oleh: Dony Yusra Pebrianto,SH
Agenda reformasi yang belum tuntas salah satunya adalah mengenai supremasi hukum dan pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Hal ini memang tidak mudah, karena Negara Indonesia didiagnosa sebagai Negara yang sangat korup. Seorang ahli hukum pernah mengatakan hukum Indonesia ini hitam pekat. Implementasi dari hukum Indonesia ini belum dapat diimplementasikan secara nyata[1]. Berbagai aspek penegakan hukum telah mengalami kerusakan akut terhadap penegakan hukum. Kerusakan tersebut telah menggerogoti setiap aspek terkait penegakan hukum. Kekacauan system hukum pun kerap menghambat penegakan hukum. Misalnya, terkait masalah system penyidikan terhadap Pelaku tindak pidana korupsi. Jika mengacu kepada Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU TIPIKOR), kewenangan penanganan terhadap kasus korupsi dilakukan berdasarkan aturan Hukum Acara Pidana dan aturan lain yang diatur berdasarkan Undang-Undang TIPIKOR. Hal ini disebutkan di dalam Pasal 26 UU TIPIKOR yang berbunyi :
“Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini”
Berdasarkan Pasal 6 Ayat (1) Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menentukan bahwa yang berwenang menjadi penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang.
Namun tumpang tindih itu terjadi kala Undang Undang No.32 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (selanjutnya disebut UU KPK) lahir. Hal ini didasarkan kepada Pasal 11 UU KPK yang berbunyi :
“Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang :
a. melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara;
b. mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau;
c. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”
Selain KPK, tumpang tindih ini juga dikeruhkan oleh kewenangan jaksa yang juga berwenang melakukan penyidikan. Berdasarkan pasal 30 ayat (1) Undang-undang No. 16 Tahun 2004 dijelaskan bahwa:
“Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:
a. melakukan penuntutan;
b. melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
c. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidanabersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas
d. melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;”
Dari hal diatas tampak jelas kekacauan system. Dari sisi penyidikan Kasus Korupsi saja masih terjadi tumpang tindih kewenangan. KPK misalnya, yang menurut Undang-undang KPK diberikan kewenangan untuk menangani kasus korupsi diatas 1 milyar keatas tidak jarang menjadi Super body yang menggaruk kasus di bawah 1 milyar.
Ketimpangan dan tumpang tindih penyidikan ini tidak pelak menimbulkan permasalahan. Tarik ulur kasus, hingga saling tarik kewenangan yang mengakibatkan terganggunya penegakan hukum, khususnya terhadap pelaku tindak pidana korupsi.
Tidak hanya masalah tumpang tindih kewenangan penyidikan, di samping itu kekisruhan halus dalam pemerintahan menyebabkan pemberantasan KKN menjadi terhambat. Bahkan DPR berani menyatakan bahwa tindakan Korupsi dikategorikan sebagai Extraordinary Crime yang dapat menggoyahkan sendi-sendi berbangsa dan bernegara[2]. Umumnya tindakan korupsi dilakukan dengan menggunakan justifikasi legal formal, yang mereka buat sendiri, semakin mengukuhkan korupsi sebagai tindakan kejahatan luar biasa (Extra ordinary crime)[3]. Bahkan bisa dikatakan penyebab utama Krisis Moneter Tahun 1997 adalah Praktik Korupsi. Namun yang terjadi pasca reformasi Praktik Korupsi bukannya berkurang, Praktik Korupsi semakin meluas, baik secara kuantitas maupun kualitas, memasuki sendi-sendi kehidupan bernegara. Yang amat menyedihkan, praktik korupsi sudah terdesentralisasi sampai ke daerah-daerah sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah[4].
Pelaksanaan otonomi daerah yang memberikan kewenangan untuk mengurusi urusan otonomi diluar dari urusan-urusan yang dipegang oleh pemerintah pusat, sebagai mana diatur dalam Pasal 10 Ayat 3 UU No. 32 Tahun 2004:
a. Politik Luar Negeri;
b. Pertahanan;
c. Keamanan;
d. Yustisi;
e. Moneter dan Fiskal Nasional;dan
f. Agama.
Kemudian lebih lanjut Pasal 13 Ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 menjelaskan kewenangan dan urusan wajib Pemerintah Provinsi terdiri atas :
a. Perencanaan dan pengendalian pembangunan;
b. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
c. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
d. Penyediaan sarana dan prasarana umum;
e. Penanganan bidang kesehatan;
f. Penyelenggaraan Pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial;
g. Penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota;
h. Pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota;
i. Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota;
j. Pengendalian lingkungan hidup;
k. Pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota;
l. Pelayanan administrasi umum pemerintahan;
m. Pelayanan kependudukan dan catatan sipil
n. Pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota;
o. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota;
p. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
Sedangkan untuk pemerintah kabupaten kota yang menjadi urusan wajibnya menurut Pasal 14 Ayat (1) uu No.32 Tahun 2004 adalah:
a. Perencanaan dan pengendalian pembangunan;
b. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
c. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
d. Penyediaan sarana dan prasarana umum;
e. Penanganan bidang kesehatan;
f. Penyelenggaraan pendidikan;
g. Penanggulangan masalah sosial;
h. Pelayanan bidang ketenagakerjaaan;
i. Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah;
j. Pengendalian lingkungan hidup;
k. Pelayanan pertanahan;
l. Pelayanan kependudukan dan catatan sipil;
m. Pelayanan administrasi umum pemerintahan;
n. Pelayanan administrasi penanaman modal;
o. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan
p. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
Kewenangan tersebut menempatkannya menjadi lahan basah bagi oknum yang memanfaatkan otonomi daerah yang berkucuran dana untuk dikorupsi. Tidak sedikit kasus korupsi terkait dana otonomi daerah. Provinsi jambipun tidak terlepas dari permasalahan tersebut.
Tingginya angka korupsi di daerah dapat dilihat dari banyaknya jumlah tersangka dari data tahun 2008 yang berasal dari pemerintah daerah. Perhatikan table berikut :
Klasifikasi Aktor | Jabatan | Jumlah Tersangka | Persentase Pengungkapan |
TOP | Menteri (Mantan) | 2 | 1,14 % |
Midle | Gubernur, Walikota, Bupati, Anggota DPRD, Anggota Komisioner di Daerah, Direksi BUMN dan BUMD, Dirjen, Direktur POLDA, Ketua Pengadilan Negeri, Pimpinan Prroyek Provinsi | 67 | 38,3% |
Bottom | Kepala Dinas, Kepala Cabang BUMD, Staf/Karyawan PEMDA, Staf BUMN/BUMD, Staf DPRD, Pengururs Ormas, rekanan | 108 | 60,6% |
Sumber : Indonesia Corruption Watch, 2008
Menurut Andi Hamzah[5], bahwa tindak pidana korupsi merupakan bentuk perilaku menyimpang, tetapi karena berbagai pemberantasan ternyata tidak mampu mengikis habis masalah tersebut lebih disebabkan :
1. Karena persoalannya memang ruwet;
2. Karena sulitnya menemukan bukti;
3. Adanya kekuatan yang justru menghalangi permasalahan tersebut;
Selain kasus korupsi, kasus-kasus lain juga terlihat adem ayem walaupun reformasi dengan cita-citanya. Baru-baru ini kasus penangkapan pegawai kementerian kelautan dan perikanan semakin menambah deretan panjang kebobrokan penegakan hukum di Republik Indonesia. Kerancuan sistem juga semakin terlihat dengan tidak konsistennya perundang-undangan Indonesia.
Bentuk Negara misalnya. Pra amandemen Indonesia secara konstitusi Undang Undang Dasar 1945 mengakui bahwa Indonesia menganut sistem Rechstaat. Namun setelah amandemen kerancuan dan sistem modifikasi percampuran makin kentara antara sistem Rechstaat dengan Anglo saxon. Selain itu kerancuan sistem peradilan pidana makin jelas terlihat. Inkonstitusionalnya jabatan jaksa agung Hendarman supanji (yang akhirnya Rabu 22 September Gugatan ke MK di menangkan oleh Yusril Ihza Mahendra selaku penggugat) hingga merebaknya analisa bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perlu ditinjau eksistensinya mengingat KPK tidak diamanatkan UUDNKRI 1945. Ditambah lagi dengan kerancuan kewenangan penyidikan antara KPK, Kepolisian, dan kejaksaan.
Terlepas dari sistem perundang-undangan yang rancu dan tumpang tindih tersebut, moral penegak hukum kerap dipertanyakan kala dihadapkan dengan suatu kewajiban untuk melakukan penegakan hukum yang nota bene menjadi tugas dari para piohak penegak hukum. Hukum menjadi momok lahan basah, mengingat tidak jarak oknum memanfaatkan kebobrokan hukum Indonesia ini sebagai ajang bisnis hukum demi nilai prestisius ilegal.
Pasca reformasi yang membawa misi Reformasi ternyata tidak mampu memperbaiki moral penegak hukum. Beberapa kasus yang baru-baru ini terjadi di Negara Republik tercinta ini semakin menampakkan kebobrokan moral penegak hukum. Maraknya fenomena makelar kasus makin membuka lebar mata kita tentang kebobrokan moral penegak hukum. Kasus yang menimpa Gayus Tambunan yang santer terdengar hampir setiap hari di berbagai media belakangan ini menyeret berbagai nama aparat penegak hukum.
Budaya hukum masyarakat Indonesia pun dinilai rendah. Tidak jarang masyarakat sendiri menjadi faktor lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Masyarakat selalu berupaya menyelesaikan perkara hukum secara instan dan tidak jarang inkonstitusional. Hal ini menyebabkan lemahnya proses supremasi hukum di Indonesia.
Pasca reformasi budaya hukum masyarakat juga tetap berada tahap buruk. Hal yang paling mudah ditemukan (mungkin untuk koreksi pribadi) adalah dari pengurusan Surat Izin Mengemudi. Masyarakat sering kali tidak mau disibukkan dengan administrasi yang berbelit-belit. Dan tidak pelak jalan yang diambil adalah dengan mengambil jalan pintas yang tentunya tidak sejalan dengan aturan yang berlaku.
Dari gambaran diatas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa pasca reformasipun cita-cita supremasi hukum belum dapat terlaksana sepenuhnya, mengingat masih banyaknya kasus yang menunjukkan lemahnya supremasi hukum di Indonesia.
A. Faktor Yang Menghambat Supremasi Hukum
Penegakan hukum terkait cita-cita reformasi tidak dapat dilihat dari aspek hukum semata. Lawrence M. Friedman mengemukakan bahwa hukum itu harus dilihat sebagai suatu sistem hukum yang terdiri dari tiga komponen. Komponen-komponen tersebut adalah[6]:
1. Substansi hukum (legal substance), yaitu aturan-aturan dan norma-norma umum. Struktur hukum (legal structure), yaitu penegak hukum seperti Polisi, Jaksa, Hakim dan Pengacara serta institusi yang melahirkan produk-produk hukum.
2. Budaya hukum (legal culture), yaitu meliputi ide-ide, pandangan-pandangan tentang hukum, kebiasaan-kebiasaan, cara bepikir dan berlaku, merupakan bagian dari kebudayaan pada umumnya, yang dapat menyebabkan orang mematuhi atau sebaliknya, menyimpangi apa yang sudah dirumuskan dalam substansi hukum.
Adapun menurut Soerjono Soekanto[7] bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, yaitu :
1. Faktor hukumnya sendiri, yang terkait dengan peraturan perundang-undangan.
2. Faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun yang menerapkan hukum.
3. faktor sarana maupun fasilitas, yang mendukung penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat, yaitu lingkungan di mana hukum tersebut berlaku.
5. Faktor kebudayaan, yaitu hasil kerja, cipta dan rasa yang dilandasi pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Dengan demikian penegakan hukum di indonesia akan senantiasa memperhatikan kompleksitas dari aspek-aspek dan faktor penegakan hukum.
Dari dua pendapat diatas, setidaknya yang menjadi penyebab tidak mampunya Reformasi melakukan perbaikan suprtemasi hukum adalah sebagai berikut :
1. Kacaunya sistem hukum Indonesia
Tampak jelas permasalahan ini menggerogoti hukum indonesia. Tumpang tindih, ketimpangan, dan kerancuan sudah menjadi permasalahan umum di dalam Substansi hukum kita. Sehingga mengakibatkan terganggunya stabilitas penegakan hukum di indonesia. Dan ternyata reformasi tetap tidak mampu memperbaiki sistem hukum kita. Hal ini dapat di lihat dari masih banyaknya undang-undang yang perlu dipertanyakan eksistensi dan kelayakannya.
2. Lemahnya moral penegak hukum di Indonesia
Tidak terbantahkan lagi lemahnya moral penegak hukum di indonesia memang tampak jelas dan merusak tatanan cita-cita supremasi hukum di indonesia. Dalam beberapa kasus ternyata tidak jarang yang menjadi aktor pelanggaran dan lemahnya penegakan hukum adalah aparat penegak hukum itu sendiri. Baik itu aparat penegak hukum yang menjadi bagian dari sistem peradilan ataupun di luar dari pada itu.
3. Budaya hukum masyarakat Indonesia masih rendah
Masyarakat indonesia sendiri pun ternyata masih memiliki budaya ketaatan hukum yang teramat rendah. Kesejahteraan masyarakat yang masih rendah mengakibatkan tingginya angka kriminalitas, selain itu rendahnya tingkat pendidikan di beberapa kalangan masyarakat juga mempengaruhi lemahnya budaya ketaatan hukum masyarakat.
Namun tidak jarang sikap skeptis masyarakat terhadap penegak hukum membuat masyarakat makin melupakan hukum dan tentunya sangat berpengaruh terhadap supremasi hukum itu sendiri
4. Kurangnya sarana maupun prasarana penunjang penegakan hukum di Indonesia
Sarana dan prasarana penegakan hukum masih sangat kurang. Peralatan tempur dan militer misalnya, berumur tua dan tentunya sangat di ragukan kemampuannya dalam menunjang penegakan hukum di indonesia
[1] www.m-amienrais.com. Dikutip dari KAMMI dan pergulatan Reformasi
[2] Saldi Isra, Reformasi dan Masa Depan Kita, Media Indonesia, 2003
[3] Sudirman Said, “Nurani Dalam Melawan Korupsi” Di balik palu Mahkamah Konstitusi: Telaah Judicial Review terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi, MTI, 2005
[4] Ibid
[5] Andi Hamzah, “Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana”, Ghalia Indonesia, 1994, Hlm. 200
[6] Lawrence M. Friedman, Law and Society an Introduction, Prentice-Hall,Inc. New Jersey, 1975, hlm. 6-15.
[7] Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum, Bina Cipta Bandung, 2005 hlm.5.