Ilustrasi: google.com
Rabu, 13 April 2011
Pembatasan hak konstitusional pemohon berupa penahanan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum telah sejalan dengan konstitusi. Sebab, pembatasan terhadap hak-hak setiap warga negara dimungkinkan sepanjang diatur dalam undang-undang. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.
“Karena itu Pasal 21 ayat (1) dan Pasal 95 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2) UUD 1945,” kata Direktur Litigasi Kemenkumham, Mualimin Abdi dalam sidang pleno pengujian Pasal 21 ayat (1) dan Pasal 95 ayat (1) KUHAP yang dimohonkan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir di Gedung MK Jakarta, Selasa (12/4).
Pemerintah memandang Pasal 21 ayat (1) KUHAP telah menjamin perlindungan hak asasi manusia (HAM). Sebab, untuk melakukan penahanan terhadap tersangka/terdakwa dengan syarat-syarat yang ketat dengan memperhatikan kondisi subjektif dan objektif dari tersangka/terdakwa. “Dasar pemikirannya karena penahanan yang dilakukan akan berdampak buruk bagi dirinya, keluarganya, dan lingkungan sosialnya,” kata Mualimin.
Pemerintah mengungkapkan bahwa MK pernah memutus pengujian Pasal 21 ayat (1) KUHAP yang putusannya ditolak lewat Putusan MK No. 018/PUU-IV/2006 tertanggal 20 Desember 2006 yang dimohonkan oleh Mayjen (Purn) TNI Suwarna AF. Dalam pertimbangannya, Mahkamah berpendapat keberadaan Pasal 21 ayat (1) KUHAP tidak terlepas dari Pasal 77 KUHAP yang mengatur pranata praperadilan (salah satunya menguji keabsahan sah/tidaknya prosedur penangkapan/penahanan).
Karena itu, 21 ayat (1) KUHAP cukup mempertemukan dua kepentingan yakni kepentingan umum untuk menegakkan hukum dan kepentingan individu yang harus dilindungi hak asasinya. “Adanya persoalan dalam praktik selama ini dalam penerapan Pasal 21 ayat (1) dan Pasal 77 KUHAP yang dinilai kurang melindungi hak tersangka/terdakwa merupakan ranah penerapan hukum, bukan konstitusionalitas norma,” kata Mualimin mengutip putusan MK itu.
Soal Pasal 95 ayat (1) KUHAP yang mengatur ganti kerugian jika tersangka/terdakwa ditangkap/ditahan tidak sesuai undang-undang, kata Mualimin, pengaturannya sudah sangat jelas batasannya. “Sementara saat petugas Densus 88 menangkap pemohon dengan memecahkan kaca mobil lantaran pemohon tidak membukakan pintu mobil dan juga adanya kekhawatiran petugas bahwa orang-orang yang didalam mobil memiliki senjata,” tambahnya.
Untuk diketahui, Abu Bakar Ba’asyir lewat kuasanya menguji konstitusionalitas Pasal 21 ayat (1) dan Pasal 95 KUHAP. Ia meminta MK menafsirkan pasal itu secara bersyarat terkait tiga alasan penahanan yang seringkali ditafsirkan subjektif. Sebab, alasan subjektif dinilai tidak memiliki batasan/ukuran yang jelas yang berakibat disalahgunakan oleh aparat. Karenanya, Pasal itu dinilai bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Sebelumnya, Ba’asyir memang telah ditahan selama lima bulan lebih di Kepolisian dan Kejaksaan sejak ditangkap dalam perjalanan dakwah di Banjar Patroman, Jawa Barat pada Agustus 2010 lalu.
Berkas perkara Ketua Jamaah Anshorut Tauhid itu sempat terkatung-katung di Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan sebelum akhirnya dilimpahkan ke pengadilan. Kini, Ba’asyir masih menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Ia dituduh terlibat dalam beberapa aksi teror, seperti kamp pelatihan teroris di Aceh hingga pendanaan untuk jaringan terorisme. (Ash)
(Sumber: Hukum Online)