Kebijakan Formulasi Pidana dan Pemidanaan Koporasi (Bagian VI)

Monday, August 8, 2011

Oleh:
Prof. Dr. M. Arief Amrullah, S.H., M.H. *)


Dalam konteks vicarious liability tersebut, bahwa dalam hukum pidana dapat digambarkan sebagai pengenaan pertanggungjawaban pidana kepada seseorang dalam kapasitas pelaku utama, berdasarkan atas perbuatan pelanggaran atau sekurang-kurangnya ada unsur pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain. Contoh dari bentuk pertanggungjawaban ini, adalah hubungan antara karyawan dan pimpinan (employer-employee situation).20

Namun demikian, asas tersebut (strict liability dan vicarious liability) masih belum diatur dalam Undang-undang No. 8 Tahun 2010. Hal ini berbeda dengan Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, telah mengatur apa yang disebut dengan Tanggung Jawab Mutlak, yaitu sebagaimana tercantum dalam Pasal 35 Undang-undang tersebut: (1) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang usaha dan kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, dan/atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun, bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan, dengan kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. (2) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dapat dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup disebabkan salah satu alasan di bawah ini: a. adanya bencana alam atau peperangan; atau b. adanya keadaan terpaksa di luar kemampuan manusia; atau c. adanya tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. (3) Dalam hal terjadi kerugian yang disebabkan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, pihak ketiga bertanggung jawab membayar ganti rugi.

Pembandingan tersebut, sebagai upaya instropeksi terhadap Undang-undang No. 8 Tahun 2010 bahwa sebenarnya masih ada yang perlu diperhatikan untuk diatur dalam Undang-undang tersebut. Dan, ini sebagai suatu catatan dalam rangka untuk perbaikan ke depan.

Kembali kepada diskusi mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi yang melakukan TPPU, maka suatu hal yang harus ditentukan terlebih dahulu, yaitu apakah korporasi merupakan subjek hukum pidana yang dapat dipertanggungjawabkan dan selanjutnya dapat dijatuhi pidana berdasarkan Undang-undang No. 8 Tahun 2010.

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa Undang-undang No. 8 Tahun 2010 telah mengakui korporasi sebagai subjek hukum pidana. Hal itu dapat dilihat pada Pasal 1 angka 9 dan 10 Undang-undang No. 8 Tahun 2010. Dan, dalam Penjelasan Umum Angka 4 Buku Kesatu RUU KUHP Tahun 2008 dikemukakan, dengan dianutnya paham bahwa korporasi adalah subjek hukum pidana, berarti korporasi baik sebagai badan hukum maupun non-badan hukum dianggap mampu melakukan tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana. Karena itu, dalam Penjelasan Pasal 6 ayat (1) Undang-undang No. 8 Tahun 2010 disebutkan: “Korporasi mencakup juga kelompok yang terorganisasi yaitu kelompok terstruktur yang terdiri dari 3 (tiga) orang atau lebih, yang eksistensinya untuk waktu tertentu, dan bertindak dengan tujuan melakukan satu atau lebih tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang ini dengan tujuan memperoleh keuntungan finansial atau non-finansial baik secara langsung maupun tidak langsung”.


3. Pidana dan Pemidanaan

Salah satu dari dua tema sentral dalam kebijakan penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana, adalah yang berkaitan dengan penentuan sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada pelaku tindak pidana. 21 Masalah ini penting dikemukakan, karena sebagaimana Rekomendasi Economic and Social Council 22 yang menyatakan bahwa mengingat perubahan ekonomi dan politik yang terjadi di banyak negara, termasuk kebangkitan ekonomi pasar yang baru, maka hukum dan peraturan baru harus dikembangkan, sehingga dapat mengantisipasi dan merespon situasi yang berubah dan realitas bangkitnya ekonomi. Pertukaran informasi yang terus berlangsung dan pengalaman yang berkaitan dengan kejahatan ekonomi dan control terhadapnya dengan sanksi pidana harus diintensifkan. Pertimbangan tersebut harus diberikan sebagai masukan guna melengkapi mekanisme pengaturan sanksi pidana.

Mengingat korporasi adalah subjek hukum yang sifatnya non-badaniah, maka perlu diformulasikan terlebih dahulu kapan suatu tindak pidana dikatakan telah dilakukan oleh korporasi. Hal ini penting, jika tidak ada penentuan mengenai kapan suatu tindak pidana pencucian uang dapat dikatakan telah dilakukan oleh korporasi, maka akan mengaburkan dalam hal dapat dipidananya korporasi. Di samping itu, juga akan melemahkan tanggung jawab pidana korporasi.

Dalam Undang-undang No. 8 Tahun 2010 telah dirumuskan dalam Pasal 6 ayat (2), yaitu:
a. dilakukan atau diperintahkan oleh Personil Pengendali Korporasi;
b. dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan Korporasi;
c. dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah; dan
d. dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi Korporasi.
Hal itu sesuai dengan yang pernah dikemukakan oleh Sutherland bahwa kejahatan korporasi adalah kejahatan yang dilakukan oleh korporasi untuk mencapai tujuan korporasi berupa perolehan keuntungan untuk kepentingan korporasi (corporate crime is clearly committed for the corporate and not against it). Jadi, apa yang telah dirumuskan dalam Undang-undang No. 8 Tahun 2010 sudah lebih baik daripada UU TPPU sebelumnya. Karena, sudah merumuskan kapan suatu tindak Pidana pencucian uang dilakukan oleh korporasi. Namun demikian, sebagai cacatan bahwa ketentuan Pasal 6 ayat (2) huruf d sebenarnya sudah tercover dalam Pasal 6 ayat (2) huruf b.

Selanjutnya, yang perlu juga mendapar perhatian adalah ketentuan Pasal 7 Undang-undang No. 8 Tahun 2010, yang berbunyi sebagai berikut :

Pidana pokok yang dijatuhkan terhadap Korporasi adalah pidana denda paling paling banyak Rp. 100.000.000.000,00 (seratus milyar rupiah).
Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhadap Korporasi juga dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:
a. pengumuman putusan hakim;
b. pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha Korporasi;
c. pencabutan izin usaha;
d. pembubaran dan pelarangan Korporasi;
e. perampasan aset korporasi untuk negara; dan/atau
f. pengambilalihan korporasi oleh negara.
Apa yang telah diatur dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) tersebut, perlu dipertanyakan: apakah penggunaan ancaman pidana denda tersebut akan dirasakan sebagai sanksi. Para ahli kriminologi sebagaimana ditulis oleh Harry V. Ball dan Lawrence M. Friedman 23 bahwa pada umumnya mereka menyetujui menggunakan denda sebagai sanksi atas pelanggaran hukum pidana, sebab dengan denda, berarti keuntungan yang telah diperoleh oleh si pelaku (business organization) akan menjadi hilang (karena didenda). Pidana yang demikian itu (denda) akan dapat mencegah perolehan keuntungan melalui kejahatan.

Namun, apa yang ditulis oleh Harry V. Ball dan Lawrence M. Friedman tersebut berbeda pandang dengan yang ditulis oleh Balakrishnan24 bahwa, memang, pidana denda itu sesuai jika diterapkan terhadap perusahaan atau korporasi karena korporasi tidak dapat dijatuhi pidana penjara, akan tetapi hal itu saja (denda) masih belum cukup. Karena, sanksi yang berupa pidana denda tidak akan pernah dirasakan sebagai hukuman. Anggapan bahwa denda sebagai hukuman hanyalah di atas kertas. Untuk itu, perlu ada ketentuan khusus, seperti menghentikan kegiatan korporasi untuk sementara waktu dan untuk mengelola korporasi itu dilakukan oleh negara.

Dengan demikian, alternatif sanksi selain pidana denda sebagaimana dikemukakan oleh Balaknishnan tersebut, sebenarnya, didasarkan keraguan akan kemampuan sanksi berupa pidana denda itu apabila dikenakan kepada perusahaan atau korporasi, terlebih jika korporasi itu sifatnya giant corporation. Jadi, memang para ahli yang mengamati kejahatan yang dilakukan oleh korporasi ada keraguan akan keberhasilan sanksi tersebut dapat dipatuhi oleh korporasi, karena begitu banyak peluang-peluang hukum yang tersedia untuk dapat dihindari, sehingga sanksi-sanksi itu tidak efektif. Mereka (para Ahli) yakin bahwa upaya perbaikan dengan mengenakan pidana denda tidak akan banyak berpenganuh terhadap sebuah korporasi besar. 25 Sebagai perbandingan, di Australia, sebagaimana yang dimuat dalam Laporan Kongres Internasional ke-14 mengenai Perbandingan Hukum dengan Tema Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Criminal Liability of Corporations), dikemukakan bahwa dewasa ini meningkatnya dukungan untuk menggunakan sanksi yang sifatnya bukan uang (denda) diterapkan terhadap pelaku korporasi, yaitu seperti diskualifikasi dari kontrak-kontrak pemerintah, publisitas yang dapat merugikan korporasi. 26

Mencari alternatif sanksi yang tepat untuk dikenakan terhadap korporasi, dalam kaitan ini Kadish 27 mengajukan alternatif berupa memberikan ”cap” jahat kepada korporasi. Menurut Kadish, memberikan cap jahat itu dapat dilakukan seperti merusak nama baik korporasi dalam kegiatan bisnisnya sehingga akan mempengaruhi keadaan ekonominya. Dengan sanksi yang berupa stigma atau cap itu, akan dapat mencegah korporasi melakukan kejahatan.

Di Indonesia, konsep yang ditawarkan oleh Kadish itu pernah dilaksanakan oleh Jaksa Agung Sukarton Marmosudjono sekitar tahun 1990, yaitu penayangan wajah koruptor di televisi. Penayangan itu sebenarnya merupakan sarana atau media yang ampuh untuk membuat seseorang terkenal. Bahkan, ada orang yang mau membayar suatu media asal dirinya ditayangkan. Akan tetapi, penayangan itu akan menjadi lain atau akan ditakuti jika orang yang bersangkutan telah melakukan kejahatan. Ide ini, kiranya, dapat ditransfer dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Ini sebenarnya juga bagian dari sanksi yang berupa publikasi, yaitu mempublikasikan si pelaku (termasuk korporasi) agar malu atas perbuatan yang dilakukan sehingga dengan sanksi seperti itu diharapkan adanya aspek yang dapat mencegah korporasi lainnya untuk melakukan hal serupa.

Kembali kepada isu pidana denda tadi, yang menjadi pertanyaan bagaimana jika ternyata terpidana tidak mampu membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 Undang-undang No. 8 Tahun 2010. Dalam hal ini Pasal 8 Undang-undang No. 8 Tahun 2010 memberi jawaban bahwa pidana denda tersebut diganti dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan.

Kemudian, mengenai ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf c Undang-undang No. 8 Tahun 2010 berupa pencabutan izin usaha, dan pembubaran dan pelarangan korporasi (huruf d), dapat dipadankan dengan pidana mati untuk manusia. Karena itu, yang perlu dipikirkan dampak dari pidana itu jika benar-benar dijatuhkan, yaitu apakah tidak akan menimbulkan permasalahan baru (ingat semboyan pengadaian: menyelesaikan masalah tanpa masalah) berupa pengangguran. Hal itu akan terjadi, manakala sanksi itu dijatuhkan terhadap korporasi, maka PHK (pemutusan hubungan kerja) tidak akan dapat dihindarkan. Kita tentunya masih ingat (hanya sebagai bandingan) dampak ketika pemerintah melikuidasi 16 bank umum swasta nasional pada tanggal 1 Nopember 1997.

Dalam kaitan ini, Balakrishnan pernah mengusulkan sehubungan dengan adanya anggapan bahwa pidana denda sebagai hukuman hanyalah di atas kertas, untuk itu perlu ada ketentuan khusus, seperti menghentikan kegiatan korporasi untuk sementara waktu dan pengelolaan korporasi dilakukan oleh Negara. Mengenai yang terakhir ini, bersesuaian dengan ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf f Undang-undang No. 8 Tahun 2010, yaitu: pengambilalihan korporasi oleh negara. Namun, yang menjadi pertanyaan: bagaimana mekanismenya. Untuk hal ini, barangkali perlu ada penjelasannya dalam pasal tersebut. Namun, Penjelasan Pasal 7 tersebut dikatakan Cukup jelas. (*)


*) Penulis adalah Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember