Pengirim | Dian Agung Wicaksono |
Pilkada untuk Siapa? | |
Democracy as a mechanism for institutionalizing the general will, as the best available system for managing power relations among people who disagree about the nature of the common good. Ian Saphiro dalam The State of Democratic Theory memberikan penekanan demokrasi adalah cara untuk membentuk kehendak umum sebagai sistem yang mengelola masyarakat untuk menuju kepentingan bersama, bahkan mampu merangkul perbedaan untuk menciptakan kesejahteraan bersama. Berangkat dari pemikiran tersebut, dalam konteks demokrasi di daerah yang berkaca dari desain konstitusi dalam Pasal 18 Ayat (4) secara jelas menyatakan bahwa gubernur, bupati, dan wali kota dipilih secara demokratis. Demokratis tidak dapat diartikan lain bahwa democracy means many things to many people. Maksudnya adalah demokratis hanya dapat dimaknai dalam dua arti, yaitu demokrasi langsung dan demokrasi tidak langsung, yang keduanya melibatkan rakyat dalam prosesnya. Hal ini senada dengan perdebatan the second framers of constitution dalam Rapat Panitia Ad Hoc MPR yang dengan sengaja memberikan ruang bagi para legislator untuk memilih legal policy yang tepat dalam menerjemahkan norma demokratis dalam konstitusi. Maka, bermimpi untuk melakukan penunjukan langsung bupati/wali kota oleh gubernur dengan dalih gubernur sebagai perpanjangan tangan Pemerintah Pusat di daerah (Tajuk, [21-03]) adalah sebuah kemustahilan. Makna norma demokratis hanya mampu diterjemahkan dengan cara (1) pilkada yang sedang diterapkan saat ini, atau (2) pemilihan bupati/wali kota oleh DPRD. Selain dari kedua makna tersebut, sebenarnya tidak cara lain yang memungkinkan untuk dilakukan kecuali perubahan konstitusi. Jika perubahan konstitusi dilakukan, berarti secara tidak disadari kembali membuka kotak Pandora yang sejak dahulu menjadi perdebatan abadi terkait dengan dasar negara. Pun alternatif kedua dipilih, diperlukan penyesuaian peraturan perundang-undangan untuk mendukung berjalannya mekanisme tersebut. Saat ini sebenarnya yang perlu dipikirkan adalah bagaimana melakukan electoral engineering pilkada sehingga mampu menciptakan pilkada yang hemat, niranarkisme, nirkonflik, dan efektif. Demokrasi memang mahal, tapi jika dari demokrasi tersebut menghasilkan pemimpin yang mampu menyejahterakan rakyat, tentu biaya tersebut akan terbayar lunas. Salah satu terobosan yang harus mulai dipikirkan adalah dengan melaksanakan pilkada secara concurrent election. Maksudnya dengan melangsungkan pilkada yang serentak (coincidence) antara pilgub, pilbup dan pemilihan wali kota dalam satu provinsi. Tujuan dari mekanisme tersebut selain menghemat biaya tangible, seperti finansial untuk logistik, pengamanan, dan honorarium panitia, tetapi juga berdampak pada hal intangible, seperti psikologis masyarakat, sehingga tidak terlalu lama tidak dilayani karena para elite daerah sibuk berkontestasi. Selain itu, jika (dan hanya jika) koalisi partai politik di level nasional mampu dibangun secara holistik dari pusat sampai ke daerah, penerapan concurrent election membuat kecenderungan terpilihnya partai politik berkuasa yang memiliki kebijakan populis untuk rakyat akan terpilih pula di pilkada, karena harapan rakyat adalah adanya kebijakan yang berkelanjutan bukan saja di tingkat nasional, melainkan juga di tingkat lokal. Jika kepala daerah akhirnya berangkat dari koalisi partai politik yang sama, akan meminimalisasi pula adanya ketidakpatuhan antara bupati/wali kota dan gubernur seperti yang sekarang biasa terjadi. Dengan sinergi antara kerja bupati/wali kota dan gubernur, akan berdampak pula pada kebijakan dan regulasi daerah yang dihasilkan. Maka, permasalahan perda yang saling bertentangan antara kabupaten/kota dan provinsi dapat direduksi dengan sendirinya. Pilkada hadir selain dalam rangka perbaikan kehidupan demokrasi di Indonesia, tentu juga sebagai upaya untuk menyejahterakan rakyat daerah. Dengan logika bahwa kepala daerah yang terpilih yang sesuai dengan kehendak rakyat daerah tentu akan lebih memahami kebutuhan daerah dan keinginan rakyat daerah. Dengan rasio tersebut, pilkada harus dimaknai sebagai sebuah pemikiran ideal untuk mengembangkan daerah sesuai dengan potensinya. Pun, saat ini muncul banyak permasalahan terkait dengan pilkada. Maka diperlukan pemikiran cerdas untuk membuat terobosan hukum yang mampu menyelesaikan dan menjawab masalah tersebut. Legal engineering diperlukan sebagai upaya untuk menjawab kemungkinan-kemungkinan terburuk yang terjadi dalam kehidupan bernegara, karena substansi dari legal knowledge engineering has become an analytical approach that's helps to improve legal quality. Maka, terobosan menerapkan concurrent election dibarengi dengan perbaikan desain koalisi merupakan sebuah titik tolak untuk lebih menasbihkan pilkada yang sejatinya memang untuk rakyat. Daripada sibuk mencaci kegelapan, lebih baik mulai menyalakan lilin untuk mencari cahaya.(*) (*)Dian Agung Wicaksono | Dosen dan Pengamat Hukum Tata Negara (Tulisan ini pernah dimuat pada Lampung Post, 30 Maret 2011) |
Powered by EmailMeForm