Teori Dasar Pembenaran Hukuman Mati

Wednesday, March 16, 2011

 Ilustrasi: google.com

Fokus Penghapusan Hukuman Mati (Bagian I)


Beberapa teori dijadikan dasar untuk membenarkan diterapkannya hukuman mati. Teori-teori tersebut di antaranya: teori absolut, teori relatif dan teori gabungan.

1. Teori Absolut
Pandangan yang muncul dalam teori ini adalah bahwa syarat dan pembenaran dalam penjatuhan pidana tercakup dalam kejahatan itu sendiri, terlepas dari fungsi praktis yang diharapkan dari penjatuhan pidana tersebut[1]. Dalam ajaran ini, pidana terlepas dari dampaknya di masa depan, karena telah dilakukan suatu kejahatan maka harus dijatuhkan hukuman. Pandangan seperti ini dikemukakan oleh Immanuel Kant yang menyatakan: ”Di dalam hukum, pidana tidak dapat dijatuhkan hanya sebagai sarana untuk memajukan kesejahteraan umum. Hukuman atau pidana hanya dapat dijatuhkan pada seseorang karena ia bersalah melakukan kejahatan.”. Pernyataan Immanuel Kant tersebut sesuai dengan kesadaran masyarakat yang berpandangan bahwa ”siapa yang mengakibatkan penderitaan, maka ia pun harus menderita.” atau ”setiap orang layak mengalami apa yang ia akibatkan pada orang lain.” yang lebih di kenal dalam ungkapan ”tooth for tooth, eye for eye[2]

Dalam ajaran absolut ini terdapat keyakinan yang mutlak atas pidana itu sendiri, sekalipun penjatuhan pidana sebenarnya tidak berguna atau bahkan memiliki dampak yang lebih buruk terhadap pelaku kejahatan. Pandangannya diarahkan ke masa lalu (backward looking), bukan forward looking. Perlu diketahui bahwa maksud dan tujuan ajaran absolut ini selain sebagai pembalasan, menurut pandangan Stammler adalah juga untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa hukum telah ditegakkan. Tujuan pemidanaan dalam ajaran absolut ini memang jelas sebagai pembalasan, tetapi cara bagaimana pidana tersebut dapat dibenarkan kurang jelas, karena dalam ajaran ini tidak dijelaskan mengapa harus dianggap adil meniadakan rasa terganggunya masyarakat dengan cara menjatuhkan penderitaan terhadap seseorang yang melakukan kejahatan[3].

2. Teori Relatif
Berbeda dengan ajaran absolut, dalam ajaran relatif penjatuhan pidana tergantung dari efek yang diharapkan dari penjatuhan pidana itu sendiri, yakni agar seseorang tidak mengulangi perbuatannya. Hukum pidana difungsikan sebagai ancaman sosial dan psikis. Hal tersebut menjadi satu alasan mengapa hukum pidana kuno mengembangkan sanksi pidana yang begitu kejam dan pelaksanaannya harus dilakukan di muka umum, yang tidak lain bertujuan untuk memberikan ancaman kepada masyarakat luas. Tujuan mengancam dalam rangka pencegahan dikembangkan oleh Feuerbach dalam teorinya tentang paksaan psikologis. Feuerbach dalam teorinya menghendaki penjeraan bukan melalui pidana, melainkan melalui ancaman pidana dalam perundang-undangan. Tetapi apabila ancaman tidak berhasil mencegah suatu kejahatan, maka pidana harus dijatuhkan karena apabila pidana tidak dijatuhkan akan mengakibatkan hilangnya kekuatan dari ancaman tersebut. Ajaran yang dikembangkan Feuerbach tidak mengenal pembatasan ancaman pidana, hanya syarat bahwa ancaman pidana tersebut harus sudah ditetapkan terlebih dahulu[4].

Pertimbangan dan titik tolak dalam penjatuhan pidana yang memperhatikan daya kerja umum dari pidana tersebut atau aspek prevensi sebagaimana telah diuraikan di atas, tanpa harus memperhatikan terdakwa merupakan argumen dalam penerapan ajaran prevensi umum.

Bila ajaran prevensi umum bertitik tolak pada daya kerja umum dari pidana yang tanpa harus memperhatikan terdakwa, lain halnya dengan ajaran prevensi khusus yang bertujuan agar pelaku kejahatan tidak melakukan kejahatan lebih banyak lagi[5]

3. Teori Gabungan
Titi tolak dari ajaran ini, sebagaimana dianut oleh Hugo Grotius, adalah bahwa siapa yang berbuat kejahatan, maka ia akan terkena derita. Penderitaan dianggap wajar diterima oleh pelaku kejahatan, tetapi manfaat sosial akan mempengaruhi berat-ringannya derita yang layak dijatuhkan. Sejalan dengan pandangan tersebut, M.P. Rossi menyatakan bahwa selain pembalasan, prevensi umum juga dianggap tujuan penting dalam hukum pidana. Karena kita hidup dalam masyarakat yang tidak sempurna dan tidak mungkin juga untuk menuntut keadilan yang absolut, maka dapat kiranya kita mencukupkan diri dengan pemidanaan yang dilandaskan pada tertib sosial yang tidak sempurna tersebut. Dengan kata lain penerapan hukum pidana yang manusiawi dibatasi oleh syarat-syarat yang dituntut oleh masyarakat[6]

Pandangan seperti di atas dengan sudut pandang agama Katolik juga muncul seperti dikemukakan oleh Thomas Aquinas yang membedakan antara pidana sebagai pidana dan pidana sebagai obat. Maksud pembedaan yang dilakukan oleh Thomas Aquinas tersebut adalah ketika negara menjatuhkan pidana, maka perlu diperhatikan pula fungsi prevensi umum dan prevensi khusus. Dengan ajaran ini akan tercipta kepuasan nurani masyarakat dan ada pemberian rasa aman kepada masyarakat. Pembelajaran dan rasa takut juga akan muncul dalam masyarakat, termasuk perbaikan dari pelaku kejahatan. Negara dalam menjatuhkan pidana sebagai pembalasan, penjeraan, dan perbaikan disubordinasikan terhadap kemanfaatan dari penjatuhan pidana tersebut. Pidana sebagai pembalasan dipandang sebagai sarana untuk menegakkan tertib hukum[7].



[1] Jan Remmelink, “Hukum Pidana”, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hal. 600.
[2] Ibid, 601-602.
[3] Ibid, hal. 601-603.
[4] Ibid, hal. 604-605.
[5] Ibid, hal. 609-610.
[6] Ibid, hal. 611-612.
[7] Ibid, hal. 613.

(Tim JLC)