FAQ International Criminal Court

Wednesday, March 16, 2011

 Ilustrasi: International Criminal Court

1. Apakah ICC itu?
International Criminal Court (ICC) adalah pengadilan tetap dan independen pertama yang berwenang melakukan penyelidikan, mengadili dan menghukum setiap orang yang melakukan kejahatan internasional khususnya yang termasuk kategori pelanggaran berat terhadap hukum humaniter, pelangaran terhadap hukum hak asasi manusia, pelanggaran terhadap hukum pidana internasional, seperti kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan agresi. Kesemua kejahatan tersebut digolongkan ke dalam kejahatan yang paling serius (the most serious crimes).

2. Bagaimanakah pengesahan dan berlakunya Statuta Roma?
Pada tanggal 17 Juli 1998 “United Nations Diplomatic Conference on Plenipotentiaries on the Establishment of an International Criminal Court” yang dihadiri oleh 160 negara, telah mengesahkan Statuta Roma tentang Pembentukan ICC, dengan komposisi suara 120 negara setuju, 21 negara abstain, dan 7 negara menentang termasuk Amerika Serikat, Cina, Israel, dan India. Sejak 1 Juli 2002, ICC berlaku, setelah 60 negara meratifikasinya. Hingga saat ini ICC telah ditandatangani oleh 139 negara dan telah diratifikasi 105 negara.

3. Mengapa ICC dibutuhkan?
Pada abad ini telah terjadi kekerasan yang terburuk dalam sejarah kemanusiaan. Dalam lima puluh tahun terakhir, lebih dari 250 konflik terjadi di seluruh dunia yang memakan korban lebih dari 86 juta warga, terutama anak-anak dan wanita; dan 170 juta warga sipil kehilangan hak-haknya, harta benda dan martabat mereka. Kebanyakan dari korban ini telah dilupakan dan hanya sedikit pelaku dari kejahatan ini dijatuhi hukuman.

Walaupun hukum internasional telah melarang kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan dan  genosida melalui berbagai bentuk perjanjian internasional (konvensi, protokol, aturan-aturan, standar, dll.)  dan norma-norma hukum kebiasaan internasional, namun penegakannya yang efektif untuk menuntut pertanggungjawaban individu atas pelanggaran-pelanggaran tersebut belum terwujud dalam tatanan global.

Langkah pertama untuk membentuk suatu mekanisme pengadilan telah diupayakan dengan mendirikan Mahkamah Militer Internasional di Nuremberg dan Tokyo seusai Perang Dunia ke-II, namun upaya ini dianggap gagal karena hanya mewujudkan keadilan bagi pemenang perang (victor’s justice). Upaya berikutnya adalah pembentukan Mahkamah Pidana ad hoc untuk menuntut pelaku kejahatan paling serius di negara-negara bekas Yugoslavia (ICTY) dan Rwanda (ICTR) tapi ini pun dianggap hanya mewujudkan keadilan yang selektif (selective justice) karena hanya untuk di wilayah tertentu dan dalam kurun waktu tertentu saja. Sedangkan Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ), organ utama PBB dalam proses peradilan, dirancang terutama untuk menyelesaikan perselisihan antar negara, dan tidak memiliki yurisdiksi untuk menuntut tanggung jawab pidana secara individu. Oleh karena itu, dibentuklah ICC yang bersifat permanen untuk menuntut pertanggungjawaban pidana secara individu atas kejahatan yang paling serius tersebut.

4. Apakah tujuan ICC itu?

  • Mewujudkan keadilan global.
  • Mencegah konflik yang memakan korban anak-anak, wanita dan orang-orang yang tidak berdosa (kekejaman yang mengejutkan nurani umat manusia).
  • Menghapuskan impunitas.
  • Mengatasi kelemahan dari pengadilan-pengadilan pidana sebelumnya.
  • Menciptakan rasa keadilan bagi korban.
  • Lebih mengefektifkan hukum nasional.
  • Mencegah politisasi dalam mengadili pelaku kejahatan internasional.
  • Mencegah kejahatan yang membahayakan kemanan dan pedmaian dunia serta kemanusiaan.
  • Mencegah intervensi.
5. Apakah genosida itu?
Genosida meliputi tindak-tindak pidana (seperti pembunuhan, pemusnahan, penyiksaan, perkosaan) yang dilakukan dengan tujuan untuk menghancurkan, seluruh atau sebagian kelompok bangsa, suku, ras dan agama.

6. Apakah kejahatan terhadap kemanusiaan itu?

Kejahatan terhadap kemanusiaan meliputi tindak-tindak pidana tertentu yang dilakukan sebagai bagian dari suatu serangan meluas atau sistematis yang ditujukan terhadap penduduk sipil. Tindak-tindak pidana tersebut adalah pembunuhan, pemusnahan, pemerkosaan, perbudakan seksual, penghilangan secara paksa dan kejahatan apartheid.
Pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida dapat dihukum tanpa harus memperhatikan apakah kejahatan tersebut dilakukan pada saat perang atau pada saat damai.

7. Apakah kejahatan perang itu?

Kejahatan perang adalah kejahatan yang terjadi ketika konflik bersenjata, baik yang bersifat internasional maupun non-internasional, yang meliputi pelanggaran berat terhadap orang-orang atau hak milik yang dilindungi berdasarkan Konvensi Jenewa 1949 dan pelanggaran serius terhadap hukum dan kebiasaan perang lainnya. Kejahatan ini dilakukan sebagai bagian dari suatu rencana atau kebijakan dan dilaksanakan secara besar-besaran, yang antara lain meliputi: pembunuhan sengaja, penyiksaan termasuk percobaan biologis, sengaja menimbulkan penderitaan berat atau luka serius, perusakan meluas dan perampasan harta benda secara tidak sah, pemaksaan tawanan perang dan perampasan hak-haknya, deportasi tidak sah, penyanderaan, serangan sengaja terhadap penduduk sipil dan obyek-obyek yang bukan sasaran militer, penyalahgunaan bendera dan lambang.

8. Apakah agresi itu?

Pada 14 Desember 1974, Mejelis Umum PBB telah mengadopsi Resolusi 3314 yang menggolongkan tindakan-tindakan yang termasuk ke dalam tindakan agresi. Perbuatan-perbuatan tersebut adalah serangan bersenjata, pemboman, blokade, pendudukan wilayah, mengijinkan negara lain untuk menggunakan wilayah negaranya untuk melakukan tindakan agresi dan mengerahkan tentara yang tidak resmi dan tentara bayaran untuk terlibat dalam agresi. Tindakan agresi merupakan serangkaian tindakan yang dilakukan terencana dan berkelanjutan.
Berdasarkan Statuta Roma, kejahatan agresi baru akan dihadapkan di ICC apabila negara telah menyetujui definisi, kondisi-kondisi dan unsur-unsur dari agresi itu sendiri pada suatu Review Conference. Di samping itu, berdasarkan Piagam PBB, Dewan Keamanan mempunyai kewenangan eksklusif untuk menyatakan bahwa suatu tindakan agresi telah terjadi.

9. Apakah peran Dewan Keamanan PBB dalam kinerja ICC?
Statuta Roma mengakui peranan PBB dalam memelihara perdamaian dan keamanan internasional. Berdasarkan Bab VII Piagam PBB, Dewan Keamanan PBB dapat merujuk suatu situasi ke ICC ketika satu atau lebih kejahatan yang tercantum dalam Statuta telah terjadi. Hal tersebut akan menjadi dasar bagi Jaksa Penuntut untuk memulai penyelidikan. Karena situasi yang ditunjuk Dewan Keamanan didasarkan pada kewenangan dan kemampuannya, maka sifatnya mengikat dan secara hukum dapat ditegakkan di semua negara. Pelaksanaan yurisdiksi ICC menjadi bagian dari alat penegakan Dewan Keamanan. Yurisdiksi tersebut mengikat walaupun negara yang menjadi kewarganegaraan pelaku atau negara tempat terjadi kejahatan bukan negara peratifikasi Statuta.

10. Apa perbedaan ICC dengan International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia (ICTY) dan International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR)?
Dua pengadilan ad hoc ini (ICTY dan ICTR) dibentuk oleh Dewan Keamanan PBB untuk menyelesaikan situasi setelah kejahatan yang paling serius terjadi. Yurisdiksi pengadilan ini terbatas pada waktu tertentu dan terbatas pada wilayah-wilayah bekas Yugoslavia dan Rwanda. Kedua pengadilan ini bukan untuk menyelesaikan kejahatan yang terjadi di tempat lain atau untuk mencegah kejahatan di masa datang di tempat yang lain pula.

ICC yang berkedudukan di Den Haag, Belanda, merupakan suatu institusi permanen yang tidak dibatasi oleh tempat dan waktu. ICC mampu bertindak lebih cepat dibanding pengadilan ad hoc. Sebagai entitas yang permanen, ICC akan berfungsi sebagai pencegah, memberi peringatan keras kepada calon pelaku. ICC juga akan mendorong negara untuk menyelidiki dan menuntut kejahatan paling serius yang terjadi di negaranya atau oleh warga negaranya, karena jika negara tidak melakukannya, ICC akan memasuki yurisdiksi negara tersebut.

11. Apakah akan terjadi konflik yurisdiksi antara Pengadilan nasional dan ICC?
Salah satu prinsip fundamental yang dianut ICC adalah prinsip komplementer yang berarti bahwa ICC hanya merupakan pelengkap apabila pengadilan nasional menunjukan ketidak-mauan (unwilling) atau ketidak-mampuan (unable) untuk mengadili pelaku pelanggaran HAM berat. ICC juga disebut sebagai the last resort yang salah satu tujuannya adalah untuk mengefektifkan sistem peradilan pidana nasional suatu negara. Hal ini terlihat dari pasal 17 ayat (1) huruf a, b dan c Statuta Roma yang menegaskan bahwa pengadilan nasional yang merupakan kedaulatan suatu negara tidak dapat dikontrol oleh ICC. Apabila negara mampu melakukan proses peradilan terhadap pelaku kejahatan yang paling serius tersebut, maka ICC tidak akan mencampuri yurisdiksi nasional negara tersebut.

12. Sejauh mana yurisdiksi ICC?
Yurisdiksi ICC terbagi ke dalam empat jenis, sebagai berikut:
a. territorial jurisdiction (rationae loci): bahwa yurisdiksi ICC hanya berlaku dalam wilayah negara pihak; yurisdiksi juga diperluas bagi kapal atau pesawat terbang yang terdaftar di negara pihak, dan dalam wilayah bukan negara pihak yang mengakui yurisdiksi ICC berdasarkan deklarasi ad hoc. (Pasal 12 Statuta Roma)
b. material jurisdiction (rationae materiae): bahwa kejahatan yang menjadi yurisdiksi ICC terdiri dari kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, genosida dan kejahatan agresi (Pasal 5-8 Statuta Roma)
c. temporal jurisdiction (rationae temporis): bahwa ICC baru memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan yang diatur dalam Statuta setelah Statuta Roma berlaku, yakni 1 Juli 2002. (Pasal 11 Statuta Roma)
d. personal jurisdiction (rationae personae): bahwa ICC memiliki yurisdiksi atas orang (natural person), dimana pelaku kejahatan dalam yurisdiksi ICC harus mempertanggungjawabkan perbuatannya secara individu (individual criminal responsibility), termasuk pejabat pemerintahan, komandan atau atasan baik militer maupun sipil. (Pasal 25 Statuta Roma).

13. Bagaimana prinsip dasar penerapan yurisdiksi ICC?
Dalam hal penerapan yurisdiksi ICC pada suatu negara, terdapat prinsip yang paling fundamental, yakni ICC “harus merupakan komplementer (pelengkap) dari yurisdiksi pidana nasional suatu negara” (complementarity principle). Paragraf 10 Mukadimah Statuta Roma serta Pasal 1 Statuta Roma, pada intinya menegaskan bahwa fungsi ICC bukanlah untuk menggantikan fungsi sistem hukum nasional suatu negara, namun ICC merupakan mekanisme pelengkap bagi negara ketika negara menunjukkan ketidak-mauan (unwilling) atau ketidak-mampuan (unable) untuk menghukum pelaku kejahatan yang merupakan yurisdiksi ICC.

Selain itu, prinsip komplementer ini tidak hanya berlaku terhadap negara pihak Statuta saja tetapi juga terhadap negara yang bukan merupakan pihak Statuta Roma (Pasal 18 (1)) tetapi memberikan pernyataan pengakuannya atas yurisdiksi ICC. Dengan demikian, ICC merupakan the last resort atau disebut juga ultimum remedium. Ini merupakan jaminan bahwa ICC bertujuan untuk mengefektifkan sistem pengadilan pidana nasional suatu negara.
14. Dapatkah warga negara dari negara bukan peratifikasi Statuta Roma dijatuhi hukuman?
Dapat. Warga negara dari negara manapun berada di bawah yurisdiksi ICC dalam salah satu kondisi berikut: i) negara dimana kejahatan terjadi adalah negara yang telah meratifikasi ICC, ii) negara tersebut telah mengakui yurisdiksi ICC dalam basis ad hoc, atau iii) Dewan Keamanan PBB menyampaikannya ke ICC. Namun, berdasarkan prinsip komplementer, ICC hanya akan bertindak apabila pengadilan nasional atas tertuduh tidak menjalankan penyelidikan dan proses penuntutan.

15. Hal-hal apa saja yang membatasi berlakunya yurisdiksi ICC?
ICC dilarang melaksanakan yurisdiksinya terhadap kejahatan ketika pengadilan nasional sedang mengadili kejahatan yang sama dan (i) kasusnya sedang diselidiki atau dituntut oleh suatu negara yang mempunyai yurisdiksi atas kasus tersebut, (ii) kasusnya telah diselidiki oleh suatu negara yang mempunyai yurisdiksi atas kasus tersebut dan negara itu telah memutuskan untuk tidak menuntut orang yang bersangkutan, kecuali kalau keputusan itu timbul dari ketidak-mauan (unwilling) atau ketidak-mampuan (unable) negara tersebut untuk benar-benar melakukan penuntutan; (iii) kasusnya tidak cukup gawat untuk membenarkan tindakan lebih lanjut oleh Mahkamah (Pasal 17 Statuta Roma). Dan sebagai tambahan, (iv) orang yang bersangkutan telah dihukum atau dibebaskan atas kejahatan yang sama, melalui pengadilan dan layak dan adil (Pasal 17 (c) dan 20 Statuta Roma). Hal ini menunjukan bahwa ICC harus mendahulukan mekanisme hukum nasional suatu negara kecuali jika negara tersebut “tidak mau” atau “tidak mampu” untuk melakukan penyelidikan atau penuntutan terhadap pelaku sehingga kejahatan tersebut menjadi yurisdiksi Mahkamah (Pasal 17 Statuta Roma).

16. Apakah definisi dan batasan dari “ketidakmauan” (unwilling)?
Standar untuk membuktikan “ketidakmauan” (unwillingness) untuk menyelidiki dan menuntut pelaku cukup tinggi. Misalnya, (i) langkah-langkah hukum atau keputusan berdasarkan hukum nasional telah diambil suatu negara dengan tujuan untuk melindungi pelaku dari tanggung jawab pidana atas kejahatan yang berada dalam yurisdiksi Pengadilan (Pasal 17 (2) huruf a Statuta Roma), (ii) adanya penundaan (unjustified delay) dalam proses persidangan yang memperlihatkan bahwa pihak penguasa memang enggan untuk mengadili pelaku, (iii) proses persidangan tidak dilaksanakan secara independen dan imparsial.

17. Apakah definisi dan batasan dari “ketidakmampuan” (unable)?
Dalam pembuktian “ketidakmampuan” (inability) suatu negara mencakup telah terjadinya keruntuhan seluruh atau sebagian atau ketidaktersediaaan sistem hukum nasional suatu negara (Pasal 17 (3) Statuta Roma) misalnya negara tidak mampu untuk (i) menahan pelaku, (ii) mengumpulkan barang-barang bukti yang diperlukan, (iii) untuk menyelenggarakan persidangan pidana. Ketidakmampuan suatu negara juga tidak hanya didasarkan pada sistem hukumnya yang sudah lumpuh, namun juga bisa disebabkan hukum nasionalnya yang tidak mendukung seperti adanya hukum amnesti, serta ketentuan tentang daluarsa.

18. Bagaimana jika pelaku kejahatan tidak diadili sendiri atau tidak diajukan ke ICC?
Jika suatu negara telah meratifikasi Statuta Roma, berarti negara yang bersangkutan telah berjanji untuk melakukan tindakan yang sejalan dengan tujuan Statuta dan wajib bekerjasama dengan ICC. Apabila negara tersebut tidak mengadili sendiri secara layak dan tidak menyerahkan pelaku ke ICC, berarti negara tersebut telah gagal memenuhi kewajibannya berdasarkan hukum internasional. Negara tersebut akan mendapatkan tekanan internasional dan tidak dapat menolak perintah ICC untuk menyerahkan pelaku. Untuk itu negara pihak harus memiliki undang-undang yang menjamin prosedur penyerahan pelaku ke ICC berikut mekanisme kerjasamanya.

19. Apa kewajiban dari negara bukan anggota kepada ICC?
Walaupun tidak ada ketentuan dalam Statuta Roma yang menyatakan kewajiban dari negara bukan anggota, namun hukum internasional mewajibkan seluruh negara untuk mengadili pelaku kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Apabila negara tidak mampu atau tidak mau mengadilinya, maka dapat dilakukan ekstradisi terhadap tersangka pelaku kejahatan tersebut. Pada tahun 1973, Majelis Umum PBB juga mengadopsi prinsip-prinsip kerjasama internasional dalam mendeteksi, menahan, mengekstradisi dan menghukum para pelaku kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan ke dalam Resolusi 3074 yang menyatakan bahwa semua negara saling bekerja sama secara bilateral atau multilateral untuk mengadili orang-orang yang bertanggung jawab atas kejahatan tersebut.

20. Akankah Pengadilan menuntut kejahatan seksual?
Ya. Statuta memasukan kejahatan seksual seperti perkosaan, perbudakan seksual, prostitusi paksa dan kehamilan paksa sebagai kejahatan terhadap  kemanusiaan ketika dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematis terhadap penduduk sipil. Kejahatan tersebut juga dapat dikategorikan sebagai kejahatan perang ketika dilakukan pada saat konflik bersenjata internasional maupun internal, dan dapat menjadi kejahatan genosida jika dimaksudkan untuk memusnahkan suatu kelompok banga, etnis, ras atau agama tertentu.

21. Apakah korban berhak atas ganti-rugi?
ICC telah mendirikan Lembaga Pengumpul Dana Bagi Para Korban dan Keluarganya (Trust Fund), termasuk restitusi, kompensasi dan rehabilitasi. Pengadilan diberi kekuasaan untuk menentukan luas wilayah kerusakan, kerugian dan luka yang diderita para korban, serta memerintahkan terdakwa untuk membayar ganti rugi. Sumber dana dapat berupa uang dan harta benda hasil pembayaran denda dan ganti rugi pelanggaran yang diwajibkan ICC. Negara dan perorangan dianjurkan untuk memberikan sumbangan ke unit ini. Hal ini merupakan mekanisme pertama yang pernah ada dan ditetapkan oleh pengadilan internasional.

22. Sejauh mana independensi jaksa penuntut dalam ICC?
Ada berbagai persyaratan rinci yang dimasukkan ke dalam Statuta Roma untuk memastikan pemeriksaan dan keseimbangan bagi Jaksa Penuntut untuk dapat memulai penyelidikan ketika terdapat cukup bukti atas suatu kejahatan yang serius. Pertama, Jaksa Penuntut harus menerima keinginan negara-negara tersebut dan sanggup menyelesaikan penyelidikan mereka sendiri. Sebelum memulai penyidikan, Jaksa Penuntut diwajibkan menyerahkan semua materi pendukung serta memperoleh izin dari Lembaga Pra-Peradilan (Pre-Trial Chamber)  yang terdiri dari tiga hakim, untuk melanjutkan penyelidikan. Kedua, terdakwa dan negara yang bersangkutan mempunyai hak untuk menentang yurisdiksi ICC dengan disertai alasan-alasan sebelum atau pada awal persidangan.

Statuta Roma juga mewajibkan Jaksa Penuntut memiliki karakter moral tertinggi, kemampuan dan pengalaman dalam mengajukan tuntutan atau dalam persidangan kasus-kasus pidana. Jaksa Penuntut tidak diperbolehkan berpartisipasi dalam kasus apapun dimana independensinya diragukan. Majelis Negara Anggota mempunyai kekuasaan untuk memberhentikan Jaksa Penuntut apabila Jaksa Penuntut diketahui telah melakukan kejahatan atau pelanggaran serius terhadap tugas-tugasnya.

23. Bagaimana jaminan terhadap hak-hak tertuduh?
Statuta Roma mengakui sebagian besar hak tertuduh, bahkan memperluas standar-standar hak asasi manusia internasional. Perlindungan tambahan terhadap hak-hak tertuduh termasuk mekanisme screening oleh badan penyidik, Jaksa Penuntut dan badan hukum Pengadilan yang dirancang untuk melindungi orang-orang tidak bersalah dari penyelidikan dan tuntutan yang bermuatan politik. Disamping itu, para pengambil keputusan yang memulai penyelidikan dan persidangan memiliki kualifikasi kemampuan, independensi dan rasa keadilan yang maksimal. Statuta Roma juga mejelaskan secara rinci tentang dasar-dasar hukum tentang kejahatan, penyelidikan, penuntutan, persidangan dan bantuan kerja sama serta penasihat  hukum.

24. Apakah jaminan bahwa Hakim akan bersikap adil dan bebas dari pengaruh politik?
Statuta Roma menuntut para hakim untuk memiliki moral dengan integritas tinggi, kemampuan profesional dan tidak memihak. Mereka juga harus memenuhi persyaratan dari negara mereka untuk dapat duduk di badan hukum tertinggi. Di samping itu, mereka harus independen dalam melaksanakan fungsi mereka dan tidak terlibat dalam setiap aktifitas yang akan mengganggu fungsi hukum atau kepercayaan mereka sebagai badan yang independen. Setiap hakim juga harus memiliki kemampuan di bidang-bidang yang berkaitan dengan hukum internasional seperti hukum humaniter internasional dan hukum hak asasi manusia internasional.

Untuk memastikan apakah komposisi kursi benar-benar seimbang, pemilihan para hakim dilakukan dengan mempertimbangkan dan memastikan bahwa semua wilayah terwakili, jumlah hakim laki-laki dan perempuan seimbang, serta memiliki keahlian di bidang kekerasan terhadap anak dan perempuan. Dua hakim tidak diperkenankan dari satu negara. Hakim menjalankan tugasnya untuk periode tiga, enam dan sembilan tahun. Seorang hakim dapat diberhentikan apabila melakukan kejahatan atau pelanggaran berat terhadap tugasnya. Semua alat perlindungan tersebut adalah untuk memastikan independensi, integritas dan kemampuan hakim serta untuk mencegah masuknya pengaruh politik dari luar.

25. Apakah ICC diperlukan Indonesia?
Berbagai tindak kekerasan yang diduga sebagai tindak pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang berat terjadi di wilayah Indonesia, seperti peristiwa di Aceh, Poso, Sampit, Trisakti I, Trisakti II, Peristiwa Mei 1998 dan Abepura. Terhadap tindakan pelanggaran HAM yang terjadi dalam peristiwa-peristiwa tersebut telah diupayakan penyelesaiannya, misalnya untuk kasus Tanjung Priok, Timor-Timur melalui Pengadilan HAM Ad Hoc Jakarta Pusat dan Persitiwa Abepura di Pengadilan HAM Makassar.

Karena Pengadilan HAM Indonesia memiliki banyak kelemahan, diantaranya kurangnya political will dari pemerintah, adanya intimidasi terhadap saksi dan korban, serta kurangnya kapasitas jaksa dan hakim dalam penanganan kasus pelanggaran HAM berat, maka diperlukan upaya-upaya perbaikan atau alternatif pengadilan yang lain. Tidak dihukumnya perwira-perwira tinggi TNI yang diduga sebagai tersangka juga merupakan permasalahan dalam proses peradilan HAM, yang memperbesar dugaan adanya praktek impunitas di Indonesia.

Belajar dari pengalaman lemahnya penegakan HAM dan potensi konflik yang berakibat pada terjadinya pelanggaran HAM berat di Indonesia, sesuai dengan Keputusan Presiden No. 40 Tahun 2004 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) tahun 2004-2009, Indonesia akan meratifikasi/mengaksesi Statuta Roma pada tahun 2008. Di samping itu, fenomena yang terjadi di Indonesia saat ini, khususnya dalam mengadili pelaku pelanggaran HAM yang berat, adalah kurangnya independensi dan imparsialitas aparat, legislasi, dan keahlian (expertise). Sementara itu, banyak aparat penegak hukum yang tidak memahami aturan hukum internasional dan berbagai praktek internasional yang terjadi, bahkan banyak diantara mereka cenderung tidak memiliki keberanian untuk melakukan terobosan dengan mendasarkan kepada praktek internasional. Sehingga, jarang ditemukan putusan pengadilan di Indonesia yang mendasarkan pada kasus-kasus internasional atau hukum kebiasaan internasional. Padahal Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa “Ketentuan hukum internasional yang telah diterima Negara Republik Indonesia yang menyangkut Hak Asasi Manusia menjadi hukum nasional” (Pasal 7 ayat 2).

26. Apa manfaat/keuntungan ratifikasi/aksesi Statuta Roma bagi Indonesia?
  • Kesempatan untuk menjadi bagian dari organ ICC.
  • Hak preferensi secara aktif dan langsung dalam segala kegiatan ICC.
  • Membantu percepatan pembaharuan hukum (legal reform) di Indonesia, khususnya dalam bidang hukum HAM, hukum humaniter dan hukum pidana.
  • Mengefektifkan sistem hukum nasional dalam mengadili pelaku kejahatan yang paling serius.
  • Sebagai motivator dalam peningkatan upaya perlindungan dan pemajuan HAM.
  • Menjadi model bagi negara lain, khususnya di Asia Tenggara.
  • Meningkatkan kemampuan pengadilan nasional untuk mengadili sendiri para pelaku kejahatan yang paling serius.
  • Memberikan kontribusi dalam menciptakan keamanan dan stabilitas nasional, regional, bahkan internasional, serta mencegah konflik.
  • Meningkatkan kepercayaan masyarakat internasional.
27. Apa kerugian apabila tidak meratifikasi/mengaksesi Statuta Roma bagi Indonesia?
  • Tidak memiliki posisi tawar yang signifikan mengenai isi dan pelaksanaan Statuta Roma.
  • Perkembangan pengaturan perlindungan HAM akan berjalan lambat karena tidak termotivasi dengan tidak adanya keinginan untuk memperbaiki sistem.
  • Dianggap mempertahankan iklim impunitas.
  • Resiko intervensi asing dalam kedaulatan negara semakin besar dengan adanya asas yurisdiksi universal.
  • Tekanan dari dunia internasional, karena Indonesia tidak menunjukkan komitmen dalam perlindungan, penegakkan serta pemajuan HAM.
28. Apakah ratifikasi itu?
Pasal 2 Konvensi Wina Tahun 1969 tentang Perjanjian Internasional mendefinisikan “ratifikasi” sebagai tindakan internasional dari suatu negara dengan mana dinyatakan kesepakatan untuk mengikatkan diri pada perjanjian. Ratifikasi merupakan bentuk penundukan suatu negara terhadap suatu ketentuan hukum (konvensi) internasional, artinya apabila suatu negara meratifikasi suatu konvensi, maka negara yang bersangkutan terikat dengan hak dan kewajiban yang terdapat dalam konvensi tersebut. Ratifikasi berarti konfirmasi dari suatu negara bahwa suatu perjanjian yang diratifikasinya tidak bertentangan dengan kepentingan negaranya. Dalam kerangka Hukum Tata Negara, ratifikasi merupakan pernyataan untuk menegaskan bahwa perjanjan internasional yang telah disepakati tidak bertentangan dengan hukum nasional.

29. Apakah kewajiban utama negara peratifikasi Statuta Roma?
1. Berdasarkan asas complementarity: Pasal 1 dan Pasal 17 Statuta Roma menyatakan bahwa negara pihak mengakui bahwa negara memiliki tanggungjawab utama dalam mengadili para pelaku kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang. Namun ICC juga bertanggung jawab untuk mengadili pelaku jika negara tidak mau atau tidak mampu melaksanakan kewajibannya. Tidak hanya negara yang memiliki kewajiban untuk mengadili pelaku kejahatan internasional, namun ICC juga dapat mengadilinya hanya apabila negara tersebut tidak mampu atau tidak mau melaksanakan kewajibannya.
2. Berdasarkan asas fully cooperation: Ketika ICC telah menetapkan bahwa ICC memiliki kewajiban untuk melaksanakan yurisdiksinya berdasarkan prinsip komplementer, negara pihak setuju untuk berkerjasama penuh dengan ICC dalam hal penyelidikan dan penuntutan terhadap kejahatan yang menjadi yurisdiksi ICC. Negara juga harus mengakui yurisdiksi universal terhadap kejahatan internasional dan memperkuat sistem kerjasama antar negara melalui ekstradisi dan bantuan hukum yang saling menguntungkan.

30. Apa yang mendasari kepentingan Indonesia untuk meratifikasi Statuta Roma?
Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung supremasi hukum dan hak asasi manusia. Sebagai bagian dari masyarakat internasional yang memiliki semangat global untuk menghapuskan segala bentuk impunitas, serta dengan menyadari banyaknya kelemahan dalam sistem peradilan Indonesia, maka diperlukan upaya-upaya pembenahan yang meliputi, pembangunan di bidang materi hukum, pembenahan aparat, sarana dan prasarana serta budaya hukum.
Beberapa kelemahan sistem hukum Indonesia yang mendorong peratifikasian/pengaksesian Statuta Roma, antara lain:
  • Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak memadai untuk mengadili pelaku kejahatan-kejahatan yang termasuk ke dalam yurisdiksi ICC, sehingga perlu pengkajian apakah kejahatan-kejahatan tersebut akan dimasukan ke dalam RUU KUHP yang baru atau dipertahankan di dalam UU No. 26 Tahun 2006 tentang Pengadilan HAM dengan penambahan yurisdiksinya hingga mencakup  kejahatan perang.
  • Definisi pelanggaran HAM yang berat (kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida) menurut Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang diadopsi dari Statuta Roma memiliki banyak kelemahan yang berpengaruh terhadap proses penegakan hukum bagi pelaku pelanggaran HAM berat di Indonesia. Disamping itu, Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tidak mencantumkan kejahatan perang. Sehingga, jika terjadi kejahatan perang di Indonesia maka belum ada aturan dan pengadilan yang menerapkan sanksi pidana yang efektif bagi kejahatan ini.
  • Terdapat berbagai kesalahan penerjemahan dalam mengadopsi ketentuan-ketentan tentang kejahatan terhadap kemanusiaan dan pertanggungjawaban komando di dalam UU No. 26 Tahun 2000 yang berakibat pada proses pembuktian di persidangan.
  • Belum tersedianya penjelasan mengenai unsur-unsur kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida dan kejahatan perang, serta unsur dari pertanggungjawaban komando, yang diperlukan dalam proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan dalam proses pembuktian di persidangan.
  • UU No. 26 Tahun 2000 tidak memiliki hukum acara tersendiri, tetapi masih menggunakan KUHAP yang tidak memadai bagi proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan dalam proses pembuktian di persidangan.
  • Aturan kadaluarsa dalam KUHP masih berlaku sebagai salah satu faktor gugurnya kewenangan penuntutan dan pelaksanaan pidana, padahal untuk kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida dan kejahatan perang tidak dikenal adanya daluarsa.
31. Bagaimanakah kesiapan infrastruktur dan instrumen hukum Indonesia dalam rangka ratifikasi/aksesi Statuta Roma?
Walaupun beberapa instrumen hukum Indonesia memerlukan pembenahan, namun pada dasarnya Indonesia sudah memiliki dasar hukum dan memiliki kesiapan untuk meratifikasi/mengaksesi Statuta Roma;
1. UUD 1945
Para pendiri Indonesia telah merumuskan pengaturan perlindungan HAM dalam UUD 1945 baik dalam Pembukaan maupun batang tubuh. Dalam Pembukaan, secara eksplisit dan implisit Indonesia mengemukakan pernyataan dan komitmennya dalam upaya perlindungan HAM. Dimana salah satunya dilakukan melalui peran aktif dalam upaya melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial yang juga merupakan salah satu tujuan bangsa Indonesia.
Dalam perjalanannya, UUD 1945 telah mengalami empat kali amandemen, yang diantaranya sangat berkaitan dengan perlindungan HAM, baik dari sisi hak-hak sipil dan politik maupun yang termasuk dalam hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.
a. Amandemen Kedua UUD 1945
Amandemen ini memberikan perlindungan HAM secara rinci khususnya di bidang hak-hak sipil dan politik (BAB X A Pasal 28 A – Pasal 28 J yang merupakan aturan baru yang mengatur lebih rinci tentang perlindungan HAM dan penegakan hukumnya dalam UUD 1945).
b. Amandemen Keempat UUD 1945
Amandemen keempat yang disahkan pada tahun 2002 ini menitikberatkan pada perlindungan HAM di bidang ekonomi, sosial dan budaya.
2. Persamaan prinsip-prinsip umum hukum pidana
Tindak pidana yang diatur dalam ICC pada prinsipnya sama dengan tindak pidana yang diatur dalam KUHP Indonesia. Kesamaan tersebut diantaranya dalam beberapa prinsip yang dianut oleh ICC, yakni prinsip legalitas (non retroactive principle), pertanggungjawaban individual, penyertaan, percobaan, pembantuan dan pemufakatan. RKUHP Tahun 2004 memasukkan yurisdiksi ICC (genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang) menjadi bagian RKUHP.
3. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 memberikan jaminan bagi setiap orang untuk menggunakan forum pengadilan internasional atas pelanggaran HAM yang dijamin hukum Indonesia dan hukum internasional. Namun, mereka wajib menempuh semua upaya hukum Indonesia  terlebih dahulu (exhaustion of local remedies) sebelum menggunakan forum internasional. Sejalan dengan prinsip komplementer yang dianut ICC.
4. RANHAM 2004-2009
Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) 2004-2009 berdasarkan Keppres No. 40 Tahun 2004 tanggal 11 Mei 2004 diantaranya mencakup:
a.         pembentukan dan penguatan institusi pelaksanaan RANHAM;
b.         persiapan ratifikasi instrumen HAM internasional;
c.         persiapan harmonisasi peraturan perundang-undangan;
d.         diseminasi dan pendidikan HAM;
e.         penerapan norma dan standar HAM;
f.          pemantauan, evaluasi dan pelaporan.

Hal ini menunjukan dan menegaskan itikad baik serta komitmen Indonesia dalam rangka perlindungan HAM internasional yang selaras dengan hukum nasional. Perangkat hukum yang dimiliki Indonesia merupakan modal yang menunjukan kesiapan sistem hukum kita untuk meratifikasi Statuta Roma dan menegakan HAM. Sehingga, sudah saatnyalah Indonesia segera meratifikasi Statuta Roma sebagai salah satu perwujudan tujuan bangsa Indonesia seperti yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan turut serta secara aktif dalam memelihara perdamaian, ketertiban dan keamanan dunia.

(Tim JLC)