Ilustrasi: Majalah Historia
Menghormati bendera bukan untuk memuliakannya tapi menghargai nilai kebangsaan di dalamnya.
DALAM rubrik Konsultasi Ulama di tabloid Suara Islam  edisi 109 (18 Maret-1 April 2011), Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI)  Pusat KH A. Cholil Ridwan mengharamkan umat Islam untuk memberi hormat  kapada bendera dan lagu kebangsaan. Landasannya fatwa ulama Saudi Arabia  pada 26 Desember 2003.
Pernyataan pribadi Cholil mendapat  dukungan dari Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) pimpinan Abu Bakar Baasyir.  Sementara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) mengharamkan jika niatnya untuk  menyucikan bendera; tapi tak masalah jika hanya seremonial. MUI sendiri  bilang tak pernah mengeluarkan fatwa haram.
Larangan menghormati bendera pernah  dikeluarkan Persatuan Islam (Persis) berdasarkan Musyawarah Dewan Hisbah  pada 10 Mei 1985. Menurut Badri Khaeruman dalam Islam Ideologis: Perspektif Pemikiran dan Peran Pembaruan Persis,  tradisi menghormati bendera secara selintas bukan termasuk kegiatan  ritual keagamaan, namun dalam pandangan para ulama Persis hal ini  bernilai agama.
“Menghormati bendera adalah suatu perbuatan yang melawan hukum aqli (berdasarkan akal) dan naqli (berdasarkan al-Qur’an dan hadis), yang menjurus pada kemusyrikan,” tulis Badri. “Karena itu, di sekolah-sekolah Persatuan Islam, bendera  merah-putih sebatas dipasang. Para pelajar sekolah di lingkungan  Persatuan Islam tidak diharuskan untuk mengadakan upacara bendera  sebagaimana kebiasaan di sekolah lain pada umumnya.”
Rasanya terlalu berlebihan jika  mengormati bendera adalah haram. Sebab, bendera hanyalah lambang.  Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 40 tahun 1958 menyebut,  bendera merah-putih adalah lambang kedaulatan dan tanda kehormatan  Republik Indonesia. Sementara Undang-undang No 24 tahun 2009 menyebut  bendera sebagai sarana pemersatu, identitas, dan wujud eksistensi bangsa  yang menjadi simbol kedaulatan dan kehormatan negara. Bendera juga  merupakan manifestasi kebudayaan.
Bendera mulanya disebut vexilloid.  Kata ini berasal dari bahasa Latin, artinya panduan. Ia berupa logam  atau tiang kayu dengan ukiran di atasnya. Baru sekira 2.000 tahun lalu,  potongan kain atau bahan ditambahkan untuk dekorasi. Bahkan bendera  menjadi kajian tersendiri, disebut vexillology. Organisasinya, Fédération Internationale des Associations Vexillologiques (FIAV) yang dibentuk pada 3 September 1967 di Rüschlikon, Swiss, mengadakan International Congress of Vexillology dua tahun sekali. Tahun ini akan diselenggarakan di Washington DC, Amerika Serikat.
Bendera pertama digunakan untuk  memberikan informasi dan membantu koordinasi militer di medan perang.  Para ksatria, dalam seragam dan perlengkapan baju besi, membawa bendera  agar membantu membedakan mana kawan dan mana lawan.
Selama Abad Pertengahan, bendera yang  digunakan adalah bendera heraldik, yang berisi lambang, lencana, atau  perangkat lain untuk identifikasi pribadi. Selama puncak pelayaran,  dimulai pada awal abad ke-17, kapal laut biasa bendera kebangsaan mereka  –kemudian menjadi persyaratan hukum. Di laut, bendera berfungsi untuk  mengirimkan pesan atau komunikasi.
Penggunaan bendera di luar konteks  militer atau angkatan laut dimulai saat kemunculan sentimen nasionalisme  pada akhir abad ke-18. Dan selama abad ke-19 hingga kini, setiap negara  berdaulat harus memperkenalkan bendera nasionalnya.
Bagaimana dengan Indonesia?
Adalah Muhammad Yamin yang menelusuri  sejarah merah-putih hingga zaman Majapahit, bahkan hingga zaman purba.  Dia menguraikannya dalam 6000 Tahun Sang Merah-Putih yang  diterbitkan sebagai peringatan 30 tahun Sumpah Pemuda pada 1958. Dia  mendasarkan penafsirannya dari warna yang ditemukan pada masyarakat  Indonesia di masa purba hingga kebiasaan tradisional bubur merah dan  putih untuk menjelaskan eksistensi dan kesakralan bendera nasional.  Karya Yamin, juga generasi awal sejarawan Indonesia pascakolonial,  menunjukkan bahwa, “Sejak awal perkembangannya, historiografi Indonesia  sentris ternyata cenderung menjauh dari sejarah objektif karena  berkembangnya prinsip dekolonisasi historiografis yang bersifat  ultranasionalis dan lebih mementingkan retorika,” tulis Budi Susanto SJ  dalam Membaca Postkolonialitas (di) Indonesia. 
Terlepas dari kritik atas karya Yamin,  sejarah mencatat bagaimana merah-putih dikibarkan para pemuda  pergerakan. Di negeri penjajah Belanda, tulis R.E. Elson dalam The Idea of Indonesia,  rasa identitas kebangsaan Indonesia itu mulai terwujud dalam lambang  pada 1920. Dalam Kongres Perkumpulan Mahasiswa Indonesia (Indonesisch Verbond van Studeerenden/IVS)  di Lunteren, Belanda, Agustus 1920, “terlihat ada bendera merah-putih  bersebelahan dengan bendera Belanda biru-merah-putih menghiasi mobil  ketua kongres, sementara bunga-bunga dahlia merah dan putih dalam vas  menyemarakkan aula kongres.”
Bendera merah-putih juga berkibar dalam  Kongres Pemuda 28 Oktober 1928 di Kramat 106 Jakarta, yang melahirkan  Sumpah Pemuda. Bahkan kemudian sebuah laporan intelijen dari Kepala  Seksi Badan Informasi Politik Belanda dari Surabaya, 19 Juli 1933,  menyebutkan bendera Belanda hilang dari kampung-kampung. “Sebelumnya  bendera Belanda dikibarkan di acara-acara perayaan, sekarang bendera itu  digantikan warna-warna merah-putih…,” tulis Elson.
Dua minggu setelah Jepang masuk ke  Indonesia, pemerintah pendudukan langsung melarang penggunaan dan  pengibaran bendera merah-putih. Jepang justru mewajibkan kepada rakyat  Indonesia untuk menghormati bendera Jepang, Hinomaru, setiap  pagi sambil menghadap matahari terbit, untuk memuliakan Kaisar Jepang  Tenno Heika. Perintah ini menimbulkan perlawanan dari KH Zainal Mustafa  dan para santrinya di pesantren Sukamanah, Tasikmalaya, pada Februari  1944. “Perintah Jepang untuk melakukan kyujo yohai (penghormatan kepada istana kaisar Jepang) dianggap sebagai gangguan terhadap agama mereka,” tulis Aiko Kurasawa dalam Mobilisasi dan Kontrol.
Barulah saat berada diujung tanduk dalam  Perang Pasifik, Jepang memberikan janji kemerdekaan bagi Indonesia  serta memperbolehkan bendera merah-putih dan lagu Indonesia Raya.  Bertepatan dengan hari Pembangunan Asia Timur Raya, 8-9 September 1944, Soomubucho  (Kepala Staf Bagian Umum) mengumumkan: “… pada hari ini balatentara  telah memperkenankan untuk memakai bendera kebangsaan Indonesia, juga  diperkenankan lagu kebangsaan Indonesia Raya sebagai nyanyian  Indonesia.” Pengumuman tersebut dimuat Sinar Baroe, 9 September 1944.
Perayaan pun digelar di mana-mana,  “termasuk  upacara penaikan bendera merah-putih pada 9 September 1944 di  Gambir yang dihadiri 40 ribu orang untuk merayakan akan merdekanya  Indonesia, dan rasa lega karena tercapainya cita-cita sudah di depan  mata,” tulis Elson.
Puncaknya terjadi pada proklamasi  kemerdekaan 17 Agustus 1945. Sejak itu, euforia mewabah. Hingga akhir  Agustus 1945, tulis Elson, gambar tempel dan bendera kecil merah-putih  muncul di kota dan tak lama kemudian membanjiri kota Surabaya.  Sampai-sampai, Komandan Wing T.S. Tull dari Angkatan Udara Inggris, yang  diterjunkan ke Jawa Tengah pertengahan September 1945 untuk mengawasi  “perlindungan dan pembebasan” tawanan perang dan interniran Sekutu,  mengatakan, “Di pihak Indonesia, bukti kekuatan dan pengaruh gerakan  nasionalis ada di mana-mana. Tak satu pun rumah dan bangunan umum yang  tidak punya bendera Indonesia.”
Di Surabaya pula terjadi “insiden  bendera” di Hotel Yamato Surabaya –sebelumnya Hotel Orange dan sekarang  Hotel Majapahit– pada 19 September 1945. Peristiwa bermula ketika  sekelompok orang Belanda mengibarkan bendera merah-putih-biru di atas  hotel. Sebelum hari siang, Residen Surabaya Sudirman datang. Dia meminta  agar bendera Belanda diturunkan tapi ditampik. Di luar, puluhan pemuda  tak sabar lagi. Bentrokan tak dapat dielakkan. Beberapa orang naik,  merobek dan membuang kain berwarna biru dari bendera Belanda, lalu  mengibarkan sisanya, merah-putih, di tempat semula.
Bendera merah-putih sudah melintasi  sejarah panjang. Menghormati bendera bukan berarti memuliakan bendera  itu sendiri, tapi menghargai sejarah dan simbol kebangsaan dan  kemerdekaan yang diperjuangkan dengan darah dan airmata.
(Sumber: Majalah Historia, Kamis, 31 Maret 2011)  
 

