Oleh:
Triyono Lukmantoro
Figur yang semasa dalam pelariannya terlihat sangat berani, berbicara terbuka, dan menyebutkan sejumlah nama yang terlibat dalam skandal korupsi kini terkesan lemah lunglai.
Itulah yang terjadi pada Muhammad Nazaruddin, bekas Bendahara Umum Partai Demokrat, setelah berstatus sebagai tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bahkan seusai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK Nazaruddin menyatakan lupa semua hal yang telah diucapkannya selama menjadi buron.
Nazaruddin cuma berkata agar istri dan anak-anaknya tak diganggu. Untuk menegaskan pernyataannya yang memelas itu, Nazaruddin berkirim surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Secara ringkas,isi surat tersebut berisi permohonan agar dia segera dihukum saja,tanpa menjalani proses persidangan.
Nazaruddin juga mengemukakan janji bahwa dia tidak akan menuturkan semua hal yang dapat merusak citra Partai Demokrat dan KPK demi kelangsungan bangsa ini. Surat itu akhirnya dibalas Presiden SBY yang isinya datar-datar saja. Perubahan sikap dan perilaku Nazaruddin itu mengundang banyak tanya.
Benarkah Nazaruddin telah dibungkam? Apakah Nazaruddin memang sengaja dijadikan objek penderita untuk menyelamatkan kepentingan politik lain yang lebih besar, terutama untuk menyelubungi berbagai kebusukan elite-elite Partai Demokrat? Mengapa Nazaruddin terlihat begitu murung dan menderita?
Semua pertanyaan itu menuju pada sebuah jawaban bahwa Nazaruddin berada dalam tekanan luar biasa. Hal yang lebih menyedihkan adalah tidak ada teman satu partainya yang sudi menengok dan memberikan dukungan kepadanya. Nazaruddin dalam kesendirian.Bagaimana hal ini dijelaskan? Ada dua kemungkinan jawaban ekstrem yang bisa dikemukakan.
Sengaja Dikorbankan
Pertama, Nazaruddin memang sengaja dikorbankan untuk menutup-nutupi semua kebobrokan Partai Demokrat yang sedang berkuasa. Partai Demokrat semasa kampanye Pemilihan Umum 2009 menyatakan sebagai kekuatan politik yang melawan korupsi ini, harus diselamatkan citranya.
Nazaruddin sekadar menjadi komponen kecil yang pantas dibuang. Gejala itu dapat dijelaskan dengan konsep tentang kambing hitam (scapegoat) dalam kehidupan sosial. Kambing hitam bukan sekadar domba yang berwarna gelap. Dalam tradisi Yahudi, kambing hitam menyimbolkan dosadosa yang sudah diperbuat manusia.
Kambing hitam itu harus dibuang jauh-jauh untuk menunjukkan rasa salah telah dilunasi.Dengan pembuangan kambing hitam itu,maka keberlangsungan hidup masyarakat dipulihkan kembali. Harmoni yang semula terkoyak berhasil diper-baiki. Evans Mandes (2007) mengemukakan bahwa terdapat proses yang tidak adil untuk mendakwa dan menyalahkan seseorang atau kelompok untuk perbuatanperbuatan pihak lain.
Sosok yang berperan sebagai kambing hitam lazimnya merupakan sasaran yang aman.Hal ini disebabkan orang-orang itu mudah dikorbankan dan tak berdaya untuk melakukan serangan balik. Kaum minoritas biasanya menjadi kelompok favorit untuk dijadikan kambing hitam.
Mereka diposisikan sebagai korban yang berfungsi untuk mengalihkan masalah yang sebenarnya. Kedudukan kambing hitam sangat penting karena bisa mengakhiri konflik dan berbagai kekacauan yang sedemikian tajam.
Kalkulasi politisnya, biarlah satu kaum yang lemah dijadikan tumbal untuk memulihkan kestabilan yang telah rusak parah. Tidakkah mengorbankan satu orang lebih baik daripada kehancuran makin tidak bisa diredam? Inilah cara "membuang setitik nila untuk menyelamatkan susu sebelanga".
Mengundang Belas Kasihan
Kedua,Nazaruddin berpurapura sebagai kambing hitam. Artinya, tidak ada satu kekuatan pun, entah di lingkaran kekuasaan Presiden Yudhoyono maupun di Partai Demokrat, yang menempatkan Nazaruddin sebagai tumbal.
Nazaruddin sengaja memainkan diri sebagai si penderita untuk mengundang belas kasihan banyak pihak. Melalui taktik ini Nazaruddin akan mendapatkan banyak dukungan dan pembelaan. Nazaruddin, yang sebenarnya aktor agresif dalam tindakan korupsi, seakan-akan dipaksa pihak lain untuk menggemukkan keuangan partai.
Apabila Nazaruddin memang menjalankan strategi jitu tersebut, sama halnya dia telah melakukan manipulasi di hadapan publik. Itulah yang disebut, sebagaimana diuraikan George K Simon Jr (In Sheep's Clothing: Understanding and Dealing with Manipulative People, 2000),memainkan peran sang korban yang tidak berdosa.
Tujuan dari taktik ini ialah menggapai simpati,dikasihani, atau sesuatu yang menguntungkan baginya. Strategi ini sederhana, yakni dengan meyakinkan banyak orang, maka berbagai ketegangan dan ketakutan yang dialami akan terlampiaskan. Taktik memainkan diri sebagai si korban yang tidak berdaya telah dilakukan banyak tersangka pelaku korupsi.
Tiba-tiba sakit, tubuh terlihat lemas,harus duduk di kursi roda selama dalam persidangan, atau mengenakan alat bantuan pernafasan. Bisa jadi Nazaruddin sedang menjalankan cara ini dengan berpura-pura murung, terlalu banyak bungkam, dan mengalami amnesia (hilang ingatan) dalam waktu sekejap.
Hal ini adalah mekanisme dramatisasi yang sangat anggun. Terlebih Nazaruddin juga membawa-bawa kepentingan istri dan anak-anaknya, selain Partai Demokrat, KPK, serta kebaikan bangsa. Apakah Nazaruddin dijadikan kambing hitam atau bersandiwara sebagai figur yang dijadikan tumbal? Kita tunggu saja akhir episode politik ini di persidangan.*
Source: Seputar Indonesia, Rabu 24 August 2011
Triyono Lukmantoro
Figur yang semasa dalam pelariannya terlihat sangat berani, berbicara terbuka, dan menyebutkan sejumlah nama yang terlibat dalam skandal korupsi kini terkesan lemah lunglai.
Itulah yang terjadi pada Muhammad Nazaruddin, bekas Bendahara Umum Partai Demokrat, setelah berstatus sebagai tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bahkan seusai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK Nazaruddin menyatakan lupa semua hal yang telah diucapkannya selama menjadi buron.
Nazaruddin cuma berkata agar istri dan anak-anaknya tak diganggu. Untuk menegaskan pernyataannya yang memelas itu, Nazaruddin berkirim surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Secara ringkas,isi surat tersebut berisi permohonan agar dia segera dihukum saja,tanpa menjalani proses persidangan.
Nazaruddin juga mengemukakan janji bahwa dia tidak akan menuturkan semua hal yang dapat merusak citra Partai Demokrat dan KPK demi kelangsungan bangsa ini. Surat itu akhirnya dibalas Presiden SBY yang isinya datar-datar saja. Perubahan sikap dan perilaku Nazaruddin itu mengundang banyak tanya.
Benarkah Nazaruddin telah dibungkam? Apakah Nazaruddin memang sengaja dijadikan objek penderita untuk menyelamatkan kepentingan politik lain yang lebih besar, terutama untuk menyelubungi berbagai kebusukan elite-elite Partai Demokrat? Mengapa Nazaruddin terlihat begitu murung dan menderita?
Semua pertanyaan itu menuju pada sebuah jawaban bahwa Nazaruddin berada dalam tekanan luar biasa. Hal yang lebih menyedihkan adalah tidak ada teman satu partainya yang sudi menengok dan memberikan dukungan kepadanya. Nazaruddin dalam kesendirian.Bagaimana hal ini dijelaskan? Ada dua kemungkinan jawaban ekstrem yang bisa dikemukakan.
Sengaja Dikorbankan
Pertama, Nazaruddin memang sengaja dikorbankan untuk menutup-nutupi semua kebobrokan Partai Demokrat yang sedang berkuasa. Partai Demokrat semasa kampanye Pemilihan Umum 2009 menyatakan sebagai kekuatan politik yang melawan korupsi ini, harus diselamatkan citranya.
Nazaruddin sekadar menjadi komponen kecil yang pantas dibuang. Gejala itu dapat dijelaskan dengan konsep tentang kambing hitam (scapegoat) dalam kehidupan sosial. Kambing hitam bukan sekadar domba yang berwarna gelap. Dalam tradisi Yahudi, kambing hitam menyimbolkan dosadosa yang sudah diperbuat manusia.
Kambing hitam itu harus dibuang jauh-jauh untuk menunjukkan rasa salah telah dilunasi.Dengan pembuangan kambing hitam itu,maka keberlangsungan hidup masyarakat dipulihkan kembali. Harmoni yang semula terkoyak berhasil diper-baiki. Evans Mandes (2007) mengemukakan bahwa terdapat proses yang tidak adil untuk mendakwa dan menyalahkan seseorang atau kelompok untuk perbuatanperbuatan pihak lain.
Sosok yang berperan sebagai kambing hitam lazimnya merupakan sasaran yang aman.Hal ini disebabkan orang-orang itu mudah dikorbankan dan tak berdaya untuk melakukan serangan balik. Kaum minoritas biasanya menjadi kelompok favorit untuk dijadikan kambing hitam.
Mereka diposisikan sebagai korban yang berfungsi untuk mengalihkan masalah yang sebenarnya. Kedudukan kambing hitam sangat penting karena bisa mengakhiri konflik dan berbagai kekacauan yang sedemikian tajam.
Kalkulasi politisnya, biarlah satu kaum yang lemah dijadikan tumbal untuk memulihkan kestabilan yang telah rusak parah. Tidakkah mengorbankan satu orang lebih baik daripada kehancuran makin tidak bisa diredam? Inilah cara "membuang setitik nila untuk menyelamatkan susu sebelanga".
Mengundang Belas Kasihan
Kedua,Nazaruddin berpurapura sebagai kambing hitam. Artinya, tidak ada satu kekuatan pun, entah di lingkaran kekuasaan Presiden Yudhoyono maupun di Partai Demokrat, yang menempatkan Nazaruddin sebagai tumbal.
Nazaruddin sengaja memainkan diri sebagai si penderita untuk mengundang belas kasihan banyak pihak. Melalui taktik ini Nazaruddin akan mendapatkan banyak dukungan dan pembelaan. Nazaruddin, yang sebenarnya aktor agresif dalam tindakan korupsi, seakan-akan dipaksa pihak lain untuk menggemukkan keuangan partai.
Apabila Nazaruddin memang menjalankan strategi jitu tersebut, sama halnya dia telah melakukan manipulasi di hadapan publik. Itulah yang disebut, sebagaimana diuraikan George K Simon Jr (In Sheep's Clothing: Understanding and Dealing with Manipulative People, 2000),memainkan peran sang korban yang tidak berdosa.
Tujuan dari taktik ini ialah menggapai simpati,dikasihani, atau sesuatu yang menguntungkan baginya. Strategi ini sederhana, yakni dengan meyakinkan banyak orang, maka berbagai ketegangan dan ketakutan yang dialami akan terlampiaskan. Taktik memainkan diri sebagai si korban yang tidak berdaya telah dilakukan banyak tersangka pelaku korupsi.
Tiba-tiba sakit, tubuh terlihat lemas,harus duduk di kursi roda selama dalam persidangan, atau mengenakan alat bantuan pernafasan. Bisa jadi Nazaruddin sedang menjalankan cara ini dengan berpura-pura murung, terlalu banyak bungkam, dan mengalami amnesia (hilang ingatan) dalam waktu sekejap.
Hal ini adalah mekanisme dramatisasi yang sangat anggun. Terlebih Nazaruddin juga membawa-bawa kepentingan istri dan anak-anaknya, selain Partai Demokrat, KPK, serta kebaikan bangsa. Apakah Nazaruddin dijadikan kambing hitam atau bersandiwara sebagai figur yang dijadikan tumbal? Kita tunggu saja akhir episode politik ini di persidangan.*
* Triyono Lukmantoro adalah Dosen FISIP Universitas Diponegoro Semarang
Source: Seputar Indonesia, Rabu 24 August 2011