Dalam sebuah kesempatan saya mengikuti musrenbang pada bulan lalu, beberapa kesimpulannya, antara lain (a) angka IPM (indeks pembangunan manusia) masih rendah, (b) kondisi infrastruktur, terutama jalan hampir di semua kabupaten/kota dalam kondisi rusak berat, (c) daya beli masyarakat rendah, (d) beberapa kabupaten masih dikategorikan sebagai sebagai kabupaten tertinggal, (e) angka kemiskinan belum bisa diturunkan secara drastis, (f) masih ada warga yang belum menikmati fasilitas listrik, (g) masih terjadi kesenjangan pelayanan publik antara kota dan daerah kabupaten.
Memperhatikan data tersebut, sungguh teramat memprihatinkan. Setelah kita merdeka hampir 66 tahun ternyata bangsa ini belum berhasil mengatasi persoalan dasar negeri ini, yaitu mengatasi kesenjangan pembangunan ekonomi, keadilan, dan pemerataan pembangunan.
Sementara di sisi yang lain secara kasat mata kita menyaksikan para pejabat publik, politisi, dan pejabat birokrasi bisa dengan mudah menikmati fasilitas yang diberikan negara melalui dana anggaran pemerintah. Kita juga menyaksikan persoalan korupsi hingga sekarang masih menjadi isu utama dan secara struktural masih sulit untuk diberantas. Pemimpin dan wakil rakyat seperti kehilangan kemampuan untuk memberantas kejahatan korupsi, dan bersikap setengah hati untuk mereformasi institusi penegak hukum secara radikal.
Bangsa ini juga seperti tidak memiliki masalah dan merasa nyaman kalau beberapa perusahan strategis, seperti Freeport, Exxon, Mobile, dan Newmont dikuasai korporasi besar transnasional. Demikian halnya, bangsa ini seperti tidak ada masalah ketika harus berutang ke negara-negara asing yang mengangkangi kedaulatan bangsa ini.
Melihat realitas kondisi bangsa demikian, sepertinya kita kehilangan makna dari spirit kebangkitan nasional yang diperjuangkan oleh kelompok masyarakat terdidik dahulu, juga kehilangan makna dari peristiwa penggulingan rezim Orde Baru oleh para aktivis mahasiswa dan aktivis proreformasi yang seharusnya peristiwa sejarah itu bisa memberi kontribusi positif bagi perbaikan negeri ini.
Bahkan, dalam perkembangan beberapa tahun terakhir ini, negara kembali menjelma menjadi kuat yang tidak bisa dipengaruhi oleh kekuatan masyarakat untuk mengontrolnya. Berbagai kebijakan publik baik di pusat maupun di daerah merefelkesikan preferensi elite, kadang-kadang penuh kontroversi, dan substansinya tidak bisa diubah sekalipun dikritik dan dicaci maki publik.
Dalam kecenderungan negara seperti tersebut, kelompok kekuatan sipil mulai kehilangan energinya bahkan perannya menurun secara drastis. Sebagian dari kekuatan kelas menengah bahkan larut dalam permainan politik elite, mereka mencari peluang yang sama untuk mencari keuntungan ekonomis dari sumber daya dan fasilitas yang diberikan negara.
Kebangkitan Kekuatan Masyarakat
Belajar dari kondisi kepolitikan sekarang ini sebagai produk dari buah reformasi politik dalam realitasnya, ternyata upaya untuk memperbaiki bangsa ini gagal untuk diwujudkan karena proses politik yang berlangsung tidak menghasilkan kepemimpinan politik yang kuat, baik di pusat maupun di daerah untuk memperjuangkan kesejahteraan masyarakat.
Arena pertarungan politik lebih dimaknai sebagai sebuah proses politik untuk merebut sumber daya yang dimiliki negara untuk kemudian dijadikan sumber kekuatan di lingkaran elite kekuasaan. Implikasinya, para aktor-aktor politik yang berkuasa, baik di eksekutif maupun di DPR, akan selalu berebut pengaruh untuk memanfaatkan sumber daya yang dimiliki negara untuk kepentingan politiknya.
Secara kasat mata kita bisa menyaksikan fenomena tersebut dari distribusi alokasi dana APBN atau APBD yang sarat dengan kepentingan agenda pemerintah bukan agenda publik. Mengapa anggota DPR ngotot untuk membangun gedung baru? Mengapa dana APBN atau APBD sulit dihemat? Mengapa proporsi belanja publik lebih kecil dibandingan dengan belanja rutin? Mengapa belum semua daerah mengalokasikan dana pendidikan sebesar 20% dan pelayanan kesehatan sebesar 10%? Mengapa pemerintah dana pembangunan infrastruktur kecil? Dst.
Jawaban atas pertanyaan tersebut tidak hanya karena keterbatasan negara memiliki anggaran, tetapi juga karena persoalan distribusi alokasi dana terdistorsi oleh pengelolaan kepentingan politik penguasa dan masih memberikan ruang untuk dikorupsi.
Dalam logika politik kompromistik yang dianut sekarang ini, maka membiarkan negara dalam posisi tidak bisa dikontrol akan memberikan kenyamanan bagi mereka yang berkuasa dan kelompok-kelompok politik yang memiliki akses kekuasaan untuk berbagi rezeki dari sumber daya yang dimiliki negara. Dalam format politik seperti ini, maka sulit untuk melakukan perubahan-perubahan secara radikal untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan prokeadilan.
Kasus Bank Century atau kasus konglomerat hitam adalah sebagian contoh yang hingga sekarang tidak bisa dituntaskan, bukan karena negara tidak mampu mengatasinya, tetapi memang ada problem struktural, yaitu negara menjadi bagian dari persoalan tersebut.
Akhirnya, kalau kita membiarkan kondisi negara terus-menerus menjadi konsumsi ekonomi-politik elite politik yang berkuasa dan diekspolitasi untuk kepentingan nonpublik, hampir dipastikan akan terjadi kebangrutan dan keterpurukan negara yang lebih dahsyat. Semoga tidak terjadi demikian!
Oleh: Syarief Makhya
Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung
(Sumber: Lampung Post,, 19 Mei 2011)