Desentralisasi Pemilu

Saturday, April 30, 2011



Pemilihan umum (pemilu) di Indonesia pada awalnya untuk memilih anggota lembaga perwakilan, yaitu DPR, DPRD, dan DPD. Setelah amendemen ke- UUD 1945 pada 2002, pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres), yang semula dilakukan oleh MPR, disepakati untuk dipilih langsung oleh rakyat, sehingga pilpres pun dimasukkan ke dalam rezim pemilihan umum. Pilpres sebagai bagian dari pemilihan umum diadakan pertama kali pada 2004. Pada 2007, berdasar UU No. 22 Tahun 2007, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) juga dimaksudkan sebagai bagian dari rezim pemilihan umum. Di tengah masyarakat, istilah pemilu lebih sering merujuk kepada pemilu legislatif, pemilu presiden dan wakil presiden yang diadakan setiap lima tahun sekali.

Pemilihan umum telah dianggap menjadi ukuran demokrasi karena rakyat dapat berpartisipasi menentukan sikapnya terhadap pemerintahan dan negaranya. Pemilihan umum adalah suatu hal yang penting dalam kehidupan kenegaraan. Pemilu adalah pengejewantahan sistem demokrasi. Melalui pemilihan umum, rakyat memilih wakilnya untuk duduk dalam parlemen, dan dalam struktur pemerintahan. Ada negara yang menyelenggarakan pemilihan umum hanya apabila memilih wakil rakyat duduk dalam parlemen, tetapi ada pula negara yang juga menyelenggarakan pemilihan umum untuk memilih para pejabat tinggi negara.

Paling tidak ada tiga tujuan pemilu di Indonesia. Pertama, memungkinkan terjadinya pergantian pemerintahan secara damai dan tertib. Kedua, untuk melaksanakan kedaulatan rakyat. Ketiga, untuk melaksanakan hak-hak asasi warga negara.

Umumnya yang berperan dalam pemilu dan menjadi peserta pemilu adalah partai-partai politik. Partai politik sendiri adalah sekelompok anggota masyarakat yang terorganisasi secara teratur berdasar ideologi atau progam tentang ada keinginan pra pemimpinnya untuk merebut kekuasaan negara, terutama eksekutif melalui yang terbaik dan konstitusional. Partai politik yang menyalurkan aspirasi rakyat dan mengajukan calon-calon untuk dipilih oleh rakyat melalui pemilihan itu.

Dalam ilmu politik dikenal bermacam-macam sistem pemilu, tetapi umumnya berkisar pada dua prinsip pokok, yaitu singel member constituency (satu daerah pemilihan memilih satu wakil, biasanya disebut sistem distrik), multy member constituenty (satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil biasanya dinamakan proporsional representation atau sistem perwakilan berimbang).

Makna pemilihan umum yang paling esensial bagi suatu kehidupan politik yang demokratis adalah sebagai institusi pergantian dan perebutan kekuasaan yang dilakukan dengan regulasi, norma, dan etika sehingga sirkulasi elite politik dapat dilakukan secara damai dan beradab.

Namun dalam kenyataannya, pemilu yang ada saat ini di Indonesia belum bisa menyentuh esensi dari roh pemilu itu sendiri. Euforia manisnya roti demokrasi hanya dapat dinikmati oleh rakyat lima tahun sekali dan setelahnya rakyat kembali kepada realita kehidupannya yang susah, baik susah karena sulitnya mendapatkan lapangan pekerjaan, susah mendapatkan pendidikan yang bermutu karena mahal, dan susah mendapatkan pelayanan kesehatan karena terbatasnya dana yang tersedia.

Fenomena seperti ini sudah berjalan bertahun-tahun, bahkan sudah ada sejak pemilu awal Orde Baru. Di mana antara wakil rakyat dan konstituennya hanya bertemu ketika sudah mendekati hajatan lima tahun sekali, selebihnya para wakil rakyat sibuk bagaimana modalnya bisa kembali dan rakyatnya sibuk mengentaskan kemiskinannya yang dari tahun ke tahun dan dari pemilu ke pemilu belum juga ada perubahan, bahkan bertambah. Maka untuk meminimalisasi adanya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), diperlukan pemisahan antara pemilu nasional yang dalam hal ini memilih anggota RI dan DPD dengan pemilihan lokal yang dalam hal ini memilih DPRD tingkat I dan DPRD tingat II.

Dengan adanya pemisahan antara pemilu nasional dan lokal, ada beberapa manfaat yang akan didapatkan oleh rakyat di daerah. Pertama isu-isu lokal tetap terakomodasi tanpa harus tertutup oleh isu-isu nasional yang dibawakan jurkam-jurkam nasional. Kedua, agar perubahan aspirasi yang terjadi selama pemerintahan nasional dapat diakomodasi melalui pelaksanaan pemilu lokal. Ketiga, memberi kesempatan kepada pemilih untuk berpikir, menyeleksi dan mengambil keputusan tentang calon terbaik yang dikehendaki. Hal ini sesuai dengan semangat otonomi daerah yang lebih mengedepankan desentralisasi daripada sentralisasi. Keempat, untuk meminimalisasi penyalahgunaan kekuasaan oleh para pemimpin yang ada di Pusat. Sebab, dengan pemisahan antara pemilu nasional dan lokal, pengawasan terhadap para calon legislatif akan lebih baik.

Penulis: M. Iwan Satriawan
Dosen Fakultas Hukum Unila

(Sumber: Lampung Post, 26 April 2011)