Membangun Partisipasi Publik Menuju Peradilan Bersih (Bagian II)
Namun selama ini, hak dasar warga Negara tersebut belum mampu diejahwantahkan dengan baik akibat belum berjalannya system peradilan kita dengan baik. Terlebih lagi, ketika system peradilan kita tekesan sangat eksklusif, dimana segala tindak tanduk aparatur hokum tidak mampu tersampaikan dengan baik ditengah masyarakat. Dengan demikian, peradilan dapat menciptakan proses terbuka yang partisipatif , dengan berpatokan kepada 4 (empat) hal prinsipil, yakni: Pertama, Adanya hak publik untuk memantau perilaku pejabat publik dilingkungan lembaga yudisial yakni ; hakim, jaksa, kepolisian, dll. Dengan demikian, maka akses control ini akan lebih mampu mengevaluasi kinerja aparatur hokum kita secara baik pula. Kedua, Transparansi produk lembaga yudicial atau jaminan hak publik untuk memperoleh kebebasan informasi. Sebagai bentuk proses pembangunan kesadaran hokum masyarakat, akses informasi ini begitu penting. Dominasi pengetahuan yang selama ini didominasi sebatas pada kalangan profesi hokum, harus dibalik menjadi konsumsi umum kepada masyarakat luas. Ketiga, Partisipasi public dalam system peradilan. Jika kedua hal di atas sudah mampu direalisasikan, maka upaya awal partisipasi akan berjalan dengan baik. Masyarakat harus diberikan kesempatan dalam berpatisipasi seluas-luasnya dalam proses peradilan, baik dari aspek pengawasan, maupun keterlibatan dalam regulasi hokum yang diatur dalam perundang-undangan. Keempat, adanya jaminan kebebasan berekspresi dan berpendapat bagi masyarakat. Termasuk dalam hal memberitakan semua keburukan institusi dan system peradilan kita. Jaminan ini terasa masih sangat mengambang, terlebih jika kita melihat beberapa kasus yang muncul belakangan ini. Kita mungkin masih ingat bagaimana Kejaksaan agung melakukan upaya kriminalisasi terhadap beberapa orang anggota Indonesian Corruption Watch (ICW) serta seorang pimpinan harian ibu kota, hanya karena mempublikasikan data-data yang sejatinya justru laporan dari BPK. Sungguh aneh, dan tentu saja menjadi kontraproduktif dalam upaya mewujudkan system demokratisasi, termasuk dilingkungan peradilan.
Upaya Diseminasi Makna Mafia Peradilan
Diseminasi adalah suatu kegiatan yang ditujukan kepada kelompok target atau individu agar mereka memperoleh informasi, timbul kesadaran, menerima, dan akhirnya memanfaatkan informasi tersebut. Namun lebih jauh, proses diseminasi juga dapat kita artikan sebagai bentuk perluasan makna dari apa yang kita pahami terhadap suatu objek atau hal tertentu. Hal tersebut dimaksudkan agar pemahaman terhadap suatu objek tersebut dapat lebih komprehensif dan terbuka, sehingga dapat diserap dengan baik, walau dengan pemahaman seseorang yang sangat awam sekalipun. Lantas apa hubungan antara upaya mewujudkan peradilan bersih dengan proses diseminasi???. Selama ini, diskursus terhadap mafia peradilan hanya ditempatkan dalam bingkai tindakan kejahatan yang cenderung bersifat “Invisible Hand”. Artinya, bukan mustahil untuk diungkap, akan tetapi merupakan kategori kejahatan yang sangat rapi dan sistematis karena dibentengi oleh system hokum kita yang memang sangat bobrok.
Proses diseminasi disini diperlukan agar diskursus mafia peradilan, tidak hanyak seputar suap-menyuap dan sogok menyogok. Tapi juga harus diperluas sampai kepada proses hokum, procedural dan upaya mendorong keterbukaan dalam system peradilan (fair trial). Mafia peradilan hanya selalu diindentikkan dalam kasus suap-menyuap dan sogok menyogok antara terdakwa dan hakim. Padahal sesungguhnya praktek mafia peradilan juga terjadi ditingkatan proses yang justru lebih mudah diungkap. Misalnya saja dalam administrasi proses hokum, dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan hingga pemeriksaan sidang sampai putusan. Kita seharusnya juga mengarahkan pengawasan dalam konteks ini. Dimana masyarakat yang sedang mengalami proses hokum, harusnya diberikan pemahaman bahwa setiap proses hokum yang berjalan, memiliki prosedur-prosedur tetap yang telah diatur dalam perundang-undangan.
Disinilah makna diseminasi atau perluasan makna tersebut. Misalkan saja dalam proses penyelidikan, penahanan dilakukan selama 20 hari, dan perpanjangan maksimal 40 hari, apakah sudah berjalan demikian atau tidak. Karena akibat lemahnya kesadaran dan pengetahuan hokum, masyarakat (apalagi dalam tekanan psikologi ketika berhadap-hadapan dengan aparatur hokum yang sangat) biasanya hanya akan pasrah terlebih ketika memang dalam posisi yang salah. Contoh lain adalah acara pemeriksaan dalam proses persidangan. Penundaan persidangan menjadi tidak transparan sebab tidak disertai alasan-alasan hokum yang dapat diterima. Molornya waktu juga menjadi potensi kompromi bagi mafia peradilan dalam melakukan proses negosiasi. Diseminasi ini harus dimaknai sebagai sebuah upaya pembangunan kesadaran hokum masyarakat, bahwa mafia peradilan tidak hanya sebatas sogok-meyogok hakim, namun juga tidak berjalannya prosedur hokum sebagaimana mestinya.
Tahapan strategi partisipasi Publik dalam Mewujudkan Peradilan Bersih
Dalam mewujudkan system peradilan yang adil, bersih dan transparan, maka ada beberapa catatan penting yang harus dilakukan sebagai tahapan awal, yakni
Pertama, Peningkatan kualitas pemahaman Produk Hukum. Hal ini bertujuan untuk meminimalisir praktek perbudakan hukum (Pembodohan, penipuan dll), terhadap masyarakat. Sebagaimana diungkapkan di awal tulisan, bahwa pada konteks procedural hokum, masih begitu banyak masyarakat yang tidak memahaminya dengan baik, sehingga peluang bagi terjadinya praktek mafia peradilan juga kian terbuka lebar.
(Bersambung)