Oleh : Prof. Dr. Indriyanto Seno Adji, S.H., M.H.
A. Latar Belakang
“Overheidsbeleid” dimaknai sebagai Kebijakan Aparatur Negara. Pelaksanaan kewenangan yang masuk dalam pengertian kebijakan inilah yang sekarang sering diuji materiel sebagai lingkup Hukum Administrasi Negara (HAN) ataukah Hukum Pidana . Pejabat Aparatur Negara maupun Pejabat BUMN mengalami arah pemaknaan yang obscuur manakala dalam menjalankan tugas, fungsi dan wewenangnya terbentur dengan permasalahan antara aspek Hukum Pidana yang memiliki korelasi dengan fungsi administrasi (ataupun fungsi keperdataannya), sehingga seringkali penegak hukum memahami pemaknaan keliru atas fungsi, tugas dan wewenang pejabat aparatur negara maupun pejabat BUMN itu sebagai tindak pidana, meski kadangkala pemaknaan area Hukum Pidana tidak terlepas terhadap persoalan implementasi fungsi tersebut . Tidak jarang Pejabat Aparatur Negara dan pejabat BUMN mengalami keraguan dalam menjalankan fungsi dan wewenangnya, khususnya dalam menjalankan kebijakan wewenangnya yang dipersepsikan oleh penegak hukum sebagai kebijakan yang koruptif atau perbuatan koruptif yang berlindung dibalik kebijakan, dan hal ini yang memberikan ide Pemerintah untuk mengajukan usulan Rancangan Undang Undang tentang Perlindungan Pejabat. Tidak ada maksud untuk melindungi atau memberikan suatu imunitas pejabat dari perbuatan koruptif, tetapi ini sekedar memberikan batasan-batasan jelas mengenai pelaksanaan “Kebijakan” atau “Beleid” dengan perspektif Kebijakan yang dianggap sebagai tindak pidana korupsi . Memang pemahaman “materiele daad” dan wewenang merupakan disiplin ilmu hukum yang memiliki karakteristis yang berbeda, tetapi mengalami kesamaan persepsi yang keliru, yaitu apakah materiele daad itu masuk dalam area Hukum Administrasi Negara ataukah Hukum Pidana (Tindak Pidana Korupsi).
Perkembangan antara Hukum Administrasi Negara dengan Hukum Pidana memasuki “grey area” dengan segala teknikalitas kesulitan dengan proses pemidanaan, bahkan hingga kini menimbulkan debatabelitas di kalangan ahli hukum pidana, praktisi maupun akademisi hukum. Contoh terakhir polemik Sisminbakum sebagai ranah Hukum Administrasi Negara ataukah Hukum Pidana, antara Prof. Dr. Yusril Mahendra, SH dengan Kejaksaan Agung R.I. Betapa tidak, Keputusan Pejabat Negara baik dalam rangka “beleid” (“vrijsbestuur”) maupun “diskresi” (kebijaksanaan - “discretionary power”) menjadi ajang kajian akademis untuk dijadikan alasan penolakan maupun justifikasi pemidanaan pada area Hukum Pidana. Asas perbuatan melawan hukum materiel mengalami pergeseran yang ekstensif, bahkan pergeseran ini dianggap sebagai arah destruksi terhadap asas-asas konvensional dalam Hukum Pidana. Bahkan secara akademis asas Perbuatan Melawan Hukum Materiel melalui fungsi positif seringkali diimplementasikan secara keliru oleh badan peradilan tingkat pertama yang sangat limitatif pemahamannya, seperti kasus Burhanuddin Abdullah, Akbar Tandjung, Syahril Sabirin dan 3 mantan Direktur Bank Indonesia, Direksi PLN, Direksi Bank Mandiri, PIMPRO maupun kasus-kasus yang melibatkan anggota DPRD dan Kepala Daerah (Gubernur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Bengkulu dll) diberbagai belahan daerah di bumi Indonesia dengan berbagai macam disparitas pemidanaan, disatu sisi dikenakan pemidanaan tetapi disisi lain dibebaskan atau dilepaskan dari segala tuntutan hukum.
Memang pemahaman yang berkembang dalam praktek peradilan tidaklah semudah kajian akademik memberikan solusinya. Dalam kerangka Hukum Administrasi Negara, parameter yang membatasi gerak bebas kewenangan Aparatur Negara (“discretionary power”) adalah detournement de povouir (penyalahgunaan wewenang) dan abus de droit (sewenang-wenang), sedangkan dalam area Hukum Pidana-pun memiliki pula kriteria yang membatasi gerak bebas kewenangan Aparatur Negara berupa unsur “wederrechtelijkheid” dan “menyalahgunakan kewenangan”. Permasalahannya adalah manakala Aparatur Negara melakukan perbuatan yang dianggap menyalahgunakan kewenangan dan melawan hukum, artinya mana yang akan dijadikan ujian bagi penyimpangan Aparatur Negara ini, Hukum Administrasi Negara ataukah Hukum Pidana, khususnya dalam perkara-perkara Tindak Pidana Korupsi. Pemahaman yang berkaitan dengan penentuan yurisdiksi inilah yang masih sangat terbatas dalam kehidupan praktek yudisiel.
Adanya sifat perbuatan melawan hukum merupakan istilah dari "onrechtmatigheid" yang mempunyai kesamaan arti dengan istilah "wederrechtelijkheid", bahkan bagi penulis, lebih tepat apabila dikatakan bahwa pengertian luas dari "onrechtmatige daad" dalam bidang hukum perdata mempunyai penerapan pengertian yang sama dengan pengertian hukum pidana terhadap istilah "materiele wederrechtelijkheid". Istilah "wederrechtelijkheid" dalam beberapa kepustakaan kadang kala diartikan dengan istilah lain, seperti "tanpa hak sendiri", "bertentangan dengan hukum pada umumnya", "bertentangan dengan hak pribadi seseorang", "bertentangan dengan hukum positif" (termasuk Hukum Perdata, Hukum Administrasi) ataupun "menyalah-gunakan kewenangan" dan lain sebagainya.
Bagi penulis, perbuatan melawan hukum secara formil lebih dititikberatkan pada pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang tertulis, sedangkan suatu perbuatan dikatakan telah memenuhi unsur melawan hukum secara materil, apabila perbuatan itu merupakan pelanggaran terhadap norma kesopanan yang lazim atau kepatutan yang hidup dalam masyarakat. Dengan kata lain, setiap perbuatan yang dianggap atau dipandang tercela oleh masyarakat merupakan perbuatan melawan hukum secara materil.
B. “Beleid” – “Administratiefrechtelijk” dengan Tindak Pidana Korupsi
Sebelum membahas masalah “Kriminalisasi Kebijakan”, perlu dipahami bahwa makna unsur delik “melawan hukum” (sebagai “genuus delict”) maupun ”menyalahgunakan kewenangan” (sebagai “species delict”) tidak dalam konteks sebagai perbuatan baru dari delik tindak pidana korupsi, tetapi lebih menekankan pada persoalan suap korupsi.
Berdasarkan pendekatan historis, filosofis dan yuridis, ajaran perbuatan melawan hukum pada UU No.3 Tahun 1971 telah ditegaskan untuk tidak dimaknai secara multi-interpretatif maupun dis-interpretatif, meskipun dalam tataran implementasi yang terjadi sejak awal UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terjadi kekeliruan secara fundamental atau mendasar, antara lain:
- Ajaran perbuatan melawan hukum pada Pasal 1 ayat 1 huruf a UU No.3 Tahun 1971 hanayalah sebagai “sarana” dari rumusan delik yang mengandung unsur dari perbuatan yang dapat dipidana atau bestanddeel delict yang strafbaar itu bukanlah terletak pada unsur “melawan hukum”, tetapi pada unsur “memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan”. Hal ini sesuai penjelasan atas pasal ini dalam UU tersebut . Perkembangan implementasi kasus-kasus korupsi yang terjadi adalah kekeliruan mendasar dengan menjadikan unsur “melawan hukum” sebagai delik inti yang strafbaar sifatnya.
- Mengingat adanya kekeliruan implementasi ajaran “perbuatan melawan hukum” yang seharusnya sebagai “sarana” dari perbuatan yang dapat dipidana yang kemudian diartikan (ajaran perbuatan melawan hukum) sebagai bestanddeel delict yang strafbaar, hal ini berakibat terjadi kekeliruan berkelanjutan bahwa unsur melawan hukum (sebagai genuus delict) maupun unsur “menyalahgunakan kewenangan” (sebagai species delict) diartikan sebagai sebagai bestandeel delict.
- Dampak yuridis, dari kekeliruan paradigma atas ajaran perbuatan melawan hukum (sebagai genuus delict) adalah terjadinya kriminalisasi kewenangan atau kebijakan terhadap aparatur negara sebagaimana yang terjadi di Indonesia . Dari sisi yuridis akademis, suatu kebijakan (beleid) itu, baik sebagai kebijakan (diskresioner) yang terikat maupun kebijakan (diskresioner) yang aktif, bukan menjadi ranah penilaian dari Hukum Pidana . Meskipun suatu kebijakan terjadi suatu penyimpangan, baik yang dinamakan detournement de pouvoir (penyalahgunaan wewenang) dan abus de droit (sewenang-wenang), maka penilaian terhadap penyimpangan harus dalam ranah Hukum Administrasi Negara, baik dilakukan koreksi oleh penerbit kebijakan, atasan maupun peradilan administrasi (Peradilan TUN di Indonesia), bukan Hukum Pidana yang melakukan judgement-nya . Filosofi pertama dari ketentuan ini adalah dihindarinya suatu kriminalisasi kewenangan atau kebijakan yang sebenarnya menjadi ranah Hukum Administrasi Negara.
- Eksistensi ajaran “perbuatan melawan hukum” (genuus delict) maupun “perbuatan menyalahgunakan kewenangan” (spercies delict) adalah dalam konteks perolehan harta kekayaan yang tidak wajar dari aparatur negara, khususnya sulitnya pembuktian perolehan harta kekayaan yang tidak wajar, tidak patut dimiliki aparatur negara . Mengingat sulitnya pembuktian tersebut, maka sesuai Penjelasan UU dikatakan bahwa unsur “memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan” (sebagai bestanddeel delict yang strafbaar) dikaitkan dengan Pasal 18 ayat 2 adalah imperatif sifatnya, yaitu memberi kewajiban kepada terdakwa untuk memberikan keterangan tentang sumber kekayaannya sedemikian rupa, sehingga kekayaan yang tak seimbang dengan penghasilannya atau penambahan kekayaan tersebut, dapat digunakan untuk memperkuat keterangan saksi lain bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi, bahkan penjelasan Pasal 18 ayat 2 lebih mempertegas bahwa adanya suatu petunjuk perbuatan memperkaya diri seperti dimaksud dalam Pasal 1 ayat 1 sub a . Jadi sumber kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilan atau penambahan kekayaan yang tidak dapat dibuktikan oleh terdakwa merupakan salah satu alat bukti adanya dugaan suap korupsi dan sebagai perolehan kekayaan yang tidak wajar/tidak patut dalam bentuk ajaran “perbuatan melawan hukum materiel” . Jadi, mengingat sulitnya pembuktian tersebut, filosofi kedua adalah memberlakukan pergeseran pembuktian kearah pembalikan beban pembuktian yang terbatas kepada Terdakwa terhadap asal usul harta kekayaannya yang diduga perolehannya secara tidka wajar/tidak patut karena tidak berimbangnya antara kekayaan dengan sumber penghasilannya . Filosofi ketiga adalah perluasan ajaran perbuatan melawan hukum secara materiel (sebagai sarana dari unsur perbuatan yang dapat dipidana) terhadap perolehan harta kekayaan aparatur negara secara tidak wajar/tidak patut mengingat sulitnya pembuktian perolehan harta kekayaan tersebut.
- Mengingat kekeliruan mendasar pada tataran implementasi dan hasil rekomendasi UNCAC 2003, maka dalam Rancangan Perubahan UU Tipikor, ajaran perbuatan melawan dan ajaran perbuatan menyalahgunakan kewenangan tidak dirumuskan lagi sebagai sebagai bestanddeel delict yang strafbaar sifatnya, tetapi sebagai unsur dari perbuatan yang memperkuat adanya dugaan suap yang dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum (genuus delict) dan menyalahgunakan kewenangan (species delict).
Seringkali penegak hukum memahami secara menyimpang terhadap soal “administratiefrechtelijk” dari ranah Hukum Administrasi Negara yang dianggap sebagai tindak pidana korupsi. Perhatikan saja pemidanaan terhadap perkara-perkara antara lain Ir. Akbar Tandjung (meskipun dilepaskan dari segala tuntutan hukum oleh Mahkamah Agung), Dr. Syahril Sabirin (dibebaskan dari segala dakwaan oleh Kasasi Mahkamah Agung, tetapi dihukum oleh Putusan PK Mahkamah Agung), Samadikun, 3 (tiga) mantan Direktur Bank Indonesia, Direksi Bank Mandiri (Nelloe cs), khususnya dalam kaitan antara Hukum Pidana dari unsur “menyalahgunakan wewenang” (Pasal 1 ayat 1 b UU No.3 Tahun 1971 jo Pasal 3 UU No.31 Tahun 1999) dan Hukum Administrasi Negara yang berkaitan antara “Staatsbeleid” (Kebijakan Negara) dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (Algemene Beginselen Van Behoorlijk Bestuur). Badan yudikatif telah mencampuradukan, bahkan menganggap sama antara unsur “menyalahgunakan wewenang” dan “melawan hukum”, bahkan, tanpa disadari badan peradilan menerapkan asas perbuatan melawan hukum materiel dengan fungsi positif tanpa memberikan kriteria yang jelas untuk dapat menerapkan asas tersebut, yaitu melakukan pemidanaan berdasarkan asas kepatutan dengan menyatakan para pelaku telah melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik, tanpa bisa membedakannya dengan persoalan “beleid” yang tunduk pada Hukum Administrasi Negara.
Penggunaan kewenangan yang bersifat aktif berupa kewenangan diskresioner (“discretionary power”, “vrijsbestuur”, “freies ermessen”) untuk melaksanakan kebijakannya (“beleid”) dalam mengatasi segera dan secepatnya dengan menetapkan suatu perbuatan bagi kepentingan tugas pemerintahan yang tidaklah sekedar kekuasaan pemerintahan yang menjalankan undang-undang (“kekuasaan terikat”). Menurut Prof. Dr. Philipus M. Hadjon, SH., Kekuasaan Pemerintah merupakan kekuasaan yang aktif yang meliputi kewenangan untuk memutus secara mandiri dan kewenangan intepretasi terhadap norma-norma tersamar (“vage normen”). Dalam kaitannya dengan “beleidsvrijheid”, kekuasaan yang aktif dari pemerintahan, menurut Prof. R.M. Girindro Pringgodigdo, SH, berupa “wijsheid” dapat merupakan tindakan-tindakan seketika (“instant decision”) dengan melihat urgensi serta situasi/kondisi yang dihadapi, berupa pengambilan keputusan yang dapat bersifat pengaturan (tertulis) dan atau keputusan tertulis atau lisan didasarkan kekuasaan/wewenang “diskresioner” (“discretionary power/authority) yang dimiliki.
Namun demikian, suatu “discretionary power” maupun “wijsheid” itu harus tetap selaras dengan maksud ditetapkan kewenangan atau sesuai dengan tujuan akhirnya tersebut, yaitu harus sesuai dengan “doelgerichte” atau tujuan ditetapkannya dari kewenangan itu, bahkan menurut Prof. Dr. Riyaas Rasyid, MA., juga Prof. Dr. Philipus M. Hadjon, SH (“Discretionary Power” & Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik, halaman 3), dalam kondisi yang urgensif, mendesak dan darurat sifatnya, suatu discretionary power, juga “wijsheid”, dapat menyimpang dari produk perundang-undangan yang ada, asalkan penyimpangan ini pada akhirnya sesuai dan dengan diarahkan pada “doelgerichte” ditetapkannya kewenangan tersebut.
Pengertian penyalahgunaan "menyalahgunaan wewenang" dalam Hukum Pidana, khususnya dalam tindak pidana korupsi tidak memiliki pengertian yang eksplisitas sifatnya. Mengingat tidak adanya eksplisitas pengertian tersebut dalam Hukum Pidana, maka dipergunakan pendekatan ekstensif berdasarkan doktrin yang dikemukakan oleh Prof. Mr. H.A. Demeersemen tentang kajian "De Autonomie van het Materiele Strafrecht" (Otonomi dari Hukum Pidana Materiel). Intinya mempertanyakan apakah ada harmoni dan disharmoni antara pengertian yang sama antara Hukum Pidana, khususnya dengan Hukum Perdata dan Hukum Tata Usaha Negara, sebagai suatu cabang hukum lainnya. Disini akan diupayakan keterkaitan pengertian yang sama bunyinya antara cabang ilmu Hukum Pidana dengan cabang ilmu hukum lainnya.
Memang, pengertian detournement de pouvoir, dalam kaitannya dengan Freies Ermessen ini mengalami perluasan arti berdasarkan Yurisprudensi di Perancis.
Menurut Prof. Jean Rivero. dan Prof. Waline, pengertian penyalahgunaan kewenangan dalam Hukum Administrasi dapat diartikan dalam 3 wujud, yaitu:
- Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum atau untuk menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan,
- Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut adalah benar ditujukan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari tujuan apa kewenangan tersebut diberikan oleh Undang-undang atau peraturan-peraturan lain,
- Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur yang seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana.
Bentuk ketiga yang dinamakan “Abuse of Procedure” (atau Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur yang seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana) inilah yang seringkali dipergunakan penegak hukum untuk melakukan kriminalisasi bentuk-bentuk perbuatan dalam lingkup/ranah kompetensi Hukum Administrasi Negara dan Hukum Perdata sebagai koruptif.
Memang ada kekeliruan mendasar yang dilakukan badan yudikatif dalam menentukan unsur “menyalahgunakan kewenangan” dengan persoalan “staatsbeleid” yang tidak menjadi kompetensi dari peradilan umum. Selain itu, parameter terbukti tidaknya unsur “menyalahgunakan kewenangan” adalah bersifat alternatif, dengan tetap memberikan eksistensi kebijakan pada Asas Kecermatan Substantif. Pada tingkat banding, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta telah melepaskan tiga mantan Direktur BI dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging) dan Ir Akbar Tandjung melalui Putusan Vrijspraak dari Mahkamah Agung No. 572K/Pid/2003, kesemua ini memisahkan alasan-alasan soal Materiele Wederrechtelijk (juga penyalahgunaan wewenang) dengan Hukum Administrasi Negara.
Dalam kaitan mantan Direktur BI, pertimbangan Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta No. 148/PID/2003/PT.DKI tanggal 29 Desember 2003, menyatakan:
“Menimbang, bahwa karena terbukti Keputusan Direksi Bank Indonesia tanggal 15 dan 20 September 1997 adalah sebagai Kebijaksanaan Pemerintah yang dilaksanakan oleh Bank Indonesia sebagai upaya untuk menyelamatkan sistem moneter dan Perbankan, maka Pengadilan Tinggi berpendapat bahwa Pengadilan tidak berhak menilai suatu kebijaksanaan (beleid) dari Pemerintah Cq. Bank Indonesia, terlepas dari pada apakah kebijaksanaan tersebut berhasil atau tidak untuk menyelamatkan sistem moneter atau perbankan atau perekonomian negara”.Selanjutnya dinyatakan pada hal. 62:
“Menimbang, bahwa walaupun Terdakwa terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya dalam dakwaan Primair, tetapi karena perbuatan Terdakwa bukan merupakan suatu perbuatan pidana, maka Terdakwa harus dilepas dari segala tuntutan hokum (Onstlag van alle rechtevervolging) ”.Dari pertimbangan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta a Quo terbukti adanya “Materiale Feit” berupa Rapat tanggal 15 dan 20 Agustus 1997 yang menghasilkan sustu Discreation/diskreasi atau kebijakan/kebijaksanaan Dewan Direksi Bank Indonesia bagi pemberian dispensasi kliring untuk 18 bank yang mengalami Saldo debet yang tidak dapat dianggap sebagai tindak pidana, meskipun inkonsistensi Mahkamah Agung muncul kembali manakala lembaga yudikatif ini membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi. Proses polemik Kebijakan Negara sebagai area pada Hukum Administrasi Negara ataukah Hukum Pidana dalam kasus Bank Indonesia ini masih terus bergulir searah dengan keterbatasan pemahaman polemik ini diatara para penegak hukum.
Dalam kaitannya dengan Ir. Akbar Tandjung, Prof. Dr. Paulus Lotulung, S.H., Ketua Muda Bidang Tata Usaha Negara Mahkamah Agung R.I., sekaligus sebagai Guru Besar dan Ahli Hukum mengenai relasi antara Hukum Administrasi Negara dengan Hukum Pidana (Korupsi), memberikan pertimbangan Putusan Mahkamah Agung RI No. 572 K/Pid/2003 tanggal 4 Peburari 2004 yang kesimpulannya menyatakan:
“Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta yang terbukti di atas, Mahkamah Agung berkesimpulan bahwa apa yang dilakukan Terdakwa I, yaitu menerima dana budgeter sebesar Rp 40 milyar kemudian diserahkan kepada Terdakwa II untuk digunakan dalam pengadaan dan penyaluran sembako untuk masyarakat miskin, bukan merupakan penyalahgunaan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada pada Terdakwa I baik selaku Mensesneg maupun selaku koordinator yang menangani program pengdaan dan penyaluran sembako tersebut, tetapi merupakan suatu tindakan yang harus dilakukan oleh seorang Koordinator/Mensesneg dalam keadaan darurat sesuai dengan kewenangan diskresioner yang ada padanya untuk melaksanakan perintah Presiden sebagai atasannya. Bahwa dalam keadaan darurat, tentu tidak dapat diharapkan menempuh prosedur dan cara-cara dalam keadaan normal, terlebih pula penggunaan prosedur dan cara-cara dalam keadaan normal, terlebih pula penggunaan dan pengelolaan Keuangan Negara dalam bentuk dana non burdgeter hanya diatur oleh apa yang disebut “konvensi”, tidak seperti halnya keuangan negara dalam bentuk APBN ang penggunaan dan pengelolaannya diatur oleh Keppres, misalnya untuk pengadaan barang oleh pasal 21 sampai dengan 30 dalam Keppres No. 16 Tahun 1999 dan Keppres No. 18 Tahun 2000 sebagaimana telah dikemukakan di atas”.Kebijakan Pemberian kredit likuiditas dalam keadaan yang darurat ini sesuai dengan Petunjuk Presiden pada tanggal 3 Desember 1996 yang saat itu pada pokoknya melarang untuk melakukan tindakan likuidasi atau tindakan-tindakan lain yang dapat menimbulkan gejolak sosial sehubungan dengan adanya dua agenda nasional, yaitu Pemilihan Umum dan Sidang Umum MPR-RI, dan hal yang sama dikemukakan kembali oleh Presiden kepada Direksi Bank Indonesia pada tanggal 15 April 1997.
Sebenarnya, atas dasar petunjuk Presiden R.I. (saat itu) yang tidak menghendaki adanya likuidasi dan tindakan-tindakan lain yang dapat menimbulkan gejolak sosial sebagaimana bunyi pertimbangan diatas, maka pemberian fasilitas kredit likuiditas merupakan Kebijakan Negara atau Staatsbeleid (atau State Policy atau Kebijakan Negara) dalam hal ini Presiden sebagai Kepala Negara (atau Kepala Pemerintahan) yang dalam tataran implementasinya dilaksanakan oleh aparatur negara atau “Overheidsbeleid” melalui Kebijakan Dewan Direksi Bank Indonesia, yang dituangkan sebagai parameternya adalah peraturan perundang-undangan tertulis, juga asas-asas hukum tidak tertulis sebagai kepatutan yang lazim dalam masyarakat.
Kebijakan Direksi Bank Indonesia secara kolektif institusional tentang pemberian kredit likuiditas dalam kondisi yang darurat, apakah melalui fasilitas dispensasi kliring bagi 18 (delapan belas) Bank yang mengalami saldo debet ataukah (seharusnya) melalui fasilitas penyediaan kredit likuiditas dengan Diskonto II dalam rupiah merupakan persoalan “Kebebasan Kebijakan” atau “beleidsvrijheid” atau “Freies Ermessen” yang dalam tugas publiknya Negara cq Direksi Bank Indonesia memiliki semacam ruang gerak yang bebas dan luas. Sehingga landasan ataupun motivasi adanya suatu kebebasan kebijakan dari Negara dalam menjalankan tugas publiknya tidak dapat dinilai oleh Hakim Perdata dan Hakim Pidana, yang kesemuanya ini, menurut Prof. Oemar Seno Adji, S.H. mendekatkan diri pada suatu “separation of powers”, khususnya dalam arti “separation of functions” ataupun “separation of organism”.
Sebagaimana dikatakan Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H. memang diakui doktrin dan yurisprudensi, segala perselisihan tentang pola kerja Tata Usaha Pemerintahan, juga yang mengenai kebijakan (kebijaksanaan) pemerintah (Staatsbeleid) dimasukkan kekuasaan Pengadilan, maka ini sebetulnya berarti bahwa Pengadilan menjadi Pemerintah belaka (Prof. Oemar Seno Adji, S.H.: Peradilan Bebas Negara Hukum, halaman 235). Dapat dikatakan dengan demikian, bahwa kebijakan tidak termasuk penilaian oleh Hakim, yang memfokuskan dirinya pada soal “rechtmatigheid” dan bukan “doelmatigheid”.
Prof. Lie Oen Hock, S.H. menyatakan secara tegas bahwa Hakim biasa tidak diperkenankan mengadili mengenai kebijakan Penguasa. Bukanlah Pengadilan yang dapat menilai kebijakan penguasa dengan Freies Ermessen-nya, sehingga kebijakan Pemerintah tidak boleh dicampuri oleh Hakim Umum. Pembatasan terhadap Beleidsvrijheid itu adalah apabila terdapat perbuatan yang masuk dalam kategoris penyalahgunaan wewenang (“Detournement de pouvoir”) dan perbuatan sewenang-wenang (“Abus de Droit”), dan pola penyelesaian terhadap penyimpangan ini adalah melalui Peradilan Administrasi (sekarang: Peradilan Tata Usaha Negara).
Dengan demikian Kebijakan Direksi Bank Indonesia dalam menentukan untuk memberikan atau tidak memberikan kredit likuiditas, baik melalui fasilitas saldo debet ataupun fasilitas diskonto, maupun untuk menghentikan atau tidak menghentikan kliring bagi ke 18 Bank yang saldo debet merupakan Kebebasan Kebijakan, suatu Freies Ermessen atau beleidsvrijheid dalam rangka Staatsbeleid yang dalam tataran implementasinya dilakukan oleh Direksi Bank Indonesia selaku Overheidsbeleid, dan tidak menjadi wewenang dari Hakim Umum (Perdata maupun Pidana), begitu pula tidak menjadi wewenang Peradilan Pidana terhadap Pembanding. Penilaian terhadap benar tidaknya suatu Kebijakan Negara (in casu Kebijakan Direksi Bank Indenesia dalam memberikan fasilitas kredit likuiditas ataupun kebijakan pemberian Fasilitas Pembiayaan Darurat melalui Perppu No.4 Tahun 2008) yang masuk dalam kategoris beleidsvrijheid tidak menjadi kompetensi dari Peradilan Umum, baik Peradilan Perdata maupun Peradilan Pidana, untuk mengadili dan memutus perkaranya!
Peradilan Pidana (juga Peradilan Perdata) tidak memiliki kewenangan menilai “Kebijakan Negara yang Substantif (Materiel)” seperti halnya Kebijakan Direksi Bank Indonesia mengenai dispensasi kliring terhadap 18 (delapan belas) Bank yang terkena saldo debet tersebut di atas maupun Kebijakan Negara mengenai Jaring Pengaman Sektor Keuangan.
Seharusnya peradilan pidana tidak memiliki kompetensi untuk mengadili dan memutus persoalan “Staatsbeleid” dalam kerangka “beleidsvrijheid” berupa Kebijakan Substantief sebagai Kebijakan Institusional dari Bank Indonesia yang merupakan wujud dari Overheidsbeleid. Uraian diatas ini hanya sekedar memberikan kejelasan mengenai hubungan antara Hukum Administrasi Negara dengan Hukum Pidana yang masih sangat terbatas pemahaman diantara penegak hukum, sehingga akan mempengaruhi pula kendala terhadap eksistensi korupsi sistemik dimaksud.
C. Administrative Penal Law – Asas Systematische Specialiteit
Selain itu yang harus menjadi perhatian dari penegak hukum adalah relasi antara dapat tidaknya absorsi tindak pidana yang berada dalam ranah Hukum Administrasi Negara dengan Tindak Pidana Korupsi sebagai ranah Hukum Pidana, khususnya terhadap penerapan asas Lex Specialis berdasarkan pemaknaan Pasal 103 KUHP, selain masalah “beleid” yang telah dijelaskan diatas.
Ajaran Lex Specialis sudah semakin berkembang dalam pemahaman Hukum Pidana . Ia –asas Lex Specialis- tidaklah sekedar, membicarakan lagi mengenai pengesampingan suatu asas umum (lex generalis), tetapi telah memberikan suatu solusi-solusi hukum pidana yang demikian kompleksitasnya dan bentuknya, karena telah tersebar perundang-undangan yang bersifat khusus dan bersifat ekstra kodifikasi atau berada di luar KUHP. Seperti penjelasan diatas, yaitu eksistensi UU Perbankan (juga UU Kehutanan, Lingkungan, Pajak, Kepabeanan, Keimigrasian, Ketenagalistrikan, Kehutanan, Pertambangan dan lain-lain).
Asas Hukum Pidana mengenai asas lex Specialis yang dinamis dan limitatif sifatnya., terutama (1) untuk menentukan Undang Undang Khusus mana yang harus diberlakukan diantara dua atau lebih perundangan-undangan yang juga bersifat khusus, dan (2) Ketentuan mana yang diberlakukan dalam suatu Undang Undang Khusus .
Untuk menentukan ketentuan (pasal) yang akan diberlakukan dalam/pada satu perundangan khusus, maka berlaku asas Logische Specialiteit atau Kekhususan yang Logis, artinya ketentuan pidana dikatakan bersifat khusus, apabila ketetnuan pidana ini selain memuat unsur-unsur lain, juga memuat semua unsur ketentuan pidana yang bersifat umum, misalnya Pasal 341 KUHP yang harus diterapkan daripada Pasal 338 KUHP terhadap kasus pembunuhan yang pelakunya seorang ibu terhadap anaknya atau Pasal 12B UU No.20 Tahun 2001 adalah yang diterapkan daripada Pasal 5 ayat 1 huruf a UU No.20 tahun 2001.
Untuk menentukan Undang Undang Khusus mana yang diberlakukan, maka berlaku asas Systematische Specialiteit atau Kekhususan yang Sistematis, artinya ketentuan pidana yang bersifat khusus apabila pembentuk undang undang memang bermaksud untuk memberlakukan ketentuan pidana tersebut sebagai suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus atau ia akan bersifat khusus dari khusus yang telah ada. Misalnya, subyek personal, obyek dugaan perbuatan yang dilanggar, alat bukti yang diperoleh, lingkungan dan area delicti berada dalam konteks perbankan, maka UU Perbankan adalah yang diberlakukan, meskipun UU Khusus lainnya (seperti UU Tindak Pidana Korupsi memiliki unsure delik yang dapat mencakupnya) adalah akseptabelitas sifatnya. Doktrin dinamis dari ajaran dan asas Lex Specialis ini sangat berkaitan dengan ajaran asas Concursus dan Deelneming yang apabila keliru dalam pemahaman akan menjadi indikator kemampuan penegak hukum akan pemahaman asas-asas Hukum Pidana.
Pelanggaran Prudential Priciples Perbankan tidaklah dapat diartikan sebagai perbuatan koruptif, karena berdasarkan pendekatan akademis doktrinal melalui asas Systematische Specialiteit atau Kekhususan yang Sistematis, pelanggaran terhadap prinsip kehati-hatian adalah menjadi area Tindak Pidana Perbankan, bukan Tindak Pidana Korupsi, ini semua harus menjadi landasan legalitas untuk menghindari adanya pelanggaran terhadap asas Concursus . Semua perbuatan yang menyimpangi aturan tentunya diartikan sebagai perbuatan melawan hukum, tetapi tidak dapat diartikan selalu sebagai perbuatan koruptif. Asas Kekhususan yang Sistematis merupakan sarana untuk mencegah dan membatasi serta meluruskan kembali arah asas “perbuatan melawan hukum” dan “menyalahgunakan wewenang” dalam tindak pidana korupsi agar tidak bermakna “all embracing act dan all purpose act”.
Untuk menghindari kekeliruan dalam pemahaman asas Systematische Specialiteit (Kekhususan yang Sistematis) sebagai doktrin akademis yang belum tentu dipahami oleh masyarakat hukum, khususnya dalam keterkaitan antara perundangan administrasi yang bersanksi pidana (Administrative Penal Law) dengan Hukum Pidana (Korupsi), maka pembentuk Undang Undang (khususnya Prof. Dr. Muladi, SH, saat itu sebagai Menteri Kehakiman R.I) memberikan pemahaman eksplisitas melalui Pasal 14 UU No.31 Tahun 1999.
Mengingat telah ada asas Systematische Specialiteit (Kekhususan yang Sistematis) sebagai pengakuan akademis tersebut, pendapat doktrin telah diformulasikan melalui norma legislasi untuk memberikan batasan-batasannya melalui Pasal 14 UU No.31 Tahun 1999 yang berbunyi:
“Setiap orang yang melanggar ketentuan undang-undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini” .
Jadi makna yang terkandung dalam substansi ketentuan ini adalah bahwa undang undang tindak pidana korupsi berlaku apabila perbuatan tertentu dinyatakan sebagai tindak pidana korupsi yang memang secara tegas jelas dinyatakan demikian dalam perundangan ekstra Undang undang Korupsi. Dengan demikian, dalam hal perundangan tertentu tersebut tidak menyatakan yang demikian, maka yang berlaku bukanlah pelanggaran terhadap Undang Undang Tindak Pidana Korupsi.Jadi, tidak semata-mata Undang undang Tindak Pidana Korupsi dapat menjangkau semua produk legislasi sebagai perbuatan melawan hukum yang memberi kesan sebagai jaring laba-laba atau jaring. Tidak dapat dibenarkan seseorang yang melanggar UU Kepabeanan tetapi selain didakwa melanggar UU Kepabeanan, juga dijerat dengan UU Tindak Pidana Korupsi bahkan (dahulu) dengan UU Subversi meskipun perbuatan materiel yang didakwakan adalah satu dan sama.
Dimensi Administrative Penal Law agar tidak semata-mata sebagai perbuatan yang absorsi sebagai tindak pidana korupsi ditegaskan pula oleh Dr. Parman Soeparman, S.H., M.H (saat itu sebagai Ketua Muda Bidang Tindak Pidana Mahkamah Agung R.I.) dalam makalahnya berjudul “Dimensi Administrative Penal Law Sebagai Tindak Pidana Korupsi” dan Hasil Rakernas Mahkamah Agung R.I. dengan Jajaran Pengadilan Empat Lingkungan Peradilan Seluruh Indonesia di Makassar tanggal 2-6 September 2007. Bahkan perlunya asas lex specialis systematic ditegaskan oleh Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H., LLM dalam kaitannya dengan Pasal 14 UU No.31 Tahun 1999, sehingga UU Pemberantasan Korupsi tidak berlaku terhadap setiap dugaan tindak pidana korupsi atas suatu perbuatan yang terjadi di dalam aktivitas yang dilindungi suatu UU lain semisal UU Perbankan, Perpajakan atau Pasal Modal, juga adanya asas lex specialis systematic dan Pasal 14 UU No.31 Tahun 1999 menghindari UU Pemberantasan Korupsi menyimpangi asas concursus idealis pada Pasal 63 ayat 1 KUHP.
Kesimpulan yang dapat diberikan secara garis besar tentang Korupsi Sistemik, keterkaitan antara “Beleid” dengan Tindak Pidana Korupsi dirangkumkan antara lain sebagai berikut:
- Kewenangan diskresioner (“discretionary power”) dari aparatur Negara, baik perbuatannya dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan (kewenangan mengikat) maupun menyimpangi peraturan perundang-undangan (kewenangan aktif), dan dilakukan sesuai pula dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik, dalam kondisi yang mendesak, urgensi dan atau darurat sifatnya merupakan “overheidsbeleid” dalam area Hukum Administrasi Negara (“Administratiefrechtelijk”) yang tidak menjadi yurisdiksi dan makna “menyalahgunakan kewenangan” maupun “melawan hukum” (formiel dan materiel) dalam Hukum Pidana, khususnya tindak pidana korupsi. Kewenangan Diskresioner, berupa “beleidvrijheid” amupun “wijsheid”, yang kadang kala menyimpangi ketentuan perundang-undangan dapatlah dibenarkan asalkan selaras dengan maksud ditetapkannya kewenangan atau memang sesuai dengan tujuan akhirnya, sesuai dengan “doelgerichte” ditetapkan diskresioner ini, sehingga dalam hal terjadi penyimpangan dari asas doelgerichte tersebut, maka area Hukum Pidana menjadi pijakannya .
- Adanya kekeliruan implementasi ajaran “perbuatan melawan hukum” yang seharusnya sebagai “sarana” dari perbuatan yang dapat dipidana yang kemudian diartikan (ajaran perbuatan melawan hukum) sebagai bestanddeel delict yang strafbaar, hal ini berakibat terjadi kekeliruan berkelanjutan bahwa unsur melawan hukum (sebagai genuus delict) maupun unsur “menyalahgunakan kewenangan” (sebagai species delict) diartikan sebagai sebagai bestandeel delict . Secara historis, unsur melawan hukum (sebagai genuus delict) maupun unsur “menyalahgunakan kewenangan” (sebagai species delict) adalah hanya dalam kaitan dengan suap dan perolehan harta kekayaan aparatur negara yang diduga diperoleh secara tidak legal, sehingga dengan kekeliruan implementasi yang terjadi adalah kriminalisasi kebijakan sebagaimana realitas kenegaraan yang ada ini .
- Sesuai relasi antara Hukum Pidana dengan Hukum Administrasi Negara, khususnya (apabila) terjadi penyimpangan dalam proses Kebijakan Negara tentang pelaksanaan (penyimpangan) Kebijakan Aparatur Negara adalah tetap dalam ranah Hukum Administrasi Negara yang tidak dapat dijadikan penilaian oleh Hukum Pidana, khususnya dalam konteks Tindak Pidana Korupsi .
- Pelanggaran Perundang-undangan Administrasi yang bersanksi penal (Administrative Penal Law), termasuk pelanggaran UU Pemerintahan Daerah, Perbankan, Pasar Modal, Lingkungan Hidup, Ketenagalistrikan, Pertambangan, Kehutanan, Telekomunikasi dan lain-lain, tidaklah selalu dapat diartikan sebagai perbuatan koruptif, karena berdasarkan asas Systematische Specialiteit atau Kekhususan yang Sistematis, pelanggaran terhadap Administrative Penal Law atau perundang-undangan administratif yang bersanksi pidana adalah menjadi area Tindak Pidana pada Perundang-undangan Administratif itu sendiri, bukan Tindak Pidana Korupsi sesuai Pasal 14 UU No.31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang (Perubahan) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ini semua harus menjadi landasan legalitas untuk menghindari adanya pelanggaran terhadap asas Concursus . Penegasan Asas Systematische Specialiteit melalui Pasal 14 UU No. 31 Tahun 1999 ini yang bertujuan menghindari Tindak Pidana Korupsi sebagai all embracing act dan all purposing act.
***
Jakarta, 02 Desember 2010
Prof. Dr. Indriyanto Seno Adji, S.H., M.H.
Pengajar Program Pascasarjana Universitas Indonesia
Bidang Studi Ilmu Hukum
Tentang Penulis:
Guru Besar/Pengajar/Program Pascasarjana Bidang Studi Ilmu Hukum Universitas Indonesia, Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Program Pascasarjana Bidang Studi Ilmu Hukum Universitas Krisnadwipayana, Program Pascasarjana Universitas 17 Agustus, Program Pascasarjana Universitas Pelita Harapan, Program Pasca Sarjana Universitas Tarumanegara, Anggota Senat Guru Besar Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Pengajar Pusdiklat Kejaksaan Agung R.I., Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian/Kajian Ilmu Kepolisian, Pelatihan Hakim, Pendidikan Advokat, dll.
Anggota Tim Pakar (bidang Hukum Pidana) Menteri Hukum 7 HAM, Departemen Hukum & HAM R.I, Penasehat Ahli Bidang Hukum Pidana KAPOLRI, Departemen Dalam Negeri R.I. (ex), Kementerian BUMN (ex), Konsultan Ahli BPHN, Anggota Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia dll.
Anggota Tim Perumus Rancangan/Perubahan UU Tindak Pidana Korupsi, Tindak Pidana Suap, Pencucian Uang, Terorisme, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Perubahan Tindak Pidana Korupsi, Perampasan Aset, KUHPidana, KUHAPidana dll .
Tentang Tulisan:
Makalah dengan judul “Korupsi : Kriminalisasi Kebijakan Aparatur Negara?” Ini Disampaikan Pada Diskusi Panel dengan Topik “Kebijakan Aparatur Negara & Pertanggungjawaban Pidana”, Pada Rakernas Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) dengan tema “Revitalisasi Peran Gubernur Guna Menciptakan Sinergitas & Harmonisasi Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah” pada hari Kamis, tanggal 02 Desember 2010, pukul 14.00-15.30 WIB di Hotel Grand Preanger, Jalan Asia Afrika No. 81, Bandung, Jawa Barat. Diterbitkan dalam bentukn soft copy oleh www.appsi-online.com