Jakarta - Indonesia Corruption Watch (ICW) menolak Revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Sejumlah pasal di RUU Tipikor tersebut justru lebih lemah dan kompromistis dibandingkan UU 31/199 dan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang ada dan berlaku saat ini.
"Sehingga wajar jika langkah pemerintah ini dikatakan berseberangan dengan upaya agenda pemberantasan korupsi. Bahkan, maraknya upaya kriminalisasi dan minimnya realisasi atas janji-janji pemberantasan korupsi membuat publik ragu terhadap niat pemerintah tersebut,"kata Peneliti ICW Febri Diansyah, di Jakarta, Minggu (27/3).
Febri menyebutkan ada sembilan pelemahan pemberantasan Korupsi di RUU Tipikor tersebut, diantaranya yaitu menghilangkan ancaman hukuman mati yang sebelumnya diatur di Pasal 2 ayat (2) UU No.31/1999.
"Hilangnya pasal 2 yang paling banyak digunakan aparat penegak hukum dalam menjerat 42 tersangka korupsi dengan pasal tentang kerugian keuangan negara," kata Febry.
Menurt Febry, hal ini ada miss interpretasi dari penyusunan RUU yang mengatakan bahwa UNCAC tidak lagi menganut prinsip tentang kerugian keuangan negara. Sehingga RUU Tipikor tidak perlu mengatur soal penyelamatan kerugian negara tersebut. Hal ini akan merugikan pemberantasan korupsi di Indonesia sebagian besar masih menekankan pada perampokan aset negara atau keuangan negara.
"Tidak bisa dibayangkan jika penyelamatan keuangan negara tidak lagi menjadi salah satu prioritas dalam pemberantasan korupsi ke depan," kata dia.
Febri mengatakan dalam tataran lebih ekstrim sebenarnya penghilangan pasal ini bisa membuat kasus-kasus besar seperti Bank Century sulit diproses dengan UU pemberantasan korupsi.
Disebutkan juga RUU tersebut menghilangkan ancaman hukuman minimal di sejumlah pasal. Padahal ketentuan tentang ancaman hukuman minimal ini adalah salah satu ciri dari sifat extraordinary korupsi di Indonesia.
ICW menemukan 7 pasal di RUU Tipikor yang tidak mencantum ancaman hukuman minimal seperti penggelapan dana bencana alam, pengadaan barang dan jasa tanpa tender, konflik kepentingan, pemberi gratifikasi dan pelaporan yang tidak benar tentang harta kekayaan.
"Sehingga wajar jika langkah pemerintah ini dikatakan berseberangan dengan upaya agenda pemberantasan korupsi. Bahkan, maraknya upaya kriminalisasi dan minimnya realisasi atas janji-janji pemberantasan korupsi membuat publik ragu terhadap niat pemerintah tersebut,"kata Peneliti ICW Febri Diansyah, di Jakarta, Minggu (27/3).
Febri menyebutkan ada sembilan pelemahan pemberantasan Korupsi di RUU Tipikor tersebut, diantaranya yaitu menghilangkan ancaman hukuman mati yang sebelumnya diatur di Pasal 2 ayat (2) UU No.31/1999.
"Hilangnya pasal 2 yang paling banyak digunakan aparat penegak hukum dalam menjerat 42 tersangka korupsi dengan pasal tentang kerugian keuangan negara," kata Febry.
Menurt Febry, hal ini ada miss interpretasi dari penyusunan RUU yang mengatakan bahwa UNCAC tidak lagi menganut prinsip tentang kerugian keuangan negara. Sehingga RUU Tipikor tidak perlu mengatur soal penyelamatan kerugian negara tersebut. Hal ini akan merugikan pemberantasan korupsi di Indonesia sebagian besar masih menekankan pada perampokan aset negara atau keuangan negara.
"Tidak bisa dibayangkan jika penyelamatan keuangan negara tidak lagi menjadi salah satu prioritas dalam pemberantasan korupsi ke depan," kata dia.
Febri mengatakan dalam tataran lebih ekstrim sebenarnya penghilangan pasal ini bisa membuat kasus-kasus besar seperti Bank Century sulit diproses dengan UU pemberantasan korupsi.
Disebutkan juga RUU tersebut menghilangkan ancaman hukuman minimal di sejumlah pasal. Padahal ketentuan tentang ancaman hukuman minimal ini adalah salah satu ciri dari sifat extraordinary korupsi di Indonesia.
ICW menemukan 7 pasal di RUU Tipikor yang tidak mencantum ancaman hukuman minimal seperti penggelapan dana bencana alam, pengadaan barang dan jasa tanpa tender, konflik kepentingan, pemberi gratifikasi dan pelaporan yang tidak benar tentang harta kekayaan.