Uji UU Advokat: Wadah Tunggal Melanggar Hak Berserikat

Wednesday, March 16, 2011

 Ilustrasi: google.com

Pembatasan hak berserikat yang tercermin dalam konstruksi hukum Pasal 28 ayat (1), Pasal 32 ayat (4), Pasal 30 ayat (2) UU Advokat dari sudut pandang HAM tidak dibenarkan.

Todung Mulya Lubis berpendapat pembatasan membentuk organisasi advokat merupakan bentuk pelanggaran hak asasi para advokat, khususnya hak kebebasan berserikat.

“Hak ini yang diakui dan dilindungi semua instrumen HAM baik nasional maupun internasional,” kata Todung saat dimintai keterangan sebagai ahli dalam sidang pengujian UU No 18 Tahun 2003 tentang Advokat di Gedung MK Jakarta, Selasa (15/3).        

Selain Todung, ahli lain yang juga dihadirkan pemohon adalah Abdul Hakim Garuda Nusantara dan M Fajrul Falakh.

Sebagaimana diketahui, pengujian ini dimohonkan oleh Abraham Amos (advokat KAI), Frans Hendra Winata (Ketua Umum Peradin), dan Husen Pelu dkk (advokat KAI). Mereka menguji Pasal 28 ayat (1) terkait pembentukan wadah tunggal organisasi advokat, dan Pasal 32 ayat (3) dan (4) UU Advokat.     

Status “wadah tunggal” yang selama ini disandang Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) memang kini dipersoalkan oleh Kongres Advokat Indonesia (KAI) dan Persatuan Advokat Indonesia (Peradin). Perseteruan sebenarnya sempat mereda ketika pengurus Peradi dan KAI menandatangani nota kesepahaman damai di Mahkamah Agung (MA).
  
Pasca terbitnya SEMA No 089 Tahun 2010 yang hanya mengakui Peradi sebagai wadah tunggal, konflik kembali meruncing yang ditandai dengan demonstrasi ratusan advokat KAI di MA pertengahan tahun lalu. Sementara, MA berdalih penetapan Peradi sebagai wadah tunggal merupakan kesepakatan antara pengurus KAI dan Peradi. Terbitnya SEMA 089 mengakibatkan advokat atau calon advokat di luar Peradi merasa kesulitan beracara dan disumpah oleh Pengadilan Tinggi.

Todung berpendapat konstruksi hukum yang terkandung dalam Pasal 28 ayat (1), Pasal 32 ayat (4), dan Pasal 30 ayat (2) UU Advokat selain bertentangan dengan UUD 1945 dan UU HAM, juga bertentangan dengan Universal Declaration of Human Rights (UDHR) dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Ia mengutip Pasal 22 ayat (1) ICCPR yang sudah diratifikasi lewat UU No 12 Tahun 2005, “Setiap orang berhak atas kebebasan untuk berserikat dengan orang lain…”             

Menurutnya, kerugian hak berserikat dan hak atas pekerjaan atau hidup layak bukan hanya sebatas kerugian potensial, melainkan kerugian konstitusional aktual, seperti yang dialami seorang advokat KAI Abdurrahman Tardjo saat diperiksa sebagai saksi fakta dalam persidangan sebelumnya. Tardjo tidak diperkenankan beracara oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara lantaran bukan advokat Peradi. Sementara, ketika beracara pengadilan lain, Tardjo masih diperkenankan.    

“Cerita Tardjo, hanya satu dari sekian banyaknya pengalaman yang mungkin dialami advokat lain di luar Peradi. Mereka diombang-ambing haknya, ditolak beracara, dan para pencari keadilan yang menjadi kliennya juga dirugikan haknya,” kata Todung.

Todung mengakui hak berserikat dan hak atas pekerjaan atau hidup layak bukanlah HAM yang bersifat non-derogable sehingga dapat saja dibatasi. Namun, pembatasan itu harus dengan dua syarat yakni keadaan darurat dan sejauh mana hal itu diperlukan sebagaimana tertuang dalam Pasal 4 ayat (1) ICCPR.   

“Pembatasan hak berserikat dan hak pekerjaan dan penghidupan yang layak yang tercermin dalam konstruksi hukum Pasal 28 ayat (1), Pasal 32 ayat (4), Pasal 30 ayat (2) UU Advokat tidak memenuhi salah satu dari kedua syarat itu, sehingga pembatasan hak itu dari sudut pandang HAM tidak dibenarkan dan tidak sah.”

Dalam kesempatan itu, Todung juga memaparkan sistem multi bar association dengan bentuk federasi multibar di Jepang dan Jerman. Federasi multibar berarti terdapat lebih dari satu organisasi advokat. Namun, semua organisasi advokat itu membentuk satu organisasi federasi dan kode etik bersama.


Sumber: Hukum Online