Perlindungan Hak-Hak Tersangka Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Bagian II)
Oleh
CSA Teddy Lesmana*)
II. KERANGKA TEORI
Konsepsi HAM yang melekat pada manusia ini diakui secara universal, tetapi pemahaman dan penerapannya disesuaikan dengan latar belakang sejarah dan budaya dari masing-masing masyarakat. Dengan demikian, kalau kita telusuri sejarah dan budaya bangsa Indonesia, maka akan terlihat bahwa perlindungan HAM berkembang dari masa ke masa mengikuti perkembangan hukum yang berlaku.
Menurut O.C Kaligis,[1] Hak Asasi Manusia (HAM) dan perlindungannya yang dijalankan melalui suatu mekanisme hukum merupakan refleksi dari konsep negara hukum. Setiap negara hukum memiliki kewajiban untuk menajmin dan menghormati HAM, melindungi serta menegakannya. Mekanisme negara hukum telah mengakui bahwa sejak lahir manusia membawa hak-hak yang melekat dalam dirinya sebagai manusia.
Indonesia sebagai negara hukum mewujudkan bentuk pengakuan tersebut dalam pembangunan hukum nasionalnya sejak masa kemerdekaan dimulai. Perwujudan itu dapat ditemukan diantaranya dalam Pembukaan dan dirumuskan dalam Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945) yaitu,
“Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan peri-keadilan....
... melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, ... “.
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun” (Pasal 28I ayat (1) UUD 1945).
(Pembukaan UUD 1945)
Rumusan tersebut menunjukan pengakuan dan bentuk dasar perlindungan negara terhadap HAM, dimana HAM dipandang sebagai sesuatu yang vital untuk menjaga kehidupan manusia tetap manusiawi dan menjaga hak yang paling hakiki, yaitu hak untuk menjadi manusia.
Ketentuan UUD 1945 di atas juga menegaskan jaminan atas perlindungan HAM yang pada akhirnya merujuk suatu prinsip equality before the law (persamaan di hadapan hukum). Hal itu tentu menimbulkan konsekuensi bahwa pemerintah atau penguasa negara termasuk badan peradilan harus memperlakukan setiap orang secara adil. Konsekuensi ini mengandung pengertian bahwa tidak ada alasan yang membenarkan suatu paksaan yang melawan kemauan orang lain dalam bentuk apapun. Namun pada perkembangannya, sesuai dengan prinsip equality before the law yang dianut Indonesia, persamaan dihadapan hukum ini merupakan persamaan kedudukan dan kebebasan yang bertanggung jawab.
Implementasi prinsip equality before the law dalam sistem peradilan di Indonesia khususnya Sistem Peradilan Pidana, memiliki kaitan yang sangat erat dalam rangka melaksanakan perlindungan HAM. Dalam Sistem Peradilan Pidana, HAM merupakan sesuatu yang sangat penting karena menyangkut dengan adanya hak tersangka yang harus dilindungi.
Berangkat dari uraian di atas, kalau kita perhatikan pembaharuan hukum acara pidana Indonesia, semakin menegaskan keseriusan Indonesia sebagai negara hukum dalam rangka mengakui dan melindungi HAM. Hal ini dikemukakan dalam landasan tujuan pada konsideran KUHAP huruf “c” yang menyatakan;
Bahwa pembangunan hukum nasional yang demikian itu dibidang hukum acara pidana adalah agar masyarakat menghayati hak dan kewajibannya dan untuk meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenangnya masing-masing, ke arah tegaknya hukum, keadilan, dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
KUHAP telah mengangkat dan menempatkan seorang manusia dalam kedudukan yang bermartabat sebagai makhluk ciptaan Tuhan. KUHAP menempatkan seorang manusia dalam posisi dan kedudukan yang harus diperlakukan sesuai dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan (his entity and dignity as a human being). Sekalipun penegakan hukum itu memang mutlak menjadi suatu keharusan yang tidak bisa ditawar, tetapi hak-hak asasi manusia (HAM) seorang tersangka tidak boleh diabaikan atau dilanggar.
Untuk mengimplementasikan tujuan perlindungan harkat dan martabat tersebut, KUHAP membentuk suatu pola penegakan hukum pidana yang dikenal dengan istilah “Sistem Peradilan Pidana” (criminal justice system). Sistem yang dibangun KUHAP ini kemudian melahirkan pihak-pihak penegak hukum (sub-sistem) yang terdiri dari; Penyidik, Penuntut Umum, Pengadilan, Pemasyarakatan, dan Bantuan Hukum. Setiap sub-sistem tersebut merupakan lembaga yang berdiri sendiri baik dari segi kelembagaan maupun dari segi fungsi dan tugas (diferensiasi fungsional).
Sistem peradilan pidana ini dijalankan dengan berlandaskan asas the right due process of law, yaitu bahwa setiap penegakan dan penerapan hukum pidana harus sesuai dengan “persyaratan konstitusional“ serta harus “menaati hukum“ oleh karena itu prinsip due process of law tidak membolehkan pelanggaran terhadap suatu bagian ketentuan hukum dengan dalih guna menegakkan bagian hukum yang lain. Artinya menekankan harus ada keseimbangan dalam penegakan hukum, yaitu antara penegakan hukum dan perlindungan hak-hak asasi seorang yang diduga pelaku tindak pidana (tersangka).
Namun demikian, pada kenyataannya KUHAP sebagai suatu pedoman pelaksanaan peradilan pidana, ternyata belum lengkap dan justru belum mencerminkan pengaturan mekanisme sistem peradilan yang melindungi hak-hak seorang manusia, dalam hal ini seorang (diduga) pelaku tindak pidana (tersangka). Masih banyak ketentuan perlindungan hak-hak tersangka yang belum diatur di dalam KUHAP.
Sebagian rumusan-rumusan pasal dalam KUHAP juga memberikan peluang untuk terjadinya pelanngaran tersebut. Peluang untuk terjadinya penggunaan wewenang yang berlebihan itu misalnya terlihat pada rumusan Pasal 5 ayat (1) huruf a butir 4 yang menyatakan penyidik dapat “mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab”. Sekalipun rumusannya kabur dan tidak jelas, rumusan pasal ini memberi keleluasaan kepada Penyidik untuk bertindak semaunya, dengan alasan bahwa tindakan yang dilakukan tersebut merupakan tindakan keharusan dan masih selaras dengan wewenang sebagaimana diatur dalam rumusan-rumusan sebelumnya.[2] Pelanggaran-pelanggaran tersebut dapat berupa pelanggaran prosedur sampai pada pelanggaran berat seperti rekayasa saksi dan rekayasa bukti-bukti suatu perkara.
Pelanggaran-pelanggaran hak asasi tersangka oleh aparat penekgak hukum selanjutnya akan menimbulkan miscarriage of justice (kegagalan dalam menegakan keadilan). Dimana penegak hukum yang mempunyai kuasa dan wewenang untuk mengupayakan tercapainya keadilan, ternyata menggunakan kuasa dan wewenang yang ada padanya justru untuk memberikan ketidak adilan.[3]
Bagi integritas moral proses pidana (moral integrity of the criminal proses) sendiri, kegagalan dalam menegakan keadilan (miscarriage of justice) ini akan berakibat fatal, yaitu dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum. (Bersambung) (Bagian I)
___________________________
Penulis:
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Jambi - Bagian dari Tim Penulis Blog www.jambilawclub.blogspot.com