Menarik membaca headline Republika Senin, 25 April 2011, "Darurat Pornografi". Menarik karena fenomena ini begitu nyata. Begitu marak pornografi dalam segala bentuknya mengepung Indonesia dengan memakan korban yang tidak sedikit. Sisi menarik yang kedua, karena ternyata hanya Republika yang mengangkat isu ini. Alias bagi media massa lain dan khalayak luas isu ini nyaris terlupakan. Terbantai oleh hiruk pikuk Justin Bieber, bom dan terorisme, Liga Champions, kisruh PSSI, dan lain-lain.
Republika mengungkapkan bahwa selama 2010 Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memperoleh data korban anak dan korban pelaku anak sebanyak 40 kasus perkosaan dan kekerasan seksual yang dialami oleh anak setelah pelaku menonton video porno Ariel 'Peterpan'. Anak-anak yang menjadi korban berusia 4-12 tahun, sedangkan korban pelaku anak berusia 16-18 tahun. Sebelum memperkosa, para pelaku menonton video Ariel. Seluruh pelaku yang tertangkap mengaku terangsang setelah menyaksikan video itu.
Kasus yang lebih memprihatinkan adalah terjadinya pesta seks bocah usia 12 tahunan di Palembang yang terjadi pada Maret-April 2011 ini. Para bocah yang mengaku melakukan tindakan asusila secara berpasangan dan kemudian melakukannya pada bocah balita ini terpengaruh oleh tayangan pornografi yang mereka konsumsi di warung internet (warnet).
Inilah musibah akbar tersebut. Inilah darurat pornografi yang sebenarnya. Ketika bocah-bocah kecil lebih sibuk dengan warnet dan tayangan porno ketimbang buku pelajaran dan bermain bola. Ketika nama-nama bintang panas seperti Miyabi, Pamela Anderson, Rin Sakuragi, Vicky Vette, Sasha Grey, Tera Patrick, dan lain-lain lebih akrab di memori anak daripada figur-figur lain yang lebih santun.
Tidak sekadar anak. Pornografi telah lama masuk ke ruang publik, bahkan hingga ke gedung DPR. Tayangan di televisi hingga film pun tak sepenuhnya steril dari pornografi. Majalah dan koran, baik versi cetak maupun online masih banyak yang mengandung konten pornografi.
Dengan penelusuran sederhana melalui www.google.com/trends, di mana semua orang dapat melakukannya, tampak jelas bahwa hit-hit untuk konten porno tertentu memang dipimpin oleh para netters Indonesia. Sebagai contoh, hit untuk konten ber-keyword (kata kunci) 'sex video', 'porn video', 'porn star', 'miyabi', dan 'making love', didominasi oleh netters Indonesia.
Pada 2006, Indonesia adalah negeri berperingkat ketujuh sebagai pengakses situs pornografi. Di 2007 meningkat menjadi peringkat kelima. Kemudian, pada Juni 2008 menyodok ke peringkat tiga dunia. Menurut hasil riset yang dikemukakan Associated Press (AP), Indonesia saat ini merupakan surga pornografi nomor tiga di dunia setelah Rusia dan Swiss. Bahkan pada 2001, kepolisian Indonesia telah menerima pengaduan Kepolisian Federal Amerika Serikat akan adanya orang Indonesia yang mengoperasikan situs pornografi anak-anak terbesar di dunia.
Maka, layak sekali apabila Indonesia dinyatakan sebagai darurat pornografi. Kalau disetarakan dengan level kedaruratan bencana alam, maka dapat dikategorikan sebagai 'awas'. Bukan lagi 'siaga', apalagi 'waspada.'
Kedaruratan ini tidak banyak disadari oleh publik, termasuk juga kaum eksekutif dan legislatif. Darurat dipahami semata-mata sebagai ancaman terhadap negara dari sisi politik, ancaman dari sisi kedaulatan, dan ancaman fisik. Sedangkan, ancaman moral, psikis, sampai kerusakan otak pecandu pornografi tidak terlalu dianggap serius.
Kita masih menanti pernyataan pejabat publik yang menyatakan bahwa Indonesia tengah mengalami darurat pornografi. Kita juga masih menanti kebijakan dan aksi yang lebih konkret dari pejabat publik dalam memerangi pornografi. Jangan sampai fenomena darurat pornografi ini hanya direkognisi sedikit pihak.
Upaya memerangi pornografi takkan efektif tanpa partisipasi dari masyarakat luas. Sekarang, jangankan memerangi pornografi, produser perfilman malah mengundang bintang-bintang porno asing seperti Maria Ozawa, Rin Sakuragi, Tera Patrick, dan Sora Aoi untuk membintangi film-film horor Indonesia dan berkunjung ke Indonesia dalam rangka promosi filmnya.
Sama halnya dengan maraknya warnet yang amat tak terkendali. Banyak pelaku usaha tidak memfilter akses internet di warnetnya, bahkan tidak menanyakan usia pengunjung dan tidak membatasi pula jam bukanya. Banyak warnet yang buka 24 jam dan terserak sampai ke kampung-kampung, sehingga akses para bocah terhadap pornografi kian mudah.
Padahal di negeri jiran Filipina, utamanya di Kota Davao, Mindanao, ada peraturan kota yang secara jelas melarang warnet memberikan akses terhadap pornografi. Ada sanksi untuk pelanggaran terhadapnya. Kewenangan ini sebenarnya dimiliki pula oleh pemerintah dan pemerintah daerah di Indonesia berdasarkan UU No 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Sayangnya, belum banyak ditegakkan.
Masyarakat dan keluarga juga tak dapat lepas tangan sepenuhnya. Banyak pedagang yang membiarkan saja bocah-bocah membeli VCD/ DVD dewasa ataupun membeli majalah dan koran khusus dewasa atas nama mencari keuntungan sebesar-besarnya. Parahnya, pada banyak kasus, bahkan yang menjualnya juga adalah anak-anak.
Memerangi pornografi
Setelah meyakini status Indonesia sebagai darurat pornografi, tentunya ada sejumlah langkah yang mesti dilakukan. Hal yang utama adalah implementasi UU Pornografi secara konsisten. Memang, UU ini tak dapat dikatakan sempurna. Karena ia lahir melalui pergulatan yang alot bertahun-tahun antarbeberapa kelompok kepentingan, sehingga wajar apabila draf yang dipilih adalah draf jalan tengah demi mengakomodasi keinginan banyak pihak.
Kendati demikian, ada sejumlah amanat UU ini yang harus dipenuhi. Antara lain bahwa setiap orang berkewajiban melindungi anak dari pengaruh pornografi dan mencegah akses anak terhadap informasi pornografi (pasal 14). Lalu, pemerintah pusat dan daerah wajib melakukan pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi (pasal 17-19).
Juga, mandat untuk membentuk gugus tugas antardepartemen, kementerian, dan lembaga terkait yang ketentuannya diatur dengan peraturan presiden (pasal 42). Hingga kini, gugus tugas antardepartemen tersebut belum lagi terbentuk.
Langkah berikutnya, menjadikan gerakan menolak pornografi ini sebagai gerakan bersama. Menjadikannya tang gung jawab pemerintah, biro krasi, pelaku usaha, swasta, masyarakat sipil, hingga ko munitas lingkungan dan keluarga. Apabila sinergi ter sebut sulit terjadi, pikir kanlah tentang masa depan anak-anak Indonesia. Mari perangi pornografi sekarang juga!(*)
(*)Penulis: Heru Susetyo
Dosen Hukum Perlindungan Anak FHUI, Dewan Pendiri Masyarakat Tolak Pornografi
(Sumber: Koran Republika, 29 April 2011)
Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!