Mengharap Asa dari Gagasan Pembentukan Pengadilan Lingkungan

Thursday, August 28, 2014

Penurunan kualitas lingkungan banyak terjadi diberbagai bidang baik itu kehutanan , sumberdaya, keanekaragaman hayati , maupun pengolahan limbah . Maka itu ide gagasan perlu dibentuknya suatu peradilan lingkungan sebagai bagian dari menumbuhkan sikap sadar sadar lingkungan. Karena dalam menumbuhkan sikap sadar lingkungan memerlukan suatu dukungan baik itu dari aspek sumber daya manusia, sumber daya lain, dan tak kalah pentingnya yaitu peningkatan kapasitas kelembagaan yang dapat digagas melalui lingkungan peradilan lingkungan ini.

Belajar dari putusan terhadap kasus Lapindo tahun 2006 secara cermat terkait dengan penyebab terjadinya lumpur panas Lapindo, terlihat hakim hanya mempertimbangkan aspek kuantitas saksi ahli yang diajukan oleh masing-masing Penggugat dan tergugat, dimana menurut hakim sama sekali tidak mempertimbangkan aspek kualitatif terhadap penyebab semburan lumpur panas Lapindo, khususnya terkait dengan kelalaian dalam hal terhadap Dampak Lingkungan (AMDAL).
Walaupun Majelis menyatakan, bahwa para tergugat terbukti tidak bersalah melakukan perbuatan melawan hukum. Akan tetapi majelis juga menyatakan bahwa tergugat harus bertanggungjawab terhadap semburan lumpur panas Lapindo. Hal ini menunjukkan inkonsistensi Majelis dalam melihat fenomena lumpur panas Lapindo, dan itu disebabkan oleh tidak utuhnya melihat fenomena tersebut dari berbagai sudut pandang.
Kita dapat menarik benang merah terhadap salah satu kasus besar kerusakan Lingkungan diajukan ke pengadilan Negeri yang mempunyai dampak serius terhadap lingkungan dan kehidupan warga masyarakat sekitarnya serta menjadi sorotan tajam media namun masih saja menghasilkan keputusan pengadilan yang tidak memuaskan yang ambivalen oleh hakim yang tidak melihat masalah secara utuh.
Peradilan lingkungan yang akan dibentuk adalah lingkungan peradilan dibawah lingkungan peradilan umum mengingat apa yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan bahwa suatu peradilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan umum yang dibentuk dengan undang-undang sendiri dan akan menjadi satu-satunya pengadilan yang memiliki kewenangan mengadili perkara tindak pidana lingkungan dan berkedudukan disetiap provinsi yang daerahnya meliputi daerah hukum pengadilan tinggi yang bersangkutan.
Kemudian untuk hukum acara yang digunakan adalah sesuai dengan hukum acara pidana maupun perdata yang berlaku. Kekhususan mungkin terjadi dalam pengaturan mengenai penegasan terhadap : a) pembagian tugas dan wewenang antara ketua dan wakil ketua pengadilan lingkungan, b) adanya hakim ad hoc yang berwenang memeriksa perkara perdata-pidana dalam pengadilan lingkungan, c) adanya kepaniteraan khusus untuk pengadilan lingkungan. Hakim dalam pengadilan lingkungan akan terdiri dari hakim karier yang diangkat oleh Mahkamah Agung maupun hakim ad hoc yang diusulkan dan diberhentikan Presiden atas usul Mahkamah Agung. Kedua jenis hakim diatas haruslah telah memiliki sertifikasi khusus dan kompetensi mengenai hukum lingkungan.
Urgensi Pengadilan Lingkungan & Probilitas Realisasi
Upaya pemerintah dalam upaya penegakan hukum selama ini lebih banyak pada pendekatan command & control ( C & C ) dimana terdapat kekurangan didalamnya yaitu :
– Perlunya suatu pemantauan, pemeriksaan, dan penerapan sanksi yang terus menerus.
– Adanya celah kolusi bagi petugas dan perusahaan yang terkait
– Perlunya suatu peradilan yang kuat dan tangguh yang belum dimiliki.
Menurut Keith Hawkins penegakan hukum haruslah terdiri dari dua sistem strategi baik itu compliance maupun conciliatory style. Dimana konsep tersebut dapat dimulai dengan upaya pembentukan Pengadilan Lingkungan.
Dalam berbagai kasus mengenai lingkungan yang diajukan di pengadilan negeri menunjukkan fakta yang tidak menggembirakan .Padahal selama ini kerugian yang ditanggung negara akibat perusakan lingkungan dari pembalakan liar alias illegal Logging cukup besar. Dalam sehari, kerugian akibat perbuatan yang merusak lingkungan tersebut mencapat Rp 83 miliar atau Rp 30,3 triliun per tahun. Kejahatan Lingkungan sendiri merupakan suatu kejahatan yang khas baik dari segi pelaku, korban, juga reaksi sosial yasng berbeda dibanding dengan kejahatan konvensional . Berikut disajikan perbandingan kejahatan antar-kejahatan konvensional dan kejahatan kontemporer dengan kejahatan lingkungan, antara lain:
  • Perbedaan Kejahatan Lingkungan dan Kejahatan Kontenporer
  • Unsur Kejahatan Konvensional/Kontemporer Kejahatan Lingkungan
  • Pelaku Individu Kolektif Kolektif
  • Korban Korban
  • Reaksi Sosial Langsung Segera Tidak Langsung dan Lamban
  • Pembuktian Langsung Cepat dan Mudah Sulit dan Jangka Panjang
    (Sumber: harlimuin.wordpress.com).
Sejauh ini dari Kementerian Negara Lingkungan Hidup pun sedang membuat konsep pengadilan lingkungan ini melalui model detasering, artinya hakim yang mendapat sertifikasi lingkungan turun langsung ke daerah yang tercemar lingkungan untuk menggelar persidangan. Atau bisa juga hakim yang memiliki sertifikasi membantu kasus lingkungan yang berada dekat dengan yurisdiksinya. Pada akhirnya “Pengadilan Lingkungan Indonesia” sangat perlu untuk menunjang kelestarian lingkungan di negaranya maupun dunia dan menjamin pemeliharan lingkungan dalam melaksanakan kegiatan pembangunan yang ada. Karena dengan adanya kepastian pengadilan lingkungan bisa memberikan keadilan, kesetaraan, dan akuntabilitas sistem yang lebih baik.
Tentang penulis:
Rana Agni Bukit, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia angkatan 2010, Asisten Peneliti Dr Farah Purwaningrum SH LLM (Institute of Asian Studies, Universitas Brunei Darussalam). Kontak person: 085725475907. Email: rana.agni@ui.ac.id/agniustitia@gmail.com