Ilustrasi: google.com
Sepanjang 2010, MA sudah memutus 12 perkara uji materiil Perda. Bahkan Kementerian Dalam Negeri sudah membatalkan tidak kurang dari 1691 Perda sepanjang periode 2004-2009.
Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No 1 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materiil sudah waktunya diperbaiki karena mengandung kelemahan dalam praktik. Batas waktu 180 hari untuk mengajukan permohonan keberatan atas berlakunya suatu peraturan di bawah undang-undang dinilai sangat merugikan masyarakat.
Usulan untuk merevisi PERMA No 1 Tahun 2004 mencuat di sela-sela diskusi “Implementasi Pengawasan Perda oleh Pemerintah dan Mahkamah Agung” yang diselenggarakan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) di Jakarta, Rabu (23/3). Hadir dalam diskusi itu perwakilan Bappenas, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Dalam Negeri, dan sejumlah pemerhati Peraturan Daerah (Perda).
Usulan itu muncul karena berdasarkan kajian yang dilakukan PSHK, juga oleh lembaga lain seperti Komnas Perempuan, banyak Perda bermasalah. Masalah bukan hanya menyangkut materi Perda yang bertentangan dengan peraturan lebih tinggi, tetapi juga mekanisme pembatalannya.
Dalam praktik sejak 2004, terjadi dualisme pembatalan Perda. Sebagian diputuskan melalui executive review di Kementerian Dalam Negeri, sebagian lagi melalui uji materiil di Mahkamah Agung. Dualisme ini terjadi karena inkonsistensi instrumen hukum yang mengatur Perda. “Mekanisme review Perda perlu ditinjau ulang,” kata M Nur Solikhin, peneliti PSHK.
PERMA No 1 Tahun 2004 diterbitkan semasa Ketua Mahkamah Agung Prof Bagir Manan. Beleid ini dibuat untuk menggantikan ketentuan tahun 1993 dan 1999. Berdasarkan PERMA ini, permohonan keberatan terhadap peraturan di bawah undang-undang dapat diajukan langsung ke Mahkamah Agung atau melalui pengadilan negeri yang membawahi wilayah hukum tempat kedudukan pemohon.
Salah satu yang mendapat sorotan Solikhin adalah batas waktu 180 hari untuk mengajukan permohonan keberatan. Artinya, jika seseorang hendak mengajukan uji materiil Perda dan peraturan di bawah Undang-Undang lainnya ke Mahkamah Agung, permohonan itu belum melewati batas waktu 180 hari sejak dinyatakan berlaku. Jika lewat, permohonan akan kandas di tengah jalan. Menurut Solikhin, aturan ini bukan hanya membatasi tetapi juga berpotensi menghilangkan hak masyarakat yang merasa dirugikan atas berlakunya Perda. Bisa saja dampak negatif atau kelemahan suatu Perda baru tampak setelah melewati batas waktu 180 hari.
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pada dasarnya juga memuat mekanisme pengawasan Perda. Perumusan hak uji materil dalam PERMA belum mempertimbangkan Undang-Undang ini karena ada selisih waktu sekitar tujuh bulan. Undang-Undang Pemda disahkan Oktober 2004, sedangkan PERMA No 1 Tahun 2004 terbit pada Maret 2004. “Perma itu dibuat sebelum Undang-Undang Pemda 2004 terbit,” kata Solikhin.
Pelaksanaan pengujian juga dinilai masih menjadi masalah. Selama ini ada hambatan bagi masyarakat karena sidang pengujian yang cenderung ‘tertutup’. Ke depan, PERMA harus memberikan jaminan bahwa sidang pengujian Perda bersifat terbuka. Bahkan perlu menghadirkan para pihak ke dalam ruang sidang, mendengarkan keterangan ahli, seperti halnya sidang pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi. PERMA belum mengakomodir kemungkinan itu.
Jika proses pengujian di Mahkamah Agung harus terbuka, pengujian oleh Kementerian Dalam Negeri untuk Perda Pajak dan Retribusi harus mendapat perlakuan sama. Undang-Undang Pemda juga belum mengakomodir kemungkinan hukum acara yang demikian.
Kepala Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri, Zudan Arif Fakrulloh, mengakui sejak 2004 tidak ada perubahan sistem pengawasan Perda. Padahal lebih dari seribu Perda telah dibatalkan Kementerian Dalam Negeri sepanjang lima tahun terakhir.
Menurut Prof Zudan, ini merupakan saat yang tepat untuk mengkaji ulang sistem pengawasan Perda, karena bersamaan waktunya dengan revisi Undang-Undang Pemerintahan Daerah.
Penulis : Mys
(Sumber: Hukum Online)