ILustrasi: google.com
Redenominasi mata uang Rupiah sebentar lagi tidak sekadar wacana. Niatan Bank Indonesia (BI) agar redenominasi dimasukkan dalam Rancangan Undang-Undang tentang Mata Uang dipastikan terwujud. Soalnya, Pansus RUU Mata Uang dan Pemerintah baru saja merestui keinginan tersebut. Demikian disampaikan Wakil Ketua Komisi XI DPR Harry Azhar Azis, Kamis (17/3).
Gubernur BI Darmin Nasution bisa bernafas lega. Pasalnya, Pansus RUU Mata Uang dan Pemerintah menyepakati rencana redenominasi Rupiah masuk RUU Mata Uang. Setelah RUU ini disahkan DPR, maka redenominasi bisa dilakukan kapan saja dengan persetujuan parlemen. “Kami akhirnya setuju redenominasi Rupiah masuk RUU Mata Uang,” kata Harry.
Menurutnya, akan ada pasal tersendiri di dalam RUU Mata Uang yang mengatur mengenai redenominasi Rupiah. Bunyi beleid tersebut adalah “Perubahan harga Rupiah diusulkan oleh BI berkoordinasi dengan Pemerintah untuk mendapat persetujuan DPR”. Jika tak ada aral melintang, sambung Harry, RUU ini akan disahkan pada 5 atau 6 April mendatang.
Seperti diketahui, BI sangat berkeinginan agar redenominasi Rupiah berlaku di Tanah Air. Bahkan, otoritas perbankan itu mengklaim Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah memberikan lampu hijau untuk kebijakan yang satu ini. Deputi Gubernur BI Budi Rochadi mengatakan, SBY telah menunjuk Wakil Presiden Boediono sebagai Ketua Tim Koordinasi Redenominasi untuk membahas hal ini dengan bank sentral.
Jika wacana redenominasi ini menjadi kenyataan, ada beberapa tahap yang mesti dilalui oleh BI yakni; tahun 2011-2012 menjadi tahap sosialisasi, tahun 2013-2015 menjadi masa transisi, tahun 2016-2018 tahap penarikan mata uang lama, tahun 2019-2022 tahap penghapusan tanda redenominasi di mata uang.
Namun, ekonom dari Institute for Development Economy and Finance (Indef), Aviliani, mengingatkan, tidak sedikit anggaran yang mesti dikeluarkan, bila akhirnya BI jadi menerapkan kebijakan tersebut. “setidaknya, BI perlu mengeluarkan dana besar untuk mengganti dan mencetak uang baru,” ujarnya.
Peringatan yang dikatakan Aviliani dijawab Harry. Menurutnya, BI boleh kapan saja menerapkan kebijakan itu, tidak harus setelah disahkannya RUU Mata Uang. Apalagi, lanjutnya, BI menyatakan stok uang yang ada saat ini masih banyak. “Itu bisa dilakukan kapan saja,” timpalnya.
Kabar gembira juga datang untuk Pemerintah, khususnya Menteri Keuangan. Soalnya, selain Gubernur BI, Menkeu bakal ikut membubuhkan tanda tangannya di uang kertas. Menurut Harry, enam fraksi sudah menyetujui hal ini, sedangkan tiga lainnya menolak. “Tapi biasanya ketika enam fraksi setuju, kemungkinan besar keputusannya Menkeu akan ikut tanda tangan di mata uang,” terang politisi Partai Golkar ini.
Sebelumnya, Menkeu Agus Martowardojo mengusulkan agar Pemerintah turut menandatangani mata uang rupiah yang selama ini hanya diteken oleh Dewan Gubernur, Deputi Gubernur Senior, dan Deputi Gubernur BI. Agus beranggapan, sudah sepantasnya Pemerintah ikut menandatangani mata uang rupiah karena itu menunjukkan salah satu bentuk kekuasaan pemerintahan yang dipegang Presiden RI sebagai pemegang kuasa di bidang pengelola keuangan negara.
Kekuasaan itu sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang menyatakan, presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. “Jadi sudah sepantasnya Pemerintah ikut menandatangani mata uang,” tandas mantan Dirut Bank Mandiri itu.
Sumber: Hukum Online