Dislokasi Politik

Monday, May 2, 2011

Dislokasi politik atau terlemparnya substansi politik dari kelembagaan politik kini mewarnai praktik demokrasi di Indonesia. Ini akibat dominannya prosedur dalam praktik politik.

Belum surut kekecewaan publik terhadap lembaga DPR terkait dengan berbagai dislokasi keterwakilan kepentingan publik, sebutlah

pengabaian dan sikap arogan Ketua DPR yang mengecilkan penderitaan korban bencana alam, penegasian tuntutan pembatalan pembangunan gedung baru, dan penghamburan uang rakyat untuk studi banding ke luar negeri, kini muncul soal baru. Keanggotaan dua anggota Dewan dari PKB, Lily Wahid dan Effendy Choirie, di partai dan DPR ditarik.

Berbagai dislokasi politik itu sungguh ironis, terjadi di tengah upaya pelembagaan demokrasi di Indonesia yang diharapkan telah memasuki masa konsolidasi demokrasi. Namun, jauh dari konsolidasi, berbagai kasus malah menunjukkan terjadinya krisis kelembagaan demokratis.

Pada kasus kedua anggota Dewan, sebagai aktor terpilih yang mewakili kepentingan publik/konstituen, penarikan justru dilakukan saat keduanya menjalankan demokrasi dalam arti sebenarnya, menggunakan hak dan kebebasan politik dalam soal yang sangat asasi dalam demokrasi, yaitu penggunaan hak bertanya/angket anggota Dewan. Maka, yang terjadi bukan hanya krisis kelembagaan, melainkan juga paradoks demokrasi.


Terlalu prosedural

Dislokasi politik semacam itu semestinya tak terjadi di alam demokrasi sekarang. Sebab, sistem demokrasi bekerja secara inklusif: mengakui perbedaan pandangan politik sebagai hal yang sah dalam demokrasi sebagai perwujudan etika politik demokrasi, kebebasan, dan kesetaraan bagi semua (Mouffe, 2006).

Masih kuatnya negasi terhadap perbedaan pandangan politik dan kepentingan publik/konstituen itu mencerminkan, demokrasi di Indonesia belum menuju ke demokrasi plural yang ideal. Sebaliknya, demokrasi justru terjebak dalam prosedural politik.

Demokrasi prosedural atau liberal agregatif sebagaimana dipraktikkan di Indonesia sekarang mengandaikan, keterwakilan kepentingan publik dengan sendirinya akan berlangsung ketika kontrak sosial diwujudkan dalam pembentukan hukum dan peraturan sebagai kehendak bersama kepentingan publik.

Pengandaian ini problematik karena mengejawantahkan kehendak bersama ke dalam hukum dan perundangan membuat politik berubah bentuk menjadi sekumpulan prosedur hukum dan peraturan. Reinkarnasi politik ke dalam hukum dan peraturan menjadikan praktik politik dan kekuasaan kehilangan dimensi yang komunikatif menjadi sekadar politik otoritatif yang menjalankan prosedur hukum dan peraturan.
Menguatnya pola proseduralisme dalam praktik demokrasi di Indonesia telah banyak mendistorsi demokratisasi. Prosedur ini telah mendominasi penyelenggaraan pemilu, menimbulkan pendangkalan komunikasi politik dan kualitas demokrasi. Tidak mengherankan bila pemilu banyak diwarnai prosedur dan pesta politik uang.

Tak hanya sampai di situ, pendangkalan juga terjadi dalam memaknai suara politik yang diperoleh bukan sebagai suara aspirasi politik, melainkan hanya soal jumlah angka dan sah tidaknya suara menurut hukum dan peraturan. Dalam kasus pilkada, misalnya, seperti dikemukakan Ketua Mahkamah Konstitusi, lebih dari 50 persen hasil pilkada diputuskan oleh MK karena terjadi sengketa terkait dengan perhitungan suara, penyimpangan prosedur, jumlah suara cacat, dan politik uang.

Selain mendegradasi kualitas demokrasi, proses pemilu demikian juga menghasilkan keterwakilan politik yang timpang. Aktor dan agen terpilih yang seharusnya mewakili kepentingan publik/konstituen menjadi tidak jelas sesungguhnya mewakili siapa dan kepentingan apa. Demikian pula sebaliknya, konstituen pun menjadi tidak jelas siapa saja sesungguhnya wakil kepentingan mereka.


Pelembagaan 

Proseduralisme politik ini menimbulkan krisis keterwakilan kepentingan publik/konstituen di tubuh partai politik dan lembaga Dewan. Kedudukan mereka yang dipilih oleh rakyat pun sangat rentan. Apalagi, partai politik dan lembaga Dewan telah berubah bentuk menjadi organisasi korporasi yang melayani kepentingannya sendiri.

Pelembagaan demokrasi penting dilakukan dalam konteks ini, bukan dengan penguatan kelembagaan dalam arti organisasi seperti dipikirkan banyak kalangan mengikuti logika demokrasi prosedural agregatif, melainkan lebih dalam arti mengisi kesenjangan politik akibat dislokasi dengan memperbaiki kualitas kelembagaan politik representasi, seperti dikemukakan Slavoj Zizek (2005) dan psikoanalis politik Jaques Lacan,
Dari sudut ini pelembagaan demokrasi perlu lebih diarahkan pada peningkatan kapasitas kelembagaan demokrasi yang merepresentasikan kepentingan publik/konstituen. Hal itu penting tidak hanya untuk memperkuat kedudukan aktor-aktor terpilih dan agensi-agensi yang mewakili kepentingan konstituen/publik agar keanggotaannya tidak mudah terlempar dari tubuh partai dan Dewan, tetapi juga untuk perbaikan muatan-muatan substansi politik yang bisa merepresentasikan kepentingan publik/konstituen.

Penulis: Lambang Trijono
Dosen Fisipol UGM

(Sumber: Kompas, Senin 2 Mei 2011)
Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!