Oleh: Eddy Rifai,
Unsur-unsur tindak pidana korupsi yang terdapat dalam Pasal 2 dan 3 UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU TPK), antara lain, menyangkut (1) perbuatan melawan hukum (PMH)/menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan; (2) memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi; (3) dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Pada unsur melawan hukum dalam hukum pidana, terdapat ajaran tentang ‘sifat melawan hukum’ (SMH) yang terdiri dari SMH formal dan SMH materiil. Pada SMH formal, hukum adalah hukum tertulis yaitu peraturan perundang-undangan (wet). Terpenuhinya sifat melawan hukum apabila pelaku melanggar atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan (onwetmatigedaad). Pada SMH materiil, hukum tidak hanya hukum tertulis tetapi juga hukum yang tidak tertulis (unwritten law), yakni hukum adalah recht. Terpenuhinya sifat melawan hukum apabila pelaku melanggar atau bertentangan dengan hukum (onrechtmatigedaad).
SMH materiil terdiri dari SMH materiil dalam fungsinya yang positif dan SMH materiil dalam fungsinya yang negatif. SMH materiil dalam fungsinya yang negatif sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU 31/1999 jo UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU TPK). “Yang dimaksud dengan secara melawan hukum dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formal dan dalam arti materiil. Yakni, meskipun tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, apabila dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, perbuatan tersebut dapat dipidana.
Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU TPK ini telah dicabut dengan putusan Mahkamah Konstitusi No 3 Tahun 2006 sehingga UU TPK tidak menganut ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif. Oleh karena itu, terpenuhinya unsur melawan hukum apabila perbuatan pelaku melanggar atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif terdapat dalam yurisprudensi, yaitu putusan MA No 42/KR/1965 yang pada intinya menyatakan bahwa suatu perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana korupsi dapat hilang sifat melawan hukumnya sehingga pelaku tidak dapat dipidana apabila: 1) negara tidak dirugikan; 2) terdakwa tidak dapat untung; 3) kepentingan umum dilayani. Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa unsur melawan hukum terpenuhi apabila perbuatan pelaku bertentangan atau melanggar peraturan perundang-undangan (onwetmatigedaad). Unsur melawan hukum tidak terpenuhi apabila: 1) negara tidak dirugikan; 2) terdakwa tidak dapat untung; 3) kepentingan umum dilayani.
Pengertian unsur kerugian keuangan negara terdapat dalam Pasal 1 angka 22 Undang-Undang No 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara yang menyatakan, ‘Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai’.
Menurut ketentuan UU No 15/2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, yang berhak melakukan penghitungan kerugian negara hanya BPK. BPKP dapat melakukan penghitungan, penilaian, dan penetapan kerugian negara apabila mendapatkan delegasi dari BPK sebagaimana diatur dalam Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 1 Tahun 2008 tentang Penggunaan Pemeriksa dan/atau Tenaga Ahli dari Luar Badan Pemeriksa Keuangan atau BPKP mendapatkan perintah tertulis dari Presiden atau penugasan secara tertulis dari Menteri Keuangan sebagai Bendahara Umum Negara.
Kajian kasus korupsi
Salah satu kasus yang cukup menarik perhatian terkait dengan kajian unsur-unsur tindak pidana korupsi tersebut ialah kasus mantan Dirut PLN Eddie Widiono, yang diduga melakukan korupsi dalam pengadaan proyek Customer Information System-Rencana Induk Sistem Informasi (CIS-RISI) PLN Distribusi Jakarta Raya dan Tangerang tahun 2004-2006 pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta.
Apakah perbuatan pelaku memenuhi unsur melawan hukum menjadi suatu persoalan karena perbuatan yang dilakukan pelaku melanggar ketentuan-ketentuan internal yang ada di PLN? Padahal sebagaimana penjelasan mengenai unsur melawan hukum tadi, suatu perbuatan melawan hukum yang dapat dipidana ialah perbuatan melanggar atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan (onwetmatigedaad). Dalam UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tidak ditemukan peraturan-peraturan internal perusahaan negara sebagai undang-undang sehingga unsur perbuatan melawan hukum tidak terpenuhi.
Unsur kerugian keuangan negara yang terjadi pada PLN sampai sekarang masih dipersoalkan karena ada beberapa peraturan perundang-undangan yang bertentangan satu sama lain. Pasal 2 butir g UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara tidak mempunyai kepastian hukum. Pasal 2 butir g menyatakan, ‘Keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 meliputi: Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hal-hal lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah’.
Pasal itu bertentangan dengan doktrin badan hukum serta UU No 19/2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan UU No 40/2007 tentang Perseroan Terbatas. Dalam kaitan dengan pertentangan antarundang-undang tersebut, Mahkamah Agung dalam fatwanya menyatakan, pada Pasal 2 butir g UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara, dengan adanya UU No 19/2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN), ketentuan dalam Pasal 2 huruf g khusus mengenai ‘kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah’ juga tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum (Erman Rajagukguk, 2011). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa kerugian yang dialami PLN sebagai perusahaan negara bukanlah kerugian keuangan negara.
Kasus yang terjadi pada mantan Dirut PLN Eddie Widiono memang banyak kejanggalan. Di samping tidak memenuhi unsur-unsur tindak pidana korupsi, penanganannya oleh KPK dilakukan secara kurang profesional sehingga tim penasihat hukum terdakwa yang terdiri dari Maqdir Ismail, SF Marbun, M Rudjito, Dasril Afandi, dkk melaporkan Deputi Penindakan, Direktur Penyelidikan, Penyidik dan Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi kepada Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, sehubungan dengan adanya dugaan pelanggaran kode etik dalam melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap terdakwa.
Pelanggaran kode etik dilakukan ketika Direktur Penyelidikan melaporkan adanya tindak pidana korupsi. Laporan tersebut tidak disertai hasil penghitungan kerugian negara oleh ahli sebagaimana dimaksud Putusan Mahkamah Konstitusi No 003/PUU-IV/2006, tanggal 25 Juli 2006. Pelanggaran juga dilakukan Deputi Penindakan karena sudah memerintahkan melakukan penyidikan sesuai dengan perintah penyidikan Sprint.Dik – 10/II/2010 tanggal 23 Februari 2010 dan Surat Perintah Penyidikan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor: Sprint.Dik-14/01/III/2010, tanggal 11 Maret 2010, sedangkan penghitungan kerugian negara belum dilakukan.
Bukti pelanggaran oleh Deputi Penindakan yaitu meminta Kepala BPKP melakukan penghitungan kerugian negara dengan Surat Nomor: R/48/2023/03/2010, tanggal 3 Maret 2010. Hasil penghitungan kerugian negara itu baru diserahkan BPKP dengan Surat Nomor: SR- 176/D6/02/2011, tanggal 16 Februari 2011. Adapun permintaan kepada ahli teknologi informasi untuk memberikan keterangan ahli dan menghitung kerugian yang berhubungan dengan kontrak di bidang informasi teknologi baru disampaikan kepada Dekan Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, No: R-168/20-23/03/2010, tanggal 17 Maret 2010.
Penghitungan kerugian negara oleh ahli BPKP hanya berdasarkan berita acara pemeriksaan (BAP) ahli IT yang menerangkan pendapat ahli atas pekerjaan roll-out Customer Information System–Rencana Induk Sistem Informasi (CIS-RISI) pada PT PLN (persero) Distribusi Jakarta Raya dan Tangerang Tahun 2004-2006 ditandatangani tanggal 17 Desember 2010, namun berita acara pemeriksaan tersebut tidak ada dalam berkas perkara. Penghitungan kerugian negara berdasarkan pendapat ini menjadi tidak nyata dan pasti sehingga tidak memenuhi pengertian kerugian keuangan negara sebagaimana tercantum dalam peraturan perundang-undangan.[]
*Penulis adalah Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Lampung
Source:

Selasa, 20 Desember 2011