Oleh: Abdul Haris, SH
Makelar Kasus (markus) di sini lebih dimaksudkan, siapa saja yang mencoba dan berupaya mempengaruhi penegak hukum yang sedang menangani suatu kasus dengan cara memberikan sesuatu dan / imbalan tertentu. sehingga proses hukumnya menguntungkan orang tersebut (pengguna jasa markus).
Perbuatannya, tentu sangat merugikan bagi mereka pencari keadilan yang seharusnya menerima keadilan dengan baik dan benar, terkadang juga mengorbankan orang yang tidak bersalah sebagai tumbal hukum.
Markus pada prinsipnya biasa dilakukan oleh orang yang bukan penegak hukum. Mereka mengaku mempunyai hubungan baik dan memiliki akses dengan pejabat yang sedang menangani kasus tertentu dengan janji-janji sebagai berikut:
Dapat mengeluarkan tersangka dari tahanan; Dapat meredam perkaranya tidak sampai ke Pengadilan; Dapat mengkondisi dari pasal yang dijerat yang seharusnya berat dibuat ke pasal ringan yang disangkakan kepada tersangka; Mensplit perkara kemudian dibebaskan dari pintu belakang; Meringankan tuntutan (requisitoir)Meringankan putusan ;
Kalau terlanjur ditahan dan harus ke Pengadilan, maka mengkondisikan BAP dan saksi agar tidak terbukti, dan dapat dituntut bebas; Mengupayakankan fasilitas khusus di rumah tahanan, dll.
Pada umumnya “markus” juga bisa dilakukan oleh penegak hukum itu sendiri, baik secara langsung atau tidak langsung dengan cara menggunakan orang lain sebagai perantara yang diciptakannya sendiri atau bagian dalam jaringan markusnya.
Sedang Mafia Peradilan di sini lebih dimaksudkan pada hukum dalam praktik, dimana sistem dan budaya penegakan hukum yang dijalankan oleh para Penegak Hukum, memberikan peluang untuk diselewengkan, dimana secara implisit “hukum dan keadilan” telah berubah menjadi suatu komoditas yang dapat diperdagangkan, tergantung siapa yang memesannya.
Hukum dan keadilan dapat dibeli oleh mereka orang-orang berduit, sehingga ia menjadi barang mahal di negeri ini. Antara makelar kasus (markus) dengan mafia peradilan adalah dua hal yang saling bersinergi atau saling membutuhkan, bagaikan dua sisi mata uang yang terkait satu sama lain, bahkan dalam praktiknya kadang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya. Mafia Peradilan spektrumnya jauh lebih luas dari Makelar Kasus.
Di negeri ini law enforcement bagaikan menegakkan benang basah dengan kata lain, “sulit dan susah untuk diharapkan”. Salah satu indikator yang mempersulit penegakan hukum di Indonesia adalah maraknya “budaya korupsi” yang terjadi dihampir semua birokrasi dan stratifikasi sosial, sehingga telah menjadikan upaya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, baik markus maupun mafia peradilan hanya sebatas retorika yang berisikan sloganitas dari pidato-pidato kosong belaka.
Bahkan secara faktual tidak dapat dipungkiri semakin banyak undang-undang yang lahir maka hal itu berbanding lurus semakin banyak pula komoditas yang dapat diperdagangkan.
Perbuatannya, tentu sangat merugikan bagi mereka pencari keadilan yang seharusnya menerima keadilan dengan baik dan benar, terkadang juga mengorbankan orang yang tidak bersalah sebagai tumbal hukum.
Markus pada prinsipnya biasa dilakukan oleh orang yang bukan penegak hukum. Mereka mengaku mempunyai hubungan baik dan memiliki akses dengan pejabat yang sedang menangani kasus tertentu dengan janji-janji sebagai berikut:
Dapat mengeluarkan tersangka dari tahanan; Dapat meredam perkaranya tidak sampai ke Pengadilan; Dapat mengkondisi dari pasal yang dijerat yang seharusnya berat dibuat ke pasal ringan yang disangkakan kepada tersangka; Mensplit perkara kemudian dibebaskan dari pintu belakang; Meringankan tuntutan (requisitoir)Meringankan putusan ;
Kalau terlanjur ditahan dan harus ke Pengadilan, maka mengkondisikan BAP dan saksi agar tidak terbukti, dan dapat dituntut bebas; Mengupayakankan fasilitas khusus di rumah tahanan, dll.
Pada umumnya “markus” juga bisa dilakukan oleh penegak hukum itu sendiri, baik secara langsung atau tidak langsung dengan cara menggunakan orang lain sebagai perantara yang diciptakannya sendiri atau bagian dalam jaringan markusnya.
Sedang Mafia Peradilan di sini lebih dimaksudkan pada hukum dalam praktik, dimana sistem dan budaya penegakan hukum yang dijalankan oleh para Penegak Hukum, memberikan peluang untuk diselewengkan, dimana secara implisit “hukum dan keadilan” telah berubah menjadi suatu komoditas yang dapat diperdagangkan, tergantung siapa yang memesannya.
Hukum dan keadilan dapat dibeli oleh mereka orang-orang berduit, sehingga ia menjadi barang mahal di negeri ini. Antara makelar kasus (markus) dengan mafia peradilan adalah dua hal yang saling bersinergi atau saling membutuhkan, bagaikan dua sisi mata uang yang terkait satu sama lain, bahkan dalam praktiknya kadang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya. Mafia Peradilan spektrumnya jauh lebih luas dari Makelar Kasus.
Di negeri ini law enforcement bagaikan menegakkan benang basah dengan kata lain, “sulit dan susah untuk diharapkan”. Salah satu indikator yang mempersulit penegakan hukum di Indonesia adalah maraknya “budaya korupsi” yang terjadi dihampir semua birokrasi dan stratifikasi sosial, sehingga telah menjadikan upaya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, baik markus maupun mafia peradilan hanya sebatas retorika yang berisikan sloganitas dari pidato-pidato kosong belaka.
Bahkan secara faktual tidak dapat dipungkiri semakin banyak undang-undang yang lahir maka hal itu berbanding lurus semakin banyak pula komoditas yang dapat diperdagangkan.