Membangun Partisipasi Publik Menuju Peradilan Bersih (Bagian I)

Thursday, March 24, 2011

  Ilustrasi: google.com
Membangun Partisipasi Publik Menuju Peradilan Bersih (Bagian I)

“Access by people, in particular from poor and disadvantaged groups to fair, effective and accountable mechanisms for the protection of rights, control of abuse of power and resolution of conflicts. This includes the ability of people to seek and obtain a remedy through formal and informal justice systems, and the ability to seek and exercise influence on law-making and law-implementing processes and institutions”.

“Komisi Yudisial dibentuk agar dapat melakukan monitoring yang intensif terhadap kekuasaan kehakiman dengan melibatkan unsur-unsur masyarakat dalam spectrum yang seluas-luasnya dan bukan hanya monitoring secara internal”. (Amanah Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial) . Pernyataan ini, dimaksudkan agar sistem peradilan kita memiliki tanggung jawab dalam memberikan akses secara luas terhadap masyarakat, dan Komisis Yudisial sebagai lembaga pengawasan, memiliki peran penting dalam mentransformasikan kebutuhan ini secara massif kepada masyarakat. Pengawasan bukan hanya menjadi kewajiban unsur lembaga-lembaga yudisial, namun juga menjadi hak masyarakat sebagai bagian dari proses penguatan civil society. Saat ini, begitu banyak kontroversi produk lembaga yudisial kita yang sangat controversial sehingga menjadi buah bibir masyarakat dan akhirnya berakhir kepada tingkat kepercayaan yang semakin menurun.

Permasalah inilah yang menjadi salah satu focus dalam reformasi system peradilan kita. Sebab tidak akan mungkin melahirkan peradilan yang bersih tanpa pembersihan telebih dahulu terhadap institusi “Criminal Justice System” dari praktek kejahatan luar biasa, dimana salah satunya adalah “Mafia Peradilan (Juctice Corruption)”. Apalagi kedepan, pasca diundangkannya Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, maka pengadilan Tipikor ditingkat daerah Provinsi juga akan dibentuk. Dan tanggung jawab dari elemen Sivil Society untuk mengawal proses ini dalam rangka membangun system peradilan yang bersih.

Setiap orang, dalam persamaan yang penuh, berhak atas peradilan yang adil dan terbuka oleh pengadilan yang bebas dan tidak memihak, dalam menetapkan hak dan kewajiban-kewajibannya serta dalam setiap tuntutan pidana yang dijatuhkan kepadanya (fair and impartial court) . Hak ini merupakan hak dasar bagi setiap manusia. Hak ini bersifat universal, berlaku di manapun, kapan pun dan kepada siapapun tanpa ada diskriminasi. Pemenuhan hak ini merupakan tanggung jawab Negara.

Situasi system peradilan Indonesia, memang sedang mengalami begitu banyak permasalahan, khususnya menyangkut perangkat yudisial yang cenderung menjauhkan masyarakat dari rasa keadilan. Mulai dari kredibilitas jaksa dan hakim, birokratisme proses peradilan, dan lainnya. Kondisi ini kemudian tidak diikuti oleh kapasitas hukum dan daya resistensi yang kuat dari masyarakat terhadap sebuah proses hukum yang terjadi. Masyarakat terkadang hanya jadi obyek terhadap kasus yang dihadapinya, yang tentunya berimplikasi terhadap hak-hak mereka. Sementara intitusi peradilan, justru mematikan upaya masyarakat dalam memperoleh akses dan informasi yang sejatinya menjadi hak dasar warga Negara yang telah diamanahkan oleh Undang-undang.


Mendorong sistem peradilan terbuka untuk mewujudkan akses Publik

Peradilan yang tertutup dan anti-kritik, akan mengarah kepada sistem hukum yang otoritarian yang tentu saja akan jauh berkali lipat lebih berhaya dari otoritarian politik. Sistem peradilan kita memang cenderung berdiri sendiri dan jauh dari keterlibatan masyarakat (Standing institution). Hal ini diakibatkan oleh tidak adanya keterbukaan akses masyarakat terhadap system peradilan, sehingga bangunan system peradilan tersebut berjalan terpisah dari partisipasi masyarakat. Padahal sesungguhnya untuk menciptakan peradilan bersih, maka diperlukan keterbukaan akses dan informasi bagi masyarakat luas, agar hakim dan perangkat yudisial lainnya tidak bertindak sewenang-wenang. Siapa bilang hakim itu tuhan atau dewa yang tidak pernah salah?. Sebagai warga Negara yang baik, kita memang berkewajiban untuk mematuhi putusan hakim dan pengadilan, akan tetapi fakta dan realitas yang terjadi menunjukkan bahwa tingkat kesalahan putusan oleh hakim begitu banyak berserakan diluar sana. Masih ingatkah kita dengan kasus Asrori, salah satu korban Ryan sipembunuh berantai? Sungguh sangat menyedihkan ketika David dkk dinyatakan tersangka (bahkan 1 orang telah divonis bersalah oleh hakim), . Bukankah ini menjadi permasalahan yang tidak boleh dianggap remeh dalam sistem peradilan kita. Lantas upaya yang dilakukan untuk memperbaiki dan meminamalisir kesalahan-kesalahan ini?
Akses public, khususnya menyangkut informasi dan pengetahuan terhadap system peradilan kita memang terbilang masih sangat minim. Padahal akses informasi yang ditinjau dari kecamatan hak setiap manusia, telah dijamin dalam Konstitusi Negara kita. Yang menyatakan bahwa,
“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang yang tersedia“.

Demikian halnya dalam kaidah internasional. Konvensi-konvensi internasional mengenai jaminan akses masyarakat terhadap informasi, telah di atur dalam sejumlah kovenan internasional, salah satunya yang tertuang dalam Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia, yang menyatakan bahwa,
“Setiap orang berhak mengeluarkan pendapat dan berekspresi; hak-hak tersebut meliputi kebebasan untuk berpendapat, mencari, menerima, menyebarkan informasi dan ide tanpa dihalang-halangi”.

Namun selama ini, hak dasar warga Negara tersebut belum mampu diejahwantahkan dengan baik akibat belum berjalannya system peradilan kita dengan baik. Terlebih lagi, ketika system peradilan kita tekesan sangat eksklusif, dimana segala tindak tanduk aparatur hokum tidak mampu tersampaikan dengan baik ditengah masyarakat. Dengan demikian, peradilan dapat menciptakan proses terbuka yang partisipatif , dengan berpatokan kepada 4 (empat) hal prinsipil, yakni: Pertama, Adanya hak publik untuk memantau perilaku pejabat publik dilingkungan lembaga yudisial yakni ; hakim, jaksa, kepolisian, dll. Dengan demikian, maka akses control ini akan lebih mampu mengevaluasi kinerja aparatur hokum kita secara baik pula. Kedua, Transparansi produk lembaga yudicial atau jaminan hak publik untuk memperoleh kebebasan informasi. Sebagai bentuk proses pembangunan kesadaran hokum masyarakat, akses informasi ini begitu penting. Dominasi pengetahuan yang selama ini didominasi sebatas pada kalangan profesi hokum, harus dibalik menjadi konsumsi umum kepada masyarakat luas. Ketiga, Partisipasi public dalam system peradilan. Jika kedua hal di atas sudah mampu direalisasikan, maka upaya awal partisipasi akan berjalan dengan baik. Masyarakat harus diberikan kesempatan dalam berpatisipasi seluas-luasnya dalam proses peradilan, baik dari aspek pengawasan, maupun keterlibatan dalam regulasi hokum yang diatur dalam perundang-undangan. Keempat, adanya jaminan kebebasan berekspresi dan berpendapat bagi masyarakat. Termasuk dalam hal memberitakan semua keburukan institusi dan system peradilan kita. Jaminan ini terasa masih sangat mengambang, terlebih jika kita melihat beberapa kasus yang muncul belakangan ini. Kita mungkin masih ingat bagaimana Kejaksaan agung melakukan upaya kriminalisasi terhadap beberapa orang anggota Indonesian Corruption Watch (ICW) serta seorang pimpinan harian ibu kota, hanya karena mempublikasikan data-data yang sejatinya justru laporan dari BPK. Sungguh aneh, dan tentu saja menjadi kontraproduktif dalam upaya mewujudkan system demokratisasi, termasuk dilingkungan peradilan.


Upaya Diseminasi Makna Mafia Peradilan

Diseminasi adalah suatu kegiatan yang ditujukan kepada kelompok target atau individu agar mereka memperoleh informasi, timbul kesadaran, menerima, dan akhirnya memanfaatkan informasi tersebut. Namun lebih jauh, proses diseminasi juga dapat kita artikan sebagai bentuk perluasan makna dari apa yang kita pahami terhadap suatu objek atau hal tertentu. Hal tersebut dimaksudkan agar pemahaman terhadap suatu objek tersebut dapat lebih komprehensif dan terbuka, sehingga dapat diserap dengan baik, walau dengan pemahaman seseorang yang sangat awam sekalipun. Lantas apa hubungan antara upaya mewujudkan peradilan bersih dengan proses diseminasi???. Selama ini, diskursus terhadap mafia peradilan hanya ditempatkan dalam bingkai tindakan kejahatan yang cenderung bersifat “Invisible Hand”. Artinya, bukan mustahil untuk diungkap, akan tetapi merupakan kategori kejahatan yang sangat rapi dan sistematis karena dibentengi oleh system hokum kita yang memang sangat bobrok.

Proses diseminasi disini diperlukan agar diskursus mafia peradilan, tidak hanyak seputar suap-menyuap dan sogok menyogok. Tapi juga harus diperluas sampai kepada proses hokum, procedural dan upaya mendorong keterbukaan dalam system peradilan (fair trial). Mafia peradilan hanya selalu diindentikkan dalam kasus suap-menyuap dan sogok menyogok antara terdakwa dan hakim. Padahal sesungguhnya praktek mafia peradilan juga terjadi ditingkatan proses yang justru lebih mudah diungkap. Misalnya saja dalam administrasi proses hokum, dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan hingga pemeriksaan sidang sampai putusan. Kita seharusnya juga mengarahkan pengawasan dalam konteks ini. Dimana masyarakat yang sedang mengalami proses hokum, harusnya diberikan pemahaman bahwa setiap proses hokum yang berjalan, memiliki prosedur-prosedur tetap yang telah diatur dalam perundang-undangan.

Disinilah makna diseminasi atau perluasan makna tersebut. Misalkan saja dalam proses penyelidikan, penahanan dilakukan selama 20 hari, dan perpanjangan maksimal 40 hari, apakah sudah berjalan demikian atau tidak. Karena akibat lemahnya kesadaran dan pengetahuan hokum, masyarakat (apalagi dalam tekanan psikologi ketika berhadap-hadapan dengan aparatur hokum yang sangat) biasanya hanya akan pasrah terlebih ketika memang dalam posisi yang salah. Contoh lain adalah acara pemeriksaan dalam proses persidangan. Penundaan persidangan menjadi tidak transparan sebab tidak disertai alasan-alasan hokum yang dapat diterima. Molornya waktu juga menjadi potensi kompromi bagi mafia peradilan dalam melakukan proses negosiasi. Diseminasi ini harus dimaknai sebagai sebuah upaya pembangunan kesadaran hokum masyarakat, bahwa mafia peradilan tidak hanya sebatas sogok-meyogok hakim, namun juga tidak berjalannya prosedur hokum sebagaimana mestinya.


Tahapan strategi partisipasi Publik dalam Mewujudkan Peradilan Bersih

Dalam mewujudkan system peradilan yang adil, bersih dan transparan, maka ada beberapa catatan penting yang harus dilakukan sebagai tahapan awal, yakni :

Pertama, Peningkatan kualitas pemahaman Produk Hukum. Hal ini bertujuan untuk meminimalisir praktek perbudakan hukum (Pembodohan, penipuan dll), terhadap masyarakat. Sebagaimana diungkapkan di awal tulisan, bahwa pada konteks procedural hokum, masih begitu banyak masyarakat yang tidak memahaminya dengan baik, sehingga peluang bagi terjadinya praktek mafia peradilan juga kian terbuka lebar.

Kedua, memperkuat gerakan sicil society multi sektoral. Strategi utama dalam mencapai penguatan gerakan civil society adalah menyatukan persepsi secara multi sektoral. Misalnya saja, praktek mafia peradilan tidak hanya dialami oleh masyarakat umum dalam kasus tindak pidana umum. Akan tetapi juga dalam kasus yang bersifat khusus, sengketa miskin kota secara perdata misalnya, atau buruh dalam sengketa hubungan industry di PHI, dll. Bukankah setiap medan penyelesaian hukum ini juga memiliki potensi praktek mafia peradilan? Untuk itu, pola multi sektoral ini juga begitu penting untuk kita lakukan.

Ketiga, Monitoring, termasuk upaya untuk melakukan identifikasi Modus praktek mafia peradilan. Monitoring merupakan serangkaian aktivitas untuk memastikan berjalannya aktivitas dengan baik sebagaimana yang diharapkan. Teknik monitoring serta evaluasi biasanya menggunakan data primer dan skunder atau intra dan ekstrapolatin. Data primer disini merupakan data langsung dari fakta-fakta yang ditemukan dilapangan (hard database) dan interpretasi dari apa yang kita dapatkan tersebut (soft database). Sedangkan data sekunder merupakan data-data yang kita dapatkan dari luar, dalam hal ini spesifik dari lembaga-lembaga yudisiial yang ada di daerah (Pengadilan, kejaksaan, kepolisian, dll).

Keempat, Investigasi. Pemahaman terhadap Investigasi disini harus kita maknai sebagai upaya pencarian serta pengumpulan data-data, informasi dan temuan lainnya untuk mengetahui kebenaran suatu peristiwa. Investigasi juga dapat bertujuan mengungkapkan kesalahan suatu peristiwa. Jika selama ini investigasi lebih dominan kepada aspek pencarian benar-tidaknya suatu tindakan hokum, maka sudah saatnya pula kita bergerak dalam mencari tahu kesalahan suatu peristiwa hokum yang kita anggap janggal dan controversial. Salah satunya adalah dengan upaya eksaminasi yang akan dijelaskan di point berikutnya.

Kelima, Testimoni. Testimoni tidak hanya terhenti kepada CJS dan lembaga-lembaga pendukung (LSM. Dll), namun juga harus tersampaikan dengan baik kepada public secara luas. Hal ini yang justru menjadi titik kelemahan selama ini. Bukan hanya korban praktek mafia peradilan yang enggan melakukan testimony akibat ketakutan berlebihan, namun juga lemahnya sokongan dari lembaga-lembaga non-judicial. Secara regulative, korban praktek mafia peradilan memang telah dibentengi oleh produk undang-undang, semisal UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, namun substansi undang-undang tersebut belum berjalan seperti yang diharapkan. Seperti kata pepatah, bahwa kita hanya cukup membutuhkan 1 orang yang berani untuk membongkar mitos, dengan demikian, keberanian tersebut akan diikuti oleh mereka yang sebelumnya tidak yakin.

Keenam, Memanfaatkan ruang-ruang partisipasi yang bertendensi politics-regulatif. Interpretasi politics-regulatif lebih kepada bagaimana gerakan sivil society menggunakan ruang pengambilan kebijakan, meski tidak sebesar ruang politik pemerintahan. Kita ambil contoh kasus seperti keberadaan kelompok civil society dalam Mekanisme pengambilan kebijakan di Tim Kormonev provinsi Kalimantan Timur. Hal tersebut sudah tepat, tapi sayang tidak diimbangi oleh metode gerakan sivil society yang massif dari luar. Yang terjadi kemudian, justru ruang yang ada tidak mampu kita manfaatkan secara efektif. Untuk itu diperlukan suatu keseimbangan antara metode pemanfaatan ruang ini dengan kemampuan kita memperngaruhi secara politik. Misalnya ; penguatan monitoring dan investigasi, menciptakan ruang eksaminasi sebagai uji produk peradilan, dll. Kedepan, akan begitu banyak ruang-ruang yang akan kita pergunakan, misalnya saja mencoba melakukan proses rekomendasi (tentu saja dari hasil investigasi), mengenai calon hakim pengadilan Tipikor, yang kita anggap bersih, kredibel dan memiliki dedikasi tinggi dalam membangun system peradilan yang adil.

Ketujuh, Upaya Eksaminasi sebagai medan second opoinion terhadap masyarakat luas. Eksaminasi secara harfiah dapat diartikan sebagai pengujian atau pemeriksaan. Tujuan ekasaminasi dalam system hokum kita adalah menguji keberadaan produk peradilan baik hakim atau jaksa yang dianggap atau dicurigai menyimpang dari rasa keadilan masyarakat dan atau produk putusan yang controversial serta mengandung akibat social yang tinggi di tengah masyarakat. Proses ini dapat didasari secara formill maupun materill, sehingga dapat ditarik kesimpulan dari segala aspek. Proses eksaminasi juga dapat kita maknai sebagai upaya alternative terhadap pembuktian prilaku-prilaku menyimpang dari pejabat aparatur hokum kita korup. Sehingga sokongan masyarakat juga kian luas dengan perbenturan opini ini. (Bersambung)

***

Penulis:
Herdiansyah Hamzah SH
dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Samarinda
Kontak person: 085242880100. Email: herdiansyah_hamzah@yahoo.com

(Sumber: www.gagasanhukum.wordpress.com)