Demokrasi dan Kepatuhan

Thursday, August 28, 2014

Kamis, 21 Agustus 2014 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutus perkara perselisihan hasil pemilu presiden dan wakil presiden (pilpres) dengan amar putusan menyatakan menolak permohonan pemohon.
Proses persidangan perkara perselisihan hasil pilpres yang menentukan presiden dan wakil presiden Indonesia untuk masa jabatan lima tahun ke depan ini mendapat perhatian besar, baik dari masyarakat dalam negeri maupun luar negeri. Pembacaan putusan perkara Nomor 1/PHPU.PRES-XII/2014 ini pun menyudahi proses politik pilpres dengan berbagai konstelasi yang melingkupinya.

Penyelesaian perkara perselisihan hasil pemilu, baik terkait dengan perselisihan hasil pemilu anggota lembaga perwakilan (pileg) maupun pilpres, tidak hanya keberhasilan bagi MK, namun juga bagi segenap bangsa Indonesia karena telah berhasil menjalani pemilu secara damai dalam menentukan pemerintahan yang akan datang. Keberhasilan bangsa Indonesia menjalani dua pemilu pada 2014 ini juga merupakan bentuk nyata keberhasilan menjalankan prinsip negara hukum yang demokratis dan negara demokrasi berdasarkan hukum.
Final dan Mengikat
Pasal 24C UUD 1945 antara lain menyatakan bahwa MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk memutus perselisihan tentang hasil pemilu. Sifat final dalam putusan MK mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding). Artinya, putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh. Putusan MK wajib dipatuhi dan dilaksanakan. Ini adalah perintah konstitusi sebagai wujud kesepakatan bersama segenap warga negara.
Desain putusan MK bersifat final dan mengikat tentu tidak dapat dilepaskan dari hakikat keberadaan MK dalam konteks negara hukum yang demokratis dan negara demokrasi berdasarkan hukum. MK adalah pengadilan konstitusi yang memeriksa, mengadili, dan memutus obyek sengketa atau perkara dengan ukuran konstitusionalitas. Pada posisi ini MK menjadi penafsir akhir konstitusi yang harus menghindari ambiguitas atau pertentangan tafsir demi berjalannya kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang konstitusional. Karena itu, diperlukan satu otoritas akhir di tangan hakim konstitusi yang ketika menjatuhkan putusan akan menghilangkan semua perbedaan.
Dalam konteks demokrasi, otoritas akhir penentu perselisihan hasil pemilu diperlukan agar kontestasi pemilu yang tak berkesudahan tidak terjadi. Agar otoritas akhir pemutus perselisihan hasil pemilu memiliki legitimasi yang diakui semua pihak, ia harus bersifat independen dan imparsialterhadap aktor-aktor yang terlibat dalam pemilu, baik peserta maupun penyelenggara. Hakim akan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara secara mendalam berdasarkan keadilan hukum. Hal ini sekaligus merupakan wujud nyata kepatuhan proses politik terhadap putusan hukum.
Konstruksi ini dapat dijumpai di semua negara-negara demokrasi modern, terlepas dari perbedaan pengadilan mana yang diberi kewenangan memutus perselisihan hasil pemilu. Legalitas putusan final dan mengikat harus disertai legitimasi sehingga melahirkan kepatuhan. Legitimasi itu bersumber dari proses persidangan, personal hakim, dan argumentasi putusan. Proses persidangan harus berjalan secara adil dan transparan, memberikan kesempatan yang sama kepada semua pihak serta dapat diikuti oleh masyarakat. Transparansi sangat penting karena putusan yang akan dijatuhkan dapat dinilai dengan rasio publik. Legitimasi juga ditentukan oleh personal hakim yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara.
UUD 1945 mensyaratkan hakim konstitusi adalah seorang negarawan yang menguasai konstitusi. Negarawan memiliki makna yang luas, namun setidaknya dapat diartikan sebagai seseorang yang sudah terlepas dari kepentingan individu dan kelompok politik. Kepentingan bangsa dan negaralah yang menjadi orientasi satu-satunya. Sumber legitimasi ketiga adalah argumentasi putusan. Bagian utama putusan yang menjadi kekuatan legitimasi adalah argumentasi yang menjadi pertimbangan hukum putusan.
Pertimbangan hukum putusan yang komprehensif, mempertimbangkan semua alat bukti dan fakta yang terungkap di persidangan, serta memiliki kejelasan nalar hukum akan menjadi sumber utama legitimasi putusan itu sendiri. Pasal 24C UUD 1945 adalah sumber legalitas konstitusional putusan MK yang bersifat final dan mengikat. MK sadar sepenuhnya akan arti strategis putusan yang dijatuhkan. Karena itu, putusan harus memiliki legitimasi kuat dengan cara menggelar persidangan yang adil dan transparan, menjaga independensi dan imparsialitas hakim, serta menyusun pertimbangan hukum putusan secara komprehensif dan mendalam.
Kepatuhan
Legalitas dan legitimasi adalah dasar bagi kepatuhan. Suatu putusan yang legal dan memiliki legitimasi kuat dengan sendirinya akan mendatangkan kepatuhan. Kepatuhan adalah kesediaan untuk menerima dan menjalankan putusan, tidak selalu terkait dengan persetujuan, apalagi kepuasan. Terhadap perkara yang melibatkan dua atau lebih pihak yang saling berhadapan hampir tidak mungkin ada putusan yang disetujui oleh semua pihak, apalagi memuaskan. Kita patut bangga bahwa putusan MK dalam perkara PHPU Presiden 2014 dipatuhi oleh semua pihak, dalam arti diterima dan dihormati, baik olehpemohon, termohon, maupun pihak terkait.
Kebanggaan ini tidak semata-mata milik MK, melainkan milik bangsa Indonesia yang telah menunjukkan kedewasaan dalam berdemokrasi sesuai prinsip negara hukum yang demokratis dan negara demokrasi berdasarkan hukum. Kepatuhan tersebut tentu tidak mensyaratkan adanya persetujuan atau kepuasan. Artinya, bisa saja ada pihak yang masih tidak setuju atau tidak puas dengan putusan yang telah dijatuhkan, namun dalam hal ini yang terpenting adalah putusan itu diterima, dihormati, dipatuhi dan dilaksanakan sebagai hukum.
Dalam konteks perselisihan hasil pilpres, putusan MK adalah putusan akhir yang bersifat final dan mengikat. Kalaupun masih terdapat proses hukum atau proses politik lain yang dilakukan harus ditempatkan bukan sebagai forum untuk mempersoalkan hasil pilpres, melainkan lebih untuk memperbaiki penyelenggaraan pilpres di masa yang akan datang. Hanya dengan kepatuhan demikian demokrasi dapat berlanjut ke tahapan yang lebih substantif, yaitu proses pengambilan keputusan dan penyelenggaraan pemerintahan yang senantiasa melibatkan partisipasi masyarakat. Semua pihak harus berpartisipasi, baik sebagai pemegang pemerintahan maupun sebagai penyeimbang. Keduanya harus ada dan dijalankan. (Sumber: Koran Sindo, 26 Agustus 2014)
Tentang penulis:
Janedjri M Gafar, Doktor Ilmu Hukum, Alumnus PDIH Universitas Diponegoro, Semarang