Undang-Undang (UU) No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan perlu direvisi karena ber potensi melegalkan perzinahan.
Pendapat tersebut di sampaikan Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Univer sitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, M Nurul Ir fan, kepada Repub lika, Senin (9/5).
Indikasi pelegalan perzinahan itu, jelas Irfan, tertulis jelas dalam pasal 42. Pasal itu menyebutkan, anak yang sah adalah anak yang lahir dalam atau akibat perkawinan sah. Pasal ini lalu dikutip dalam Kom pi lasi Hukum Islam pasal 99.
Kata ‘dalam’ pada pasal itu, me nu rut Irfan, mengisyaratkan anak hasil hubungan di luar nikah juga dihukumi sah. Padahal da lam Islam, kata dia, anak sah secara syari yaitu anak yang lahir dari pernikahan yang sah, bukan dilahirkan dalam perkawinan sah, walaupun hasil dari perzi nahan.
Selain itu, lanjut Irfan, revisi UU Perkawinan dirasa perlu untuk me nyikapi fenomena kehamilan di luar nikah yang kian meresahkan. Banyak terjadi di tengah masyarakat, sianak hamil di luar nikah, ke mudian orang tua bergegas menikahkan sebelum jabang bayi lahir.
Karena itu, Irfan mengusulkan agar kata ‘dalam’ dicoret dari pasal tersebut. Jika tidak, dikhawatirkan mendorong meningkatnya kehamilan di luar nikah. Hal ini karena UU itu dapat memunculkan anggapan bahwa hamil di luar nikah tak jadi persoalan. “Jika dibiarkan, hamil by accident dianggap sepele.”
Belum perlu
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Amidhan Shaberah, menilai revisi UU Perkawinan seperti diusulkan Irfan belum perlu. Ia menilai, banyaknya kasus hamil di luar nikah tidak diakibatkan oleh UU itu.
“Direvisi atau tidak UU itu tak akan berpengaruh bagi penurunan angka kehamilan di luar nikah, kata Amidhan.
Dijelaskan, tindakan perzinahan yang berakibat pada terjadinya kehamilan lebih disebabkan oleh pornografi ataupun pornoaksi sebagai dampak kemajuan teknologi, bukan karena UU Perkawinan. UU itu ti dak ada kaitan langsung, katanya. Lagi pula, menurut Ami dhan, UU itu tidak melegalkan perzinahan UU Perkawinan, lanjut dia, merupakan hasil ijtihad para ulama Tanah Air. Diakuinya, desakan untuk merevisi UU itu kerap muncul. Hanya saja, sejauh ini pihaknya belum melihat urgensi dari revisi itu. Bahkan, upaya revisi dikhawatirkan membuka berbagai polemik dan permasalahan pelik yang dilarang oleh agama. Di antaranya, pernikahan beda agama, nikah sejenis, dan nikah kontrak. Kita tidak inginkan revisi, takut liar, demikian Amidhan. ed: wachidah handasah.(*)
(*) Nashih Nashrullah