A. Perselisihan Cara Pandang.
Perubahan fundamental telah terjadi dalam masyarakat Indonesia, berbagai persoalan muncul, merupakan impilikasi dari berbagai proses sosial yang terjadi sejalan dengan perubahan konteks masyarakat (sangat cepat) yang orientasi globalnya telah memunculkan tatanan nilai dan sosial baru, misalnya menyangkut hilangnya instink komunitas secara meluas; dari hilangnya rasa memiliki sekelompok orang terhadap sebuah negara bangsa, hilangnya ikatan atau solidaritas komunal, hingga hilangnya ketaatan pada sistem sosial dan normatif yang berlaku. (Irwan Abdullah, KOMPAS, 28 Juni 2000). Tindakan kekerasan menjadi ciri khas, institusi kehakiman di ambil alih oleh masyarakat dengan cara menghukum sendiri pelaku suatu tindakan dalam berbagai bentuk seperti aksi-aksi brutal. Meski dapat di analisa sebagai bentuk akumulasi dari ketidak puasan terhadap model-model atau cara menegakkan keadilan yang telah sangat lama bersifat represif, kuno dan tidak peka terhadap perkembangan sosial, menunjukan selama ini hukum telah terisolasi dari realita sosial dan dari tujuan keadilan itu sendiri (Nonet, Selznick, 1978 ; 1).
Masalah di atas tidak dapat dilepaskan dari berlarutnya banyak persoalan, salah satunya adalah perdebatan teoretik yang berkepanjangan serta kecurigaan yang ditunjukan penganut hukum tradisional terhadap para sosiolog (sosiologi hukum) bahkan menjurus kearah Argumentum ad Hominen, membentuk sifat bar-bar intelektual ( Peter L Berger, 1985; 21 ), yang menurut Habermas melahirkan perilaku "Scientisme". (Hubert Rottleuthner, 1987; 18 ) Sebagai contoh timbulnya reaksi keras dan berlebihan, terhadap hasil-hasil penelitian Baldwin dan Conwille, mengenai jalannya pengadilan di Birmingham. (Adam Podgorecki, Christopher J. Whelan, 1987 ; 5). Kecurigaan mengenai "sebab" dan "penyebab" misalnya orang hukum berpendapat hukum bukanlah sebagai suatu penyebab gejala sosial, sebaliknya orang sosial beranggapan bahwa hukum sebagai sesuatu penyebab gejala sosial. Perbedaan itu akan bertambah jelas apabila menyimak pernyataan Aubert "bahwa seorang ahli hukum akan selalu berbicara tentang tujuan-tujuan normatif, akan tetapi seorang ahli sosiologi apabila berbicara sesuatu selalu bertujuan untuk mengungkapkan, menguraikan dan menjelaskan (Aubert, 1969 ; 9), (Adam Podgorecki, C.J Whelan, 1987 ; 265). tetapi itu tidak menggambarkan bahwa sosiologi berada di atas kemampuan hukum dalam mencermati fenomena tertentu, apa yang dikemukakan Nonet perlu juga menjadi bahan kajian bahwa "Apapun juga yang telah dilakukan oleh para ahli sosiologi untuk memahami sistem hukum secara realistik, semuanya itu tidak dapat menutup-nutupi kegagalan mereka memberikan suatu teori yang dapat menjelaskan ciri khas hukum" (Selznick, 1968 ; 50).
Tidak dapat dipungkiri, di Indonesia perselisihan yang kurang sehat telah membawa konsekuensi hilangnya kemampuan untuk melihat, keinginan untuk membaca (memberi makna) realitas hukum yang oleh Kuntowijoyo digambarkan tengah menjalani masa-masa kritis, yakni adanya gejala anomie atau penyimpangan dan alineasi. Anomie menunjukan kepada situasi tiadanya norma, dan ini akan semakin meluas apabila keadilan sosial tidak terwujud (Saratri Wilonoyudho, Kota yang Anarkhis, KOMPAS, 18 Juli 2000; 4).
Ruang hukum menjadi sempit, terjepit oleh berbagai kepentingan dan berbagai usaha untuk mengembalikan tugas hukum dalam masyarakat, akibatnya hukum yang benar hanya berada di awang-awang dan tidak pernah turun ke bumi, sementara yang mengobrak-abrik bumi adalah hukum yang formal, kaku, sempit, dan totaliter. kekeliruan membaca hukum Indonesia dengan kacamata Kapitalis, Liberalime sampai peninggalan kolonial yang sudah busuk. Sudah harus disadari, hukum Indonesia merupakan refleksi dari masyarakat, yaitu masyarakat Indonesia.
Percepatan perubahan membawa gelombang besar demokratisasi dan segala yang berbau global. Munculnya paradigma baru dalam hukum sekaligus mengandung tuntutan untuk merevisi paradigma lama. Paradigma baru harus memandang arena global sebagai jalan menuju terciptanya penegakkan keadilan bagi masyarakat. Dalam pandangan demikian peran negara menjadi terbatas (mengecil), dan peran masyarakat semakin dominan. Masyarakat memiliki kekuatan, dapat berdiri sendiri dan bebas dari intervensi berlebihan dari negara serta dapat ikut serta melakukan kontrol terhadap negara (Masykuri Abdillah, KOMPAS, 18 Juli 2000 ; 4), meski memunculkan dilema yakni keterlibatan negara dalam mengatur urusan-urusan masyarakat/rakyat dengan keinginan agar masyarakat mandiri dalam mengatur urusan-urusan mereka sendiri, namun dalam taraf awal konfigurasi itu memunculkan harapan dan sekaligus tantangan.
B. Hukum dalam Percepatan Perubahan Sosial
Paul Vrilio mengemukakan, saat ini dunia tengah mengalami percepatan yang luar biasa, menurutnya kecepatan menjadi ciri kemajuan sehingga ia membentuk kemajuan-kemajuan dalam tempo tinggi (Paul Vrilio, 1986 ; 46), dalam hal ini bagi Vrilio revolusi industri hakekatnya tak lebih dari revolusi dromokratik - revolusi kecepatan; demokrasi tidak lebih dari dromokrasi - demos dan kratia, artinya pemerintahan di mana kekuasaan tertinggi terletak pada kecepatan (Ibid). Semua serba cepat, instan, masyarakat menjadi bagian percepatan dan percepatan itu sendiri, akibatnya perubahan tidak dapat didekteksi, para futurolog sudah tidak dapat meramalkan masa depan sebab masa depan selalu membawa sesuatu yang mengejutkan. Oleh karena itu kompleksitas dunia begitu besar, segala ramalan dan proyeksi belum tentu benar (ST Sularto, KOMPAS 28 Juni 2000; 64).
Tidak hanya kekuasaan pengetahuan (Knowing power) akan tetapi juga kekuasaan pergerakan (moving power) yang telah membawa kemajuan pesat pada gelombang kapitalisme yang kini mengglobal. Peringkasan jarak/waktu lewat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi sebuah realitas strategis yang menimbulkan konsekuensi-konsekuensi sosial (termasuk hukum), ekonomi dan politis yang besar, sebab ia berkaitan dengan penolakan dan dekonstruksi ruang. Solzhenitsyn, menyimpulkan bahwa pada masa itu, akan terjadi ‘’The Victory of technological Civilization has also instilled a spiritual insecurity in us. Its Gifts enrich, but enslave us as well ". Kemenangan dari Peradaban teknologi juga telah menciptakan kecemasan spiritual, teknologi memang memperkaya kita, tetapi sekaligus juga memperbudak kita. ( Bondan Winarno, KOMPAS , 28 Juni 2000 ; 67). Pengetahuan dan kemampuan manusia terus berkembang menuju kesempurnaan. Mulai dari abad ke 18 perkembangan mengalami kemajuan yang luar biasa. Revolusi industri merupakan titik berangkat dari semua perkembangan dan kemajuan yang dialami dalam peradaban manusia hingga saat ini, akan tetapi perkembangan dan kemajuan hanya dibidang peradaban teknologi (technological civilization).
Samuel Huntington, menjelaskan, pada kondisi demikian maka akan terjadi apa yang disebutnya sebagai konflik peradaban (civilization Konflik). Membentuk Pardoks perilaku masyarakat, sementara masyarakat desa dan pinggiran menonton MTV, Film-film Hollywood, di Perkotaan justru muncul gerakan-gerakan menentang Barat-isme, yang mencoba melawan arus peradaban. Pembangunan wisata telah membantu gadis-gadis pedesaan memakai rok mini dan baju ketat yang mempertontonkan pusar, sementara pemuda desa terus belajar berkelahi ala James Bond, atau gaya mafia Itali. Paradoks perilaku masyarakat Tongkrongan Global tapi paradigma Lokal.
Perubahan dengan kecepatan tinggi hadir disekeliling kita, mulai dari mega strategi politik, taktik makro dan mikro ekonomi, trik-trik simulasi media massa dan industri tontonan, sampai pada persaingan geosrtategi ruang perkotaan, pembangunan ekonomi (industri, komersial, perumahan), dibutuhkan tidak saja kecepatan dan percepatan tetapi juga teror (ancaman, intimidasi dan paksaan) dan deteritorialisasi dengan alibinya demi percepatan pertumbuhan (modal, perkotaan). Perubahan tidak terjadi sampai disana, tetapi terus berlangsung, hancurnya perekonomian, kondisi sosial politik tidak kunjung membaik yang dipicu ketidak siapan masyarakat menghadapi perubahan dan percepatan.
Pertumbuhan ekonomi masa lalu yang selalu di banggakan diiringi oleh tingginya arus konsumsi, diera kehancuran saat ini hanya menyisakan limbah yaitu "Konsumerisme". Dalam kondisi demikian pernyataan Filosofis Cartesian yang masih melekat pada Hegel dan Marx, "Aku berfikir, karenanya Aku Ada" semakin kehilangan maknanya, disebabkan kenyataan sosial yang berkembang, yang dapat dijelaskan lewat pernyataan "Aku mengkonsumsi, karenannya Aku Ada". Disini subjek menginternalisasikan nilai-nilai sosial, budaya objek-objek melalui tindakan konsumsi. Konsumsi sebagai satu sistem diferensiasi, yaitu sistem pembentukan perbedaan-perbedaan status, simbol dan prestise sosial. (Yasraf Amir Piliang, 1998; 249).
Percepatan dalam Perubahan sosial telah melahirkan segala sesuatu mudah usang, bagi hukum yang selama ini dibangun melalui paradigma kekuasaan pengaruhnya begitu luar biasa. Pembangunan hukum yang selama ini menitik beratkan kepada apa yang disebut dengan "perundang-undangan mania" sudah berakhir, berakhir artinya Eksistensinya tidak mencukupi untuk essensinya ( Jean Baudrillard, 2000; 9), Eksistensi melulu undang-undang sudah tidak mampu lagi mengatur essensi dari penegakkan hukum. Sistem penegakkan hukum lama sudah mulai tidak populer, karena penegak hukum tidak pernah tahu dimana sebenarnya mereka berada, sistem yang berbelit karena Hyperegulated (terlalu banyak aturan) serta kerumitan yang membias menimbulkan perbudakan (penegak hukum menjadi budak) sebagai bagian dari gesekan-gesekan ekonomi dan politik yang selama ini mendominasi. Menimbulkan ketidak pastian hukum, memunculkan "Trasvestisme" (Transvestites; Banci mis. Kaum waria) akibatnya penegakkan keadilan dan hukum menjadi kabur serta tidak jelas dan setengah hati. Kondisi dimana hukum tengah menggali lubang bagi kuburannya sendiri.
Sesuatu yang menarik dari perubahan yang serba cepat itu terdongkraknya pola pikir masyarakat yang di aktualisasikan dalam perilaku. Rakyat kecil biasanya menjadi korban dari penindasan, mulai bangkit dan melakukan grilya melawan penguasa, perubahan pemikiran dan dipicu oleh kondisi sosial, ekonomi, politik serta tuntutan akan kehidupan yang lebih baik, maka mulailah masyarakat "menguasai jalan". Timbulnya model pergerakan (ikatan solidaritas) terhadap ketidak adilan dan penegakkan hukum yang bias menunjukan semacam "lunturnya (bahkan hilang) kepercayaan masyarakat terhadap hukum". Perebutan interpretasi terjadi, antara penegak hukum (negara, pemerintah dan lembaga-lembaga penegakkan hukum) dengan masyarakat (barangkali bisa digambarkan dalam teori Marx mengenai perjuangan Buruh) dan masyarakat secara perlahan-lahan mulai "mengambil alih penafsiran", secara gamblang Satjipto Rahardjo menyebutnya sebagai "Era Hukum Rakyat" (Satjipto Rahardjo, KOMPAS 1999 ), masyarakat mulai menguasai jalan, dalam term ini berlaku apa yang di sebut oleh Joseph Goebel " siapa menguasai jalan dia menguasai dunia" (Paul Vrilio, 1986; 4). Percepatan perubahan bergerak diantara humanis, radikal, bahkan anarkis, disertai kejutan-kejutan.
C. Hukum di Antara Mitos, dan Re-Interpretasi.
Mitos bukanya tidak logis sebagai mana dalam konsepsi Modernis . Sebagai hasil konstruksi akal budi mitos perlu didekati atau dibaca (dimaknai) dengan cara tertentu. Bagi akal budi kritis mitos memang bertentangan dengan tujuannya membangun cara berfikir akademis. ( Tommy F Awuy, KOMPAS 28 Juni 2000 ; 71). Mitos memiliki arti penting dia bukanlah sekedar legenda mengenai asal-usul terjadinya segala sesuatu dan ceritera tentang kesaktian para dewa-dewi atau para leluhur. Mitos membentuk cara berada manusia. Para filsuf yunani Kuno sangat yakin bahwa dengan filsafat, manusia baru menemukan peradaban agung secara revolusioner sebagaimana Socrates dan Plato membuang mitos. Namun demikian Mitos tidak serta merta berhenti sampai disana ia terus memikat dan bertambah kaya pengertiannya. Mitos bisa diartikan sebagai upaya rasio untuk keluar dari keterbatasan pengetahuannya atas dunia benda-benda dengan membangun narasi secara spekulatif. Metafisika dalam hal ini tidak berbeda dengan mitos.
Diera Percepatan Perubahan sosial "Hukum merupakan Mitos". Dibangun dari idiologi, idealisme akan tujuan yang hendak dicapai, dibarengi pergerakan yang sulit dideteksi. Jargon ilmiah masih merupakan kata kunci, penegakkan hukum, keadilan, ketertiban, peranan hukum dalam masyarakat dan pembangunan, fungsinya sebagai "alat" pembaharuan sampai kepada tujuan memperjuangkan hak-hak rakyat kecil, menunjukan betapa penting mitos dan hukum merupakan dunia mitos. Mitos telah memperkokoh eksistensi hukum dalam masyarakat, bergerak dengan harapan akan masa depan hukum yang lebih baik, karena bagi masyarakat mitos merupakan inti kehidupan.
Biasnya fungsi hukum (steril), dipicu oleh pemahaman hukum masyarakat yang semakin meningkat menunjukan terjadi distorsi mengenai ide hukum yang berpola kepada mitos dan jargon-jargon sempurna dengan realita sosial. Penegakkan hukum masa lalu yang selalu dari atas mendominasi dan memonopoli sistem hukum, memunculkan banyak istilah, matinya kreatifitas, budaya minta petunjuk (yang sampai saat ini sulit dihilangkan), koersif, dan banyak hal lain yang menggambarkan iklim hukum jauh dari kondusif.
Masyarakat yang mengalami kegandrungan reformasi dan perubahan pola pikir (sebagai akibat percepatan dan globalisasi) mulai menuntut, menggugat tugas hukum (Task of Law). Pemahaman mengenai peranan dan fungsi masyarakat dalam pembangunan memunculkan tuntutan pemberdayaan masyarakat yang populer dengan istilah Masyarakat Madani (Civil Society), yaitu sebuah gerakan pembebasan (Nurcholish Madjid, KOMPAS 28 Juni 2000; 41), dalam tataran ini hukum bergerak dari bawah, dengan harapan mampu mendongkrak daya kerja hukum sebagai sistem (kerja) yang dapat diandalkan untuk mewujudkan idea (tujuan hukum) dengan realita dalam satu garis (hukum yang membumi). Masyarakat, kaum intelektual, para reformis berada dalam dua dunia yang saling berkaitan, idealisme dan kenyataan, adanya kerinduan untuk membangun dan membentuk mentalitas para penegak hukum, menciptakan hukum yang kondusif, penyediaan sarana dan prasarana merupakan gambaran yang terus menghidupkan identitas hukum bahwa penegakkan hukum, keadilan, kepastian hukum bukan semata ceritera legenda mengenai kayangan dan dewa- dewi.
Namun hukum tidak kunjung memberikan jawaban, pembebasan masyarakat yang selama ini hadir kemudian membentuk "liberation of desire " (pelepasan gejolak hasrat kolektif masyarakat), yang diekspresikan melalui berbagai bentuk tindakan kolektif, mulai pembebasan daerah dari pusat (tuntutan merdeka), pembebasan buruh dari eksploitasi majikan (pembakaran pabrik) , pembebasan pers dari tirani negara (eforia pers), pembebasan rakyat dari represi militer (pembakaran kantor polisi, penyerangan terhadap tentara), pembebasan rakyat dari jaringan kejahatan (pembakaran pencuri, penyiksaan perampok), dan pembebasan rakyat dari jaring-jaring kemaksiatan (penghancuran tempat hiburan), yang menjelma menjadi sebuah "ektasi kekerasan sosial". ( Yasraf Amir Piliang, KOMPAS 20 Juli 2000; 4). Masyarakat mengalami chaos, kondisi hilangnya keteraturan dan unpredictable, perepektif ini disebut dengan "the negative chaos" (yaitu chaos yang merusak).
Dunia modern merupakan sebuah proyek yang mandeg karena tidak mampu menjelaskan fenomena kontemporer yang disebut sebagai hiperealita. Kegagalannya terletak pada rasio itu sendiri yang kehilangan daya spekulatif untuk meyakinkan prinsip utama di luar teks tersebut. Namun dunia modern menghasilkan pengetahuan tertentu secara sangat signifikan. Bahwa upayanya membangun sebuah dunia pengetahuan kritis secara netral ternyata menghasilkan suatu relasi dengan kekuasaan justru ketika ia mengambil posisi untuk melenyapkan atau memarjinalkan mitos, jadi pengetahuan kritis dan netral itu adalah mitos. Yang menjadi kekeliruannya justru selama ini mitos-mitos hukum hanya semacam lip service, berupaya mempertontonkan teater panggung gembira bagi masyarakat. Keinginan untuk membentuk hukum yang beradab, hukum yang manusiawi, petugas yang santun, telah gagal total.
Hukum Indonesia ambruk oleh mitos, Hukum sebagai alat pembaharu masyarakat, menjadi semacam mesin pembunuh karena hanya ditunjang oleh perangkat hukum yang morat marit, serta interpretasi dangkal. Lembaga peradilan sebagai benteng keadilan lebih mirip rumah bordil yang dihuni oleh para pelacur hukum. Peranan hukum dalam pembangunan sama persis dengan macam ompong tengah mengunyah daging liat.
Mitos masih harus dibaca, dengan harapan dapat membuka kesadaran untuk melihat persoalan hukum yang menimpa bangsa ini. Mambaca mitos berarti melakukan re-interpretasi mengenai hukum, bahwa konsep-konsep yang bertitik tolak dari paradigma lama dan sudah usang harus segera tinggalkan. Pandangan hukum yang mengedepankan mitos dengan jargon-jargon pembangunan tetapi memuat konsep steril didalamnya tidak akan mendapat tempat di masyarakat, karena terbatas kepada janji bukan bukti, apabila diletakan dalam pandangan Nietzchean (nihilisme) semua harus di dekonstruksi dengan membongkar segala tatanan (I.Bambang Sugiharto, 96; 16).
Re-interpretasi adalah pemaknaan kembali hukum. Sebagai dunia penuh makna dan manusia hidup di dalamnya, interpretasi menjadi kendali penting untuk berbagai hal dalam kehidupan. Dalam tahapan ini segala sesuatu berjalan melalui proses serta menjadi kerangka yang tidak dapat ditinggalkan. Mewujudkan mitos merupakan proses, artinya meniadakan mitos, karena apabila mitos itu terealisasikan, dia tidak akan menjadi mitos yang hanya lips service. Oleh karena itu melakukan interpretasi kembali adalah mencoba mengarahkan untuk mempelajari proses-proses yang dilakukan manusia dalam membangun masyarakat dan dunianya, ( I. S. Susanto, 1992 ; 15), itulah hakekat berfikir kritis. Dalam kerangka berfikir kritis tidak akan tabu melakukan perubahan radikal dan revolusioner, menolak, membongkar atau berusaha mempertemukan mitos tradisional dengan mitos kontemporer. Kekeliruan mendasar, polemik hukum hanya merupakan polemik mitos, tetapi tidak berusaha membumikan mitos artinya kesadaran tinggal kesardaran tetapi korupsi jalan terus.
D. Hukum Indonesia Memasuki Paradigma Baru
Apa yang selama ini di terima sebagai sesuatu yang benar, harus mulai kita pertanyakan kembali, teori hukum, asas hukum, atau ajaran-ajaran yang selalu mengedepankan ide keteraturan, jelas, pasti yang selama ini menghuni alam fikiran liberal/positivist hukum, mulai digugat karena ternyata ide tersebut tidak mampu memberikan penjelasan yang telah terjadi selama ini sepanjang perjalanan hukum Indonesia yang terus dilanda krisis. Dalam bukunya berjudul "Critical Legal Studies " Andrew Altman mengemukakan berbagai kritik yang dilontarkan oleh Gerakan Sudi Hukum Kritis terhadap doktrin hukum liberal (Rule of Law), doktrin ini tidak mampu menjelaskan persoalan karena kontrakdisi satu sama lain dan juga tidak konsisten (contradiction and inconsistencies) (Andrew Altman, 1990 ; 3). Hukum ternyata telah terasing (alienasi) dari realitas sosial (politik, sosial, budaya), hukum hanya menjelma dalam bentuk peraturan-peraturan dan memberikan keadilan formal (bukan keadilan substantive).
Munculnya pandangan yang lebih kritis dan realistis , di akhir penutup abad XX telah kembali menghidupkan semangat yang hampir padam, bahwa hukum masih bisa dibaca dalam konteks yang sebagaimana rumitnya. Apabila doktrin hukum liberal (rule of law/positivist) hanya bisa digunakan dalam suatu tatanan yang teratur, keteraturan, segala yang serba pasti, ini jelas tidak realistis mengingat masyarakat justru dipenuhi oleh ketidak teraturan, atau menurut Satjipto Rahardjo dengan menggambarkan kondisi Indonesia saat ini yang tengah mengalami "keberantakan" (disintegration, disorganization), yang besar baik sosial, ekonomi, politk maupun kultural (Satjipto Rahardjo, 2000 ; 1).
Pada akhir tahun 90-an Charles Sampford menerbitkan buku berjudul "The Disorder Of law", dengan tambahan "A Critique of Legal theory" (1989) Dalam bukunya tersebut bersisi penolakan terhadap apa yang dipegang teguh oleh kaum positivist, buku yang menguraikan bahwa sesungguhnya hukum penuh dengan ketidak teraturan yang disebut Sampford dengan kata "Legal melee", melee berarti sesuatu yang cair, atau dalam kamus webster "melee" di artikan antara lain ; "a confused conflict of mixture". Dalam Seminar Nasional dengan tema "MENGGUGAT PEMIKIRAN POSITIVISTIS DI ERA REFORMASI" Satjipto Rahardjo menguraikan secara pnajang lebar mengenai pendapat Sampford dalam makalahnya, yang akan disitir sebagai berikut.
Menurut Sampford ketidak teraturan dan ketidak pastian disebabkan karena hubungan-hubungan dalam masyarakat bertumpu pada hubungan antar kekuatan (power relation). Hubungan kekuatan ini tidak selalu tercermin dalam hubungan-hubungan formal dalam masyarakat. Maka terdapat kesenjangan antara hubungan formal dan hubungan nyata yang didasarkan pada kekuatan. Inilah yang menyebabkan ketidak teraturan itu. Di atas basis sosial yang demikian itulah hukum berdiri atau berada. Menurut Sampford adalah mungkin untuk menerima adanya suatu sistem hukum ditengah-tengah masyarakat yang tidak teratur, dan sesungguhnya bahwa hukum penuh ketidak teraturan, maka teroi hukum itu tidak perlu teori tentang sistem hukum (theories of legal system), melainkan teori tentang ketidak teraturan hukum (theories of legal disorder). Sampford bertanya, bagaimana mungkin keadaan yang dalam kenyataanya penuh dengan ketidak teraturan itu dalam positivisme dilihat sebagai sesuatu yang penuh dengan keteraturan ? dengan demikian maka, sebetulnya keteraturan itu bukan sesuatu yang nyata dalam keadaan ada, melainkan sesuatu yang oleh para positivisttis "ingin dilihat ada," teori tersebut di sebut dengan "teori kekacauan" (Chaos Theory) atau "Teori Hukum yang kacau" (Chaos theory of law). Dan ini sangat bermanfaat untuk mencermati perkembangan hukum yang terjadi di Indonesia (Satjipto Rahardjo, 2000 ; 15-17).
Pemahaman baru harus kita tumbuhkan bahwa dari kondisi masyarakat Indonesia yang serba tidak pasti dan penuh dengan nuansa chaos haruslah ditangkap secara positif, seperti menurut Gilles Deleuze & Feliz Guattari, chaos atau ketidak teraturan harus dilihat sebagai peluang masa depan bila kita ingin mengubah dunia kita dimasa depan. Dunia kini harus dilihat sebagai tumbuhan yang merambat (rhizome) yang bersifat chaotic, ketimbang seperti sebatang pohon (yang bersifat sentralistrik, hierarkhis, birokratis) (Yasraf Amir Piliang, KOMPAS, 1999).
Tidak dapat dipungkiri selama ini telah timbul kesalah pahaman akan makna dari teori chaos, dan hal ini justru merupakan kesalahan terbesar, yang menyebut bahwa "teori chaos bukan keteraturan", ia tidak menyatakan bahwa keadaan yang teratur itu tidak ada. Istilah "chaos" dalam "teori chaos" justru merupakan keteraturan, bukan sekedar keteraturan tetapi "essensi keteraturan". Memang teori chaos menjelaskan bahwa perubahan yang kecil dapat menimbulkan fluktuasi yang besar. Akan tetapi, intisari konsep chaos menyatakan, meskipun tidak mungkin memprediksi keadaan secara pasti, perilaku seluruh kondisi tersebut mudah diketahui. Jadi teori chaos menekankan bukan pada ketakberaturan, melainkan pada keteraturan. (Lengsernya Rezim Newton, 2000 ; 10) Ketidak teraturan memang hadir bagi pandangan hukum tradisional, Liberal/positivistik, akan tetapi apabila memandang lebih kritis pada perilaku keseluruhan secara terpadu, keteraturan yang akan tampak. Jadi teori chaos yang dianggap berkenaan dengan ketakteraturan, pada saat yang sama berbicara tentang keteraturan. Ketidak teraturan dalam pandangan Liberal/Posistivistik, keteraturan dalam pandangan kritis.
Mitos hukum yang selama ini tumbuh dari konsepsi keteraturan bagi pandang steril, liberal dan positivistik pasti pada kenyataanya akan menjadi semacam mitos dalam tataran yang tidak pernah terwujud dan tidak pernah membumi. Dia akan semakin jauh ditinggalkan realitas. Pada posisi demikian paradigma kritis menjadi sedemikian penting, dalam aras berfikir demikian maka pendekatan sentralistik dan totalitarian harus ditinggalkan, "teori chaos" harus dipahami secara benar, bila dipahami secara tepat, dapat menjadi paradigma baru bagi perubahan sikap dan pola pikir, dan tentu saja Paradigma Hukum Indonesia yang menurut Liek Wilardjo belum ada, karena belum ada kerangka keyakinan yang berperan mengatur dan penertibkan penelaahan dan pemecahan masalah, belum ada "ordering belief fremawork" (yang disebut oleh Thomas Kuhn sebagai paradigma) (Liek Wilardjo, Suara Pembaharuan, 1998), dan babak baru itu telah dimulai ketika Satjipto Rahadrjo menyebut hukum sebagai "The Great Anthropological Document", meski pengertian tersebut masih sangat luas namun sebagai langkah awal merupakan gerakan menuju "Pencerahan", khususnya bagi ahli pikir hukum di Indonesia.
Sikap yang melihat perubahan (change), ketidakpastian (indeterminancy) dan ketidak beraturan (disorder) sebagai sesuatu yang menakutkan sudah masanya untuk ditinggalkan. Cara-cara pengendalian melalui pendekatan keamanan, keseragaman, keberaturan total tidak dapat dipertahankan lagi. Sebuah organisasi apapun (perubahan, pendidikan, negara) menuntut teori Chaos dapat dikendalikan di tengah perubahan dan ketidak pastian, atau apabila sedikit menyingung pendapat Johan Cruiff, legenda sepakbola Belanda menyebutkan "sepak bola adalah chaos yang kecil tetapi chaos yang memiliki keteraturan".
Dikhotomi konsep keteraturan/kekacauan kesatuan/separatisme, integrasi/disintegrasi, keseragaman/keanekaragaman, sentralisasi/desentralisasi, homogenitas/heterogenitas yang mewarnai kehidupan sosial (sekaligus hukum) kita haruslah dicarikan sistesis barunya, sehingga dapat mendorong daya kreatifitas sosial, artinya mengubah "the negative chaos" tersebut menjadi "the positive chaos". (Yasraf Amir Piliang, KOMPAS, 1999). (*)
(*) Penulis: Anthon F Susanto
Tulisan ini pernah diajukan untuk Penerbitan Buku "menyambut 70 Tahun Usia Prof Satjipto Rahardjo
Daftar Pustaka
Andrew Altman, Critical legal Studies, A Liberal Critique, Princeton University Press , New Jersey, 1990
Bondan Winarno, Tongkrongan Global Paradigma Lokal, KOMPAS, 28 Juni 2000.
Adam Podgorecki, Christopher J. Whelan, Pendekatan Sosiologis Terhadap Hukum, PT Bina Aksara, Jakarta, 1987.
Hubert Rottleuthner, Sumbangan Teori Kritik dari Mazhab Frankfurt Terhadap Perkembangan Sosiologi – Hukum, dalam Adam Podgorecki, Christopher J. Whelan, Pendekatan Sosiologis Terhadap Hukum, PT Bina Aksara, Jakarta, 1987.
Irwan Abdullah, Kondisi Sosial dan Bayangan Disintegrasi, KOMPAS, 28 Juni 2000.I.S. Susanto, Pemahaman Krtitis terhadap Realitas Sosial, Tulisan Lokakarya Nasional untuk Pengembangan Sumber daya IMKA di Karang pandan, 12-17 April, 1992.
I. Bambang Sugiharto, Postmodernisme Tantangan bagi Filsafat, Kanisius, Jakarta, 1996.
J. Baldwin and M. McConville, Negoitiated Justice; Pressures to Plead Guilty, Martin Robertson, London. 1977.
Jean Baudrillard, Birahi, diterjemahkan oleh Ribut Wahyudi, dari judul aslinya "Seduction", St Martin’s Press New York 1990, Bentang Yogyakarta, 2000.
Liek Wilardjo, Asas Kekeluargaan, Suara Pembaharuan 19 Juni 1998.
Masykuri Abdillah, Peran Civil Society Pasca -Orba, KOMPAS, 18 Juli 2000.
Paul Virilio. Speed & Politics, Semiotex(e). New York. 1977.
Peter L. Berger, Humanisme Sosiologi, Penerbit Inti Sarana Aksara, Jakarta, 1985, yang diterjemahkan dari judul aslinya Invitation to Sociology, A Humanistic Perpective.
__________, Hansfried Kellner, Sosiologi yang ditafsirkan Kembali, LP3ES, 1985, yang diterjemahkan dari judul aslinya, Sociology Reinterpreted. (1981).
Philippe Nonet, Philip Selznick, Law and Society in Transition, Harper Colophon Books, Harper & Row, Publishers New York Hagerstown, San Fransisco, London, 197
Philip Selznick, The Sociology of Law, International Encylopedia of The Social Sciences, vol. 9 (1968), pp. 59-59.
Satjipto Rahardjo, Era Hukum Rakyat KOMPAS Kamis 20 Januari dan tanggal 21 Januari 2000.
__________, Rekonstruksi Pemikiran Hukum di Era Reformasi, Makalah Seminar Nasional Menggugat Pemikiran Hukum Positivistik di Era Reformasi, Semarang, 22-Juli 2000.
__________, Supremasi Hukum dalam Negara Demokrasi Dari Kajian Sosio-Kultural, Seminar Nasional, Fakultas Hukum UNDIP, Semarang 27 Juli 2000.
Saratri Wilonoyudho, Kota yang Anarkhis, KOMPAS, 18 Juli, 2000.
St. Sularto, Manusia Indonesia dalam Dunia yang Berubah Cepat, KOMPAS 28 Juni 2000.
Tommy F Awuy, Membaca Mitos Merajut Identitas Manusia Indonesia, KOMPAS 28 Juni 2000.
V. Aubert. Some Social Functions of Legislation, Acta Sociologica, Vol. 10 (1966), pp… 120.
Yasraf Amir Piliang, The Positive Chaos, Masa Depan Pluralitas Bangsa, KOMPAS Rabu, 10 November 1999.
__________, Sebuah Dunia yang Dilipat Mizan Pustaka. 1998.
__________, Mikro Fasisme Mesin-Mesin Anti Demokrasi, KOMPAS, 20 Juli 2000.
Dari Cambridge Menuju Kopenhagen, Lengsernya Rezim Newton, Seri penerbitan Sains, Teknologi, dan Masyarakat, Mizan Bandung, 2000.