, dan saling menasihati untuk kesabaran’. Andaikan para pemimpin daerah mengamalkan nilai dan ajaran Islam ini, maka kedamaian akan tercipta sehingga kesejahteraan rakyat akan dapat dicapai. (*)

(*) Gamawan Fauzi | Menteri Dalam Negeri RI


(Sumber: Media Indonesia, 29 Maret 2011)