ILustrasi: vivanews.com
Keterlibatan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam seleksi calon hakim agung disorot kalangan akademisi. Sebab, calon hakim agung hasil saringan Komisi Yudisial (KY) yang tidak berafiliasi ke partai politik (Parpol) tertentu kerap tumbang ketika fit and proper test di DPR. Akibatnya, calon hakim agung dari kalangan akademisi “frustrasi” untuk kembali mendaftar.
Keluhan itu disampaikan Dekan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (FH Undip) Yos Johan Utama saat memberikan sambutan dalam acara “Sosialisasi dan Penjaringan Calon Hakim Agung” di Undip Semarang, Jum’at (18/3). Selain dihadiri citivitas akademika FH Undip, acara itu juga dihadiri kalangan advokat dan Pengadilan Tinggi Semarang.
Dalam sepekan ini acara serupa juga telah digelar di kota lain yakni Medan (FH Usu), Banjarmasin (FH Universitas Lambung Mangkurat), Makassar (FH Unhas), Yogyakarta (FH UII), dan Palembang (FH Unsri). Dengan harapan KY mampu menjaring calon yang berintegritas dan berkualitas baik dari kalangan akademisi atau praktisi di kota-kota itu sesuai jumlah kuota hakim agung yang dibutuhkan.
Johan mengeluhkan sistem seleksi calon hakim agung yang melibatkan lembaga legislatif. Sebab, seleksi calon agung merupakan ranah yudikatif, tetapi penentuannya di ranah legislatif. “Agak susah ya ketika ranahnya yudisial, tetapi penentuannya di ranah Parpol,” katanya.
Ia mengaku pernah mengusulkan beberapa dosen FH Undip untuk mengikuti seleksi calon hakim agung. Namun, semuanya gagal di DPR. “Salah satu staf kami Prof Nyoman saat seleksi di KY menduduki peringkat kesatu, tetapi di DPR tidak diterima. Awalnya fit and proper test, ujung-ujungnya fit and property,” ujarnya berkelakar. “Memang tidak semua seperti itu karena memang sulit pembuktiannya, meski kami punya fakta.”
Ia berharap hakim agung yang dipilih bebas dari tarik-menarik kepentingan Parpol. Sebab, fenomena ini tak hanya terjadi dalam seleksi calon hakim agung. Bahkan, pemilihan rektor saja saat ini ada 35 persen adalah hak Mendiknas. “Pemilihan rektor saat ini tidak lobi teman-teman lagi, tetapi lobinya sudah Parpol, terlebih kalau menterinya dari Parpol, saya enggak bisa bayangkan.”
Johan juga mengharapkan seleksi calon hakim agung dengan sistem yang ada saat ini mampu menjaring calon yang berintegritas dan berkualitas baik. Sebab, jabatan hakim merupakan jabatan yang mulia yang harus diisi oleh orang-orang terpilih. “Sangking mulianya, Allah SWT menyebut kata hakim hingga 10 kali dalam Al-Qur’an. “Mudah-mudahan peserta yang hadir ‘terpikat’ atau terpanggil menjadi calon hakim agung sekaligus membenahi sistem peradilan Indonesia,” ujarnya berpesan.
Hal senada juga diungkapkan Ketua Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI FHUI) Hasril Hertanto. Ia menduga minimnya peminat seleksi calon hakim agung terjadi karena orang mulai jenuh. Menurutnya, orang yang tadinya berminat berpikir ulang karena selain standar pengujian seleksi yang digelar KY, khususnya tahap wawancara tidak jelas, proses di DPR juga yang sangat politis dan cenderung menghakimi si calon.
“Tetapi, keterlibatan DPR sebenarnya masih tetap diperlukan untuk menilai komitmen para calon hakim agung terhadap politik hukum negara,” kata Hasril kepada hukumonline, Sabtu (19/3).
Pemilihan atau persetujuan?
Sementara Komisioner KY Bidang Rekrutmen Hakim Taufiqurrahman Syahuri mengakui bahwa sistem seleksi calon hakim agung melibatkan kekuasaan eksekutif dan legislatif termasuk pemilihan pejabat publik lainnya. Sebab, sistem demokrasi tak lepas dari Parpol sebagai check and balances.
“DPR disini sebenarnya mewakili masyarakat untuk memilih calon hakim agung yang juga akan menentukan nasib rakyat, maka harus persetujuan DPR yang kemudian ditetapkan oleh presiden,” kata Taufiq.
Taufiq mengingatkan agar tidak apriori dengan DPR karena berdasarkan pengalamannya saat pemilihan Komisioner KY, ia tak mengeluarkan uang sepeser pun. “Saya yakin untuk pemilihan anggota KY bersih. Jadi seharusnya kita masih mau berbaik sangka terhadap DPR,” ujarnya.
Ia menjelaskan menurut Pasal 24A ayat (3) UUD 1945, kewenangan DPR sebenarnya hanya menyetujui calon hakim agung yang diusulkan KY. Sementara dalam UU No. 22 Tahun 2004 tentang KY, KY harus mengusulkan tiga kali jumlah hakim agung dan DPR harus memilih satu kali jumlah hakim agung yang dibutuhkan.
“Jadi logika dalam UU KY adalah pemilihan bukan persetujuan. Kalau logikanya persetujuan seperti mekanisme pemilihan Panglima TNI atau Kapolri, kalau presiden mengusulkan Kapolri/Panglima TNI tidak setuju DPR, ya harus ditarik,” ujarnya membandingkan. “Termasuk pemilihan anggota komisi negara dan pimpinan KPK.”
Menurutnya, hal ini bisa menjadi celah untuk diajukan uji materi UU KY ke Mahkamah Konstitusi (MK). “Ini sebenarnya bisa dipersoalkan ke MK, jadi nanti jika ada calon hakim agung khususnya dari FH Undip yang merasa dirugikan bisa saja mengajukan pengujian UU KY ke MK untuk mengubah formulasi 3:1 menjadi persetujuan karena konstitusi menyatakan persetujuan,” ujarnya menyarankan.
Sebab, jika mekanisme seleksi calon hakim diubah menjadi persetujuan (1:1), KY juga tidak akan kesulitan menjaring calon hakim agung. Sebab, terkadang “Kalau sekarang ini kan KY harus menjaring 30 calon hakim agung dari 10 hakim agung yang dibutuhkan Mahkamah Agung (MA). Mencari 30 calon hakim agung yang berkualitas dan berintegritas sangat sulit, makanya seleksi tahun ini kita melakukan penjaringan ke berbagai perguruan tinggi,” pungkasnya.
Hasril juga sepakat, ke depan seharusnya DPR hanya diberi kewenangan menerima atau menolak (persetujuan), bukan memilih calon hakim agung yang diajukan KY. “Jadi bukan pilih 1 dari 3 calon yang diajukan, tetapi idealnya 1:1,” sarannya.
Karena itu, Taufiq berharap DPR menyadari hal ini, sehingga ke depan dapat menjadi bahan revisi UU KY yang kini tengah dibahas di DPR bersama UU MK dan UU MA. “Salah satu yang kita usulkan ke DPR agar formulasi 3:1 diubah menjadi 2:1 seperti pemilihan pimpinan KPK atau Komisioner KY,” tambahnya.
Penulis : ASh
Sumber: Hukum Online - 19 Maret 2011