BI: Penggunaan Debt Collector Praktik Wajar

Saturday, April 30, 2011

Meskipun kegiatan penagihan utang dapat dilakukan oleh pihak ketiga, BI menghimbau kegiatan tersebut dilaksanakan sesuai kaidah hukum yang berlaku.

Kegiatan penagihan utang merupakan kegiatan yang normal dan logis (legitimate) serta diperlukan dalam kegiatan bisnis. Kegiatan ini dapat dilakukan oleh pegawai sendiri maupun melalui jasa penagihan utang. Hanya saja, dalam penagihan utang melalui jasa pihak ketiga, nasabah seringkali merasa dirugikan. Hal itu dikatakan Deputi Gubernur BI Halim Alamsyah, Kamis (28/4), di Jakarta.

Pada dasarnya pemberian kredit kepada nasabah merupakan kegiatan utama pada bisnis perbankan. Oleh sebab itu, bank akan cenderung melakukan berbagai upaya untuk memitigasi timbulnya risiko kredit dan mengurangi potensi timbulnya kerugian dari kredit yang tidak tertagih. Salah satu usaha bank untuk mengurangi kerugian tersebut dengan upaya penyelesaian kredit bermasalah atau yang tergolong Non Performing Loan (NPL).

Kredit yang dikategorikan sebagai NPL adalah kredit yang kualitas kreditnya dikategorikan sebagai Kurang Lancar (menunggak pokok dan bunga 90-20 hari), Diragukan (120-150 hari) dan macet (lebih dari 150 hari). "Penyelesaian NPL perbankan pada umumnya dilakukan melalui tiga tahap yaitu restrukturisasi, hapus buku, dan hapus tagih," kata Halim.

Berkaitan dengan penggunaan jasa penagih utang, jelas Halim, bank sentral melalui PBI No 11/11/2009 dan SE No. 11/10/DASP telah mengatur bahwa bank hanya dapat menggunakan jasa pihak lain dalam melakukan penagihan transaksi kartu kredit apabila; penagihan oleh pihak lain tersebut hanya dapat dilakukan jika kualitas tagihan kartu kredit dimaksud telah termasuk dalam kategori kolektibilitas diragukan atau macet.

Kemudian, bank mesti menjamin bahwa penagihan oleh pihak lain tersebut dilakukan dengan cara-cara yang tidak melanggar hukum. Bank wajib memastikan tata cara, mekanisme, prosedur dan kualitas pelaksanaan yang dilakukan oleh bank itu sendiri. Bank juga wajib bertanggungjawab terhadap segala akibat hukum yang timbul akibat dari kerjasama dengan pihak lain tersebut.

"Oleh sebab itu, meskipun kegiatan penagihan utang dapat dilakukan oleh pihak ketiga, kegiatan tersebut harus dilaksanakan dengan kaidah-kaidah hukum yang berlaku," tuturnya.

Keterangan Halim sepertinya direspon oleh Citibank Indonesia, bank yang baru saja terbelit kasus tewasnya Irze Octa. Baru-baru ini, Citibank merekrut 1.400 karyawan penagihan atau debt collector yang tidak berasal dari pihak ketiga atau outsourcing. Hal ini disampaikan oleh Country Officer Citi Indonesia Shariq Mukhtar dalam siaran pers, Kamis (28/4).

Shariq mengatakan, Citibank akan mematuhi arahan baru dari BI serta rekomendasi dari Komisi XI DPR. "Langkah ini akan menguntungkan semua pihak dan memperkuat kontrol dan manajemen di area ini. Hal ini juga mencerminkan komitmen kami untuk memberikan layanan yang lebih baik kepada nasabah kami," katanya.

Kata "debt collector" sendiri sudah tidak asing di telinga masyarakat. Bagi pengacara Hotman Paris, penggunaan debt collector oleh bank sudah menyalahi undang-undang. Menurutnya, bank sudah jelas dengan sengaja menggunakan cara intimidasi atau kekerasan dalam penagihan kredit.

"Penggunaan jasa debt collector merupakan bukti permulaan adanya niat untuk menggunakan cara intimidasi. Sehingga pihak bank, yang merupakan si penyuruh, dapat dikenai KUHP (Pidana) Pasal 55," tandasnya.

(Sumber: Hukum Online)
Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!