Dicari, Gubernur Ahli Kesehatan Jiwa

Thursday, May 5, 2011

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan tahun 2007, diketahui bahwa 11,6% penduduk Indonesia usia di atas 15 tahun mengalami masalah gangguan kesehatan jiwa.

Prevalensi nasional gangguan jiwa ansietas dan depresi sebesar 11,6% populasi (24.708.000 orang) dan prevalensi nasional gangguan jiwa berat sebesar 0,46% (1.065.000 orang). Gangguan jiwa dapat memengaruhi semua orang tentunya, mulai dari anak, remaja, usia lanjut, orang kaya, orang miskin, orang kota,dan orang desa. Gangguan jiwa yang banyak dijumpai di masyarakat begitu variatif, seperti skizofrenia, gangguan bipolar, depresi, gangguan cemas dan panik, gangguan ketergantungan zat, alkohol, dan rokok, gangguan kesehatan jiwa anak dan remaja (autisme, gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktif), dan lain-lain.

Orang dengan masalah kejiwaan (ODMK) bisa diobati di puskesmas, RSUD, RS Jiwa, dan dibantu oleh peran serta masyarakat (kader, tokoh agama, tokoh masyarakat) serta pemberdayaan keluarga yang dapat meningkatkan kualitas hidup penderita. ODMK juga dapat berfungsi seperti sedia kala dan tidak harus dikucilkan atau dipasung sebagai bentuk dari pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM). Lantas, bagaimana dengan tingkat kesehatan jiwa di DKI Jakarta? Menurut Riskesdas 2007, prevalensi gangguan mental emosional (ansietas dan depresi) menduduki peringkat kedua nasional sebesar 14,1% (763.794 orang) dan gangguan jiwa berat menduduki peringkat pertama secara nasional sebesar 2,03% (124.590 orang).

Sebanyak 10% dari penderita gangguan jiwa berat membutuhkan perawatan di institusi atau sekitar 12.459 orang, sementara jumlah tempat tidur yang tersedia di rumah sakit tidak mencapai 1.000. Dengan melihat "prestasi puncak"DKI Jakarta dalam hal prevalensi gangguan jiwa, akankah muncul sosok gubernur empatik yang pada akhirnya paham kebutuhan mendesak untuk segera menjadikan DKI Jakarta sebagai kota people-friendly atau kota ramah manusia?


Problem kronis Ibu Kota

DKI Jakarta mempunyai luas wilayah ± 650 km2, termasuk wilayah daratan Kepulauan Seribu yang tersebar di teluk Jakarta. Berdasarkan Pasal 6 UU No 5/1974 dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 25 Tahun 1978, wilayah DKI Jakarta dibagi dalam lima wilayah kota yang setingkat dengan Kota Madya Daerah Tingkat II dan berada langsung di bawah DKI Jakarta yang terdiri dari 30 kecamatan dan 236 Kelurahan. B e rd a s a rkan hasil Sensus Penduduk 2010, penduduk DKI Jakarta berjumlah 9.588.198 jiwa.Wilayah metropolitan Jakarta (Jabotabek) yang berpenduduk sekitar 23 juta jiwa merupakan metropolitan terbesar di Indonesia atau urutan keenam dunia.

Sedangkan jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan di DKI Jakarta pada bulan Maret 2010 sebesar 312.180 (3,48%). Rasio luas wilayah dan jumlah penduduk disertai tingkat pluralitas yang sangat tinggi dengan beragam suku, etnis, agama, dan kelompok, mengakibatkan tingkat permasalahan sosial menjadi sangat kompleks. Apalagi, Jakarta yang menguasai mayoritas perputaran uang di Indonesia dan juga sebagai Ibu Kota dan pusat pemerintahan yang memiliki daya tarik dan fasilitas jauh lebih memadai dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia, semakin mengundang orang berbondongbondong datang ke kota ini.

Agak sulit untuk merunut, mana sebenarnya problem dan mana sebenarnya dampak dari problem kronis di DKI Jakarta. Kita sebutkan saja, kompleksitas permasalahan di DKI Jakarta di antaranya mencakup: 1) tingginya tingkat kemacetan, 2) seringnya terjadi banjir, 3) tingginya kerawanan sosial, 4) tingginya polusi, 5) terjadinya ledakan penduduk yang sangat besar, 6) potensi konflik yang cukup tinggi seperti tawuran antar pelajar atau antar masyarakat, dan 7) banyaknya jumlah Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) seperti anak jalanan, gelandangan, pengemis, dan lain sebagainya.

Banyak pakar membahas tentang problem DKI Jakarta, tetapi rasanya belum ada penelitian ilmiah tentang dampak kompleksitas problem DKI Jakarta terhadap kesehatan jiwa penduduknya. Macet menjadi salah satu tren alasan klasik kenapa warga Jakarta tidak produktif, sering terlambat, uring-uringan, dan sering ingin mengamuk saat tiba di lokasi kegiatan. Terkait kemacetan, warga Jakarta tidak selalu perlu berkecil hati dan masih bisa berharap ada perbaikan drastis. Kota besar seperti Moskow, Rusia, yang sudah mempunyai kereta bawah tanah dan sistem kereta api yang efisien, tetap mempunyai pemandangan jalan yang samasama membuat frustrasi para pemakai jalanan.Di Moskow terdapat 4,5 juta mobil, yang mana 3,7 jutanya beredar pada siang hari.

Jalanan lebar menghampar,tetapi tetap saja macet karena jalanan berfungsi juga sebagai tempat parkir tak bertuan akibat peralihan dari era komunis. Selain apartemen, tidak ada sarana parkir,juga mobil-mobil di sana sangat dekil,bahkan plat mobil tidak terlihat karena diselaputi debu tebal akibat tidak ada tukang pencuci mobil seperti yang menjamur di Jakarta. Konon biaya kemacetan di Jakarta diperkirakan mencapai Rp46 triliun per tahun tetapi layak juga dipertanyakan seberapa besar kontribusi dampak macet terhadap tingginya prevalensi gangguan jiwa di DKI Jakarta ini?


Rentan gangguan jiwa

Jumlah pendatang baru yang memasuki Jakarta pasca-Lebaran 2010 diperkirakan 60.000 orang,pertambahan penduduk Jakartaadalah1,4% atausekitar 135.000 penduduk per tahun. Tingkat urbanisasi dan tingkat pertumbuhan pen-duduk yang tinggi berdampak pada munculnya permasalahan-permasalahan sosial seperti permukiman kumuh, pengangguran, pengamen, anak jalanan, gelandangan, pengemis dan kaum miskin kota lainnya, serta tingkat kriminalitas yang tinggi.

Berdasarkan data dari Kementerian Sosial RI, saat ini di Jakarta terdapat sekitar 12.500 penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) yang terdiri dari 6.500 gelandangan dan pengemis, dan 6.000 anak jalanan. Banyaknya anak jalanan terkait langsung dengan masih tingginya angka kemiskinan, berkembangnya pragmatisme di kalangan anak-anak, dan adanya pihak-pihak yang melakukan eksploitasi terhadap anak untuk kepentingan ekonomi. Kondisi ini potensial untuk menimbulkan problem gangguan kesehatan jiwa anak dan remaja, juga gangguan ketergantungan zat, alkohol, dan rokok.

DKI Jakarta juga masih sering dihiasi dengan pemandangan tidak sedap dan tidak manusiawi. Contohnya, gelandangan yang kemudian diketahui sebagai pasien psikotik telantar karena perilakunya yang tidak wajar, seperti telanjang di pinggir jalan, menimpuki mobil lalu lalang dengan batu, dan lain-lain. Seharusnya mereka yang menjalankan rehabilitasi eks psikotik dan psikotik terlantar menjadi tupoksi dari Dinas Sosial. Sementara di seluruh Indonesia,Kementerian Sosial hanya mempunyai tiga panti psikotik, yaitu di Sukabumi, Banjarmasin,dan Bengkulu. Pemprov DKI Jakarta memiliki empat panti yang bekerja sama dengan rumah sakit jiwa untuk problem kejiwaan dan puskesmas untuk problem medisnya.

Termasuk, dalam upaya untuk menghapus kasus pasung di DKI Jakarta, apalagi karena tidak mampu berobat, bisa dikirim ke rumah sakit untuk mendapatkan pelayanan Jamkesmas. Merupakan sebuah prestasi apabila para ODMK tidak tereliminasi haknya dari jaminan kesehatan sebagaimana negara Jepang dan lain-lain yang memasukkan jaminan kesehatan jiwa dalam perlindungan kesehatan semesta (universal coverage). Riskesdas gangguan jiwa akan diulang pada tahun 2012. Dengan pemetaan baru problem gangguan jiwa, maka warga DKI Jakarta harus memilih calon Gubernur DKI Jakarta yang mempunyai solusi peningkatan taraf kesehatan jiwa sebagai salah satu indikator kapasitas gubernur yang layak dipilih.

Warga DKI Jakarta ingin pemimpin yang memiliki visi (cita-cita) jauh ke depan tentang sebuah kota yang peoplefriendly atau ramah manusia. DKI Jakarta harus dipimpin sosok gubernur yang memiliki kapasitas dan integritas minimal satu tingkat di bawah presiden.(*)

(*) Penulis:
Dr Nova Riyanti Yusuf, SpKJ
Anggota DPR RI Komisi IX Fraksi Partai Demokrat


(Sumber: Seputar Indonesia, 2 Mei 2011)
Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!