Ilustrasi: google.com
Masyarakat menilai Rancangan Undang-undang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan (RUU PTuP) yang disiapkan pemerintah berpotensi mengancam kehidupan masyarakat. Karena ada ketidakjelasan pengertian “kepentingan umum” dalam RUU, dan dikhawatirkan mempertajam konflik agraria terutama masyarakat adat.
“Tidak jelas landasan kepentingan umum, yang dikhawatirkan dimanfaatkan bagi perusahaan tertentu atau orang-orang di pemerintahan,” kata Direktur Eksekutif Walhi Aceh TM Zulfikar ketika dihubungi, Jumat (25/3).
Walhi Aceh bersama kelompok masyarakat sipil melakukan kajian terhadap RUU PTuP. Kemudian, pada 23 Maret lalu, hasil kajian mereka serahkan kepada perwakilan DPR-RI saat berkunjung ke Banda Aceh. Adapun dari DPR hadir M Nasir Djamil (FPKS), Nurul Arifin (FPG), Honning Sanny (FPDIP), Irvansyah (FPDIP), TB Soemandjaya (FPKS), A Taufan Tiro (FPAN) dan AW Thalib (FPPP).
“Subtansi dari draf RUU tidak melindungi hak-hak masyarakat atas tanah,” ujar Zulfikar.
Berdasarkan kajian WALHI Aceh bersama komponen lain, ada beberapa pasal berpotensi memicu konflik agraria. Antara lain, Pasal 6 dan Pasal 9 dari RUU ini.
Pasal 6 menyatakan, “Pihak yang berhak wajib melepaskan tanahnya pada saat pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum”. Pasal 9 RUU menyatakan, “Pihak yang berhak dan objek pengadaan tanah untuk kepentingan umum tunduk dan terikat pada ketentuan dalam undang-undang ini”.
Kedua pasal tersebut, menurut kajian mereka, memastikan kepentingan rakyat ditiadakan dan harus merelakan lahan milik mereka direlakan bagi kepentingan umum. Selain itu, RUU ini meminggirkan posisi masyarakat adat tapi sebaliknya melegalkan posisi pengguna lahan. “Jika begini, tentu saja akan rawan konflik terkait Hak Asasi Manusia,” ujar Zulfikar.
RUU ini, ujar Zulfikar, dinilai ketinggalan dari isi Deklarasi PBB 13 September 2007 tentang hak-hak masyarakat adat yang disetujui oleh pemerintah Indonesia pada bulan dan tahun sama. Pengadaan tanah untuk pembangunan, menurutnya, dalam suatu negara sejatinya memang perlu diatur.
Namun, dasar pengaturannya bukan sekadar menjamin kepastian hukum. Pengaturan tersebut harus menjadi instrumen dalam mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia, imbuh Zulfikar.
Perwakilan dari masyarakat adat Aceh, Tengku Nasruddin menyampaikan tanah merupakan persoalan krusial. “RUU ini sedikitpun tidak ada menyentuh rakyat banyak. Sebaiknya RUU ini ditiadakan apalagi di Aceh yang sarat dengan adat. Kami mengharapkan masukan kami diperhatikan,” ujarnya.
Anggota DPR M Nasir Djamil, seperti dituturkan Zulfikar, menyatakan akan membawa masukan dalam daftar inventarisasi masalah pada rapat dengan pemerintah. Selama ini, paparnya ada beberapa RUU yang deadlock seperti RUU Desa dan Peradilan Militer karena terjadi ketidakcocokan antara DPR dengan pemerintah.
Zulfikar menyatakan, melihat gelagat yang ada, pemerintah memaksakan RUU ini lolos. Karena itu, pemerintah didesak untuk memberikan pengakuan formal terhadap hak-hak masyarakat.
Lalu, rencana penataan ruang dibuat partisipatif, integratif dan dilaksanakan konsisten. Sekaligus, membuka informasi badan-badan publik pada masyarakat. Apabila ada penolakan, maka dia berharap dibuka mekanisme keberatan yang dapat diakses publik dengan mudah terhadap hasil tim penilai, dan peradilan bersih serta independen.
Penulis : Inu
(Sumber: Hukum Online)