Oleh; Dony Yusra Pebrianto,SH
17 Agustus 1945 proklamator Indonesia Atas nama bangsa Indonesia Soekarno dan Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia dari cengkraman imperialis yang menguasai Negara sang garuda ini hampir 3,5 abad lebih. Penderitaan yang teramat panjang telah menjadi goresan luka dalam sejarah masyarakat Indonesia.
Namun penjajahan belum berakhir. Walaupun penjajahan gaya ini dan abad ini tanpa menggunakan senjata berpeluru mesiu dan baja ataupun anak panah, tetapi cukup mematikan bagi perkembangan dan pertumbuhan bangsa. Dan senjata tersebut adalah dengan regulasi undang-undang.
Pada tahun 1997 di Tokyo jepang lahir lah sebuah protokol yang diberi nama protokol Kyoto. Protokol Kyoto merupakan hasil dari Conference of Parties[1] (CoP) 3 yang diadakan di Kyoto, Jepang pada bulan Desember 1997. Protokol Kyoto menghasilkan keputusan utama berupa komitmen dari negara-negara untuk mengurangi emisi gas rumah kaca mereka setidaknya sebesar rata-rata 5 % di bawah level emisi tahun 1990 pada periode 2008 – 2012 (artikel 3 Protokol Kyoto). Protokol ini juga mencakup 3 instrumen atau mekanisme fleksibel yang berbasis pasar yang dikenal sebagai Mekanisme Kyoto, yang memberikan kesempatan kepada negara-negara untuk dapat membeli atau mendapat kredit pengurangan emisi[2] melalui investasi dalam proyek-proyek pengurangan efek negatif perubahan iklim.Protokol ini lahir dari adanya kekhawatiran berkaitan dengan terjadinya perubahan iklim. Hal tersebut sebenarnya telah terlahir lebih dari seabad yang lalu. Svante Arrhenius, seorang ilmuwan Swedia pada tahun 1894 menyatakan bahwa CO2 adalah unsur terpenting yang mengontrol suhu bumi di atmosfer[3]. Berakhirnya jaman es ditandai dengan mencairnya gunung-gunung es di lingkaran kutub sehingga membentuk topografi darat dan luas lautan seperti yang ada sekarang, menurut Arrhenius, terjadi karena penambahan konsentrasi CO2 di udara.Selanjutnya Arrhenius membuktikan bahwa kadar CO2 pada batuan es yang berasal dari jaman es hanya separuh dari konsentrasi yang terkandung di dalam salju dari jamannya[4]. Karenanya, ia berpendapat kenaikan suhu atmosfer akan terjadi beriringan dengan naiknya konsentrasi CO2 yang akan membawa dampak konsumsi bahan bakar fosil, yang menjadi sumber emisi CO2, dapat menyebabkan lonjakan suhu bumi yang tidak terkontrol. Penumpukan karbon dioksida di atmosfer itu seperti selubung yang menghadang radiasi panas dari bumi seisinya keluar angkasa. Proses itulah yang menjaga keseimbangan panas. Dengan demikian, tabir CO2 dapat dianalogikan dengan atap serta dinding rumah kaca. Ia membiarkan radiasi matahari masuk, tapi mencegah radiasi panasnya kembali terpancar keluar, yang kemudian mengakibatkan suhu rumah kaca lebih tinggi dari sekitarnya. Gejala pemanasan bumi itu yang sering disebut sebagai efek rumah kaca.Lonjakan konsentrasi CO2 tersebut terjadi setelah era revolusi industri. Apabila tidak ada upaya kongkret untuk mereduksi emisi CO2 maka musibah perubahan iklim akan dimulai. Pada akhirnya kondisi lingkungan yang mengkhawatirkan ini mengundang perhatian dari kalangan ilmuwan, cendikiawan dan aktivis lingkungan, yang kemudian tertuang dalam suatu konferensi di Villach, Austria tahun 1985[5] . Konferensi tersebut kemudian menghasilkan evaluasi pertama dan otoritatif untuk mengatakan seriusnya potensi kerusakan yang diakibatkan oleh perubahan iklim.Kesadaran akan bahaya lingkungan hidup tersebut menyebar hingga ke tingkat PBB. Sidang umum PBB kemudian memprakarsai pembentukan INC (Intergovernmental Negotiating Committee). Tugasnya adalah untuk menegoisasikan draft materi untuk konvensi perubahan iklim. INC bertemu enam kali sebelum menghasilkan draft yang kemudian dibawa pada United Nations Conference on Environment and Development di Rio de Jeneiro pada tahun 1992. Pertemuan itu dikenal juga dengan nama Earth Summit atau KTT Bumi.Hasil pertemuan tersebut menghasilkan dua keputusan penting[6], yaitu Konvensi PBB tentang keanekaragaman Hayati dan Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang perubahan iklim. Keduanya menjadi komitmen politik dari 155 negara untuk menjaga lingkungan bumi.
Beberapa pertemuan antara Negara pendukung konvensi (CoP) [7]menghasilkan beberapa mandat yang berkaitan dengan isu lingkungan. Pada CoP ketiga yang berlangsung di Kyoto, 1997, melahirkan dokumen penting Protokol Kyoto. Adapun prinsip-prinsip dari Protokol Kyoto yaitu[8]:
1. Protokol ini menjadi tanggungan pemerintah dan diatur dalam kesepakatan global yang dilindungi PBB.
2. Pemerintahan dibagi dalam dua kategori umum:
a. Negara-negara Annex I adalah Negara maju yang dianggap bertanggung jawab terhadap emisi gas sejak revolusi industry, 150 tahun silam. Mereka mengemban tugas menurunkan emisi gas rumah kaca dan harus melaporkan emisi gasnya tiap tahun. Negara Annex I ini terdiri dari 38 negara industri maju di Eropa, Amerika Utara, Australia. Jepang merupakan satu-satunya Negara Asia yang masuk dalam kategori ini.b. Negara-negara non Annex I adalah Negara berkembang. Mereka tidak mempunyai kewajiban menurunkan emisi gas rumah kaca, tapi dapat berpartisipasi melalui CDM.
3. Negara-negara Annex I harus mengurangi emisi gas rumah kaca secara kolektif sebesar 5,2 % dibandingkan dengan laporan pada tahun 1990[9].
4. Pengurangan emisi dari enam gas rumah kaca[10] dihitung sebagai rata-rata selama masa lima tahun antara 2008 dan 2012. Target nasional berkisar dari pengurangan 8% untuk Uni Eropa, 7% untuk Amerika Serikat, 6% untuk Jepang, 0% untuk Rusia dan penambahan yang diijinkan sebesar 8% untuk Australia dan 10% untuk Islandia.
5. Batas pengurangan tersebut akan berakhir pada tahun 2013, dan akan dibuat target reduksi karbon yang baru. Jika pada tahun 2012 negara Annex I tidak mencapai target, selain tetap harus menutup kekurangannya, pasca 2012 negara tersebut harus membayar denda sebesar 30% dari berat karbon dalam Annex I.
6. Protokol Kyoto memiliki mekanisme fleksibel yang memungkinkan Negara Annex I mencapai batas emisi gasnya dengan membeli “kredit pengurangan emisi” dari Negara lain. Pembelian dapat dilakukan dengan uang tunai atau berupa pendanaan untuk sebuah proyek penurunan emisi gas buang dari Negara non-Annex I melalui mekanisme CDM. Dapat juga melalui pengerjaan proyek di sesame Annex I melalui program joint implementation (JI) atau membeli langsung dari Negara Annex I yang sudah berada di bawah target.
7. Sebuah proyek baru dapat dijual dalam perdagangan emisi karbon apabila sudah mendapat persetujuan dari Dewan Eksekutif CDM yang berpusat di Bonn, Jerman. Hanya dewan eksekutif yang berhak mengeluarkan akreditasi certified emission reductions (CERs) bagi sebuah proyek untuk dapat diperjualbelikan.
8. Negara non-Annex I yang tidak mempunyai kewajiban untuk menurunkan emisi gas buang, tapi jika mengimplementasikan proyek gas rumah kaca yang dapat menurunkan emisi, ia akan menerima kredit karbon yang dapat dijual pada Negara Annex I.
Namun yang menjadi persoalan adalah, Negara berkembang seperti Indonesia dijadikan sebagai paru-paru dunia dan memiliki kewajiban untuk mengelola hutan dan melindunginya. Sebagai mana kita kita ketahui bahwa Indonesia memiliki sebuah kekayaan yang teramat istimew, yakni hutan yang teramat subur dan indah. Namun sayang, kita tidak leluasa menikmati kekayaan kita tersebut. Dalihnya adalah perbuatan tersebut adalah illegal loging.
Tapi apa pun itu saya sudah terlanjur menstatemenkan dalam diri bahwa apapu bentuk environment law secara internasional tetaplah imperialism gaya baru. Kita punya hutan, dan kita berhak mengaturnya sendiri, apakah kita kurang cerdas untuk itu?
[1] Konferensi internasional untuk membahas masalah-masalah lingkungan khususnya pemanasan global yang diadakan setahun sekali sejak tahun 1995 oleh UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change), dan berada di bawah naungan PBB yaitu UNEP (United Nations Environment Program)
[2] Dikenal juga dengan nama CERs (Certified Emission Reductions) sangat penting untuk dikumpulkan negara-negara dalam rangka mencapai target pengurangan emisi nasional mereka hingga jangka waktu yang ditentukan.
[3] “Mandat Nusa Dua”, Gatra no. 02 Tahun XIV, tanggal 22-28 November 2007, h. 12
[4] Ibid
[5] Ibid, h. 14
[6] Ibid
[7] CoP ini adalah Negara-negara yang tergabung dalam UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change).
[8] “Selamat Hari Kyoto”, op.cit, h. 122
[9] Jika dibandingkan dengan perkiraan jumlah emisi pada Tahun 2010 tanpa Protokol, target ini berarti pengurangan sebesar 29%.
[10] Karbon Dioksida, Metan, Nitrous Axide, Sulfur Heksafluorida, HFC dan PFC.
Penulis adalah Mahasiswa Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Jambi dan Tim Jambi Law Club (JLC)