Ilustrasi: google.com
Perlindungan Hak-Hak Tersangka Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Bagian I)
Oleh
CSA Teddy Lesmana*)
I. PENDAHULUAN
Hukum Acara Pidana Indonesia sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981, yang lebih dikenal dengan KUHAP, merupakan suatu peraturan yang memuat tentang bagaimana caranya aparat penegak hukum : Polisi, Jaksa, Hakim dan Penasehat Hukum menjalankan wewenangnya menegakkan hukum pidana materiil (KUHP). Menurut Undang-undang ini para penegak hukum harus memperhatikan dua kepentingan hukum secara berimbang, yaitu kepentingan perorangan (hak seseorang) dengan kepentingan masyarakat dalam suatu proses beracara pidana.
Lahirnya KUHAP menurut M.Yahya Harahap[1] merupakan pembaharuan hukum yang signifikan. Bahwa KUHAP telah mengangkat dan menempatkan seorang manusia dalam kedudukan yang bermartabat sebagai makhluk ciptaan Tuhan. KUHAP menempatkan seorang manusia dalam posisi dan kedudukan yang harus diperlakukan sesuai dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan (his entity and dignity as a human being). Sekalipun penegakan hukum itu memang mutlak menjadi suatu keharusan yang tidak bisa ditawar, tetapi hak-hak asasi manusia (HAM) seorang tersangka tidak boleh diabaikan atau dilanggar.
Ketegasan KUHAP dalam mengangkat harkat dan martabat manusia terlihat dari garis-garis tujuan yang hendak dicapai KUHAP, yang dasar-dasarnya terdapat pada huruf “c” konsideransnya yang menyatakan :
bahwa pembangunan hukum nasional yang demikian itu dibidang hukum acara pidana adalah agar masyarakat menghayati hak dan kewajibannya dan untuk meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenangnya masing-masing, ke arah tegaknya hukum, keadilan, dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Untuk mengimplementasikan tujuan perlindungan harkat dan martabat tersebut, KUHAP membentuk suatu pola penegakan hukum pidana yang dikenal dengan istilah “Sistem Peradilan Pidana” (criminal justice system). Sistem yang dibangun KUHAP ini kemudian melahirkan pihak-pihak penegak hukum (sub-sistem) yang terdiri dari; Penyidik, Penuntut Umum, Pengadilan, Pemasyarakatan, dan Bantuan Hukum. Setiap sub-sistem tersebut merupakan lembaga yang berdiri sendiri baik dari segi kelembagaan maupun dari segi fungsi dan tugas (diferensiasi fungsional).
Sistem peradilan pidana dijalankan dengan berlandaskan asas the right due process of law, yaitu bahwa setiap penegakan dan penerapan hukum pidana harus sesuai dengan “persyaratan konstitusional“ serta harus “menaati hukum“ oleh karena itu prinsip due process of law tidak membolehkan pelanggaran terhadap suatu bagian ketentuan hukum dengan dalih guna menegakkan bagian hukum yang lain. Artinya menekankan harus ada keseimbangan dalam penegakan hukum, yaitu antara penegakan hukum dan perlindungan hak-hak asasi seorang yang diduga pelaku tindak pidana (tersangka).
Dengan fungsi dan tugas yang diberikan KUHAP kepada masing-masing sub-sistem tersebut, akhirnya menempatkan Penyidik sebagai penentu berjalan atau tidaknya suatu upaya penyelesaian perkara pidana melalui proses peradilan pidana. Peranan dan fungsi penyidikan juga menjadi sangat esensial, karena terkait dengan berita acara pemerikasaan (BAP) yang merupakan “nyawa” dari suatu proses peradilan baik dari materi muatan maupun prosedurnya.
Mengingat pada tujuan lahirnya KUHAP diatas, maka persoalan sistem pemeriksaan terhadap tersangka akan membawa pengaruh besar terhadap pencapaian tujuan dimaksud. Dalam konteks ini, KUHAP membagi dua sistem pemeriksaan yang dilakukan terhadap tersangka/terdakwa yaitu : (a) pemeriksaan permulaan (pendahuluan) yang dilakukan oleh kepolisian/penyidik dan (b) pemeriksaan persidangan yang dilakukan oleh hakim.
Dalam sistem pemeriksaan permulaan, ketentuan KUHAP menganut azas pemeriksaan Inquisitor Lunak artinya bahwa dalam pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik terhadap tersangka boleh didampingi oleh Penasehat Hukum yang mengikuti jalannya pemeriksaan secara pasif yakni Penasehat hukum diperkenankan untuk melihat, mendengar dan memberikan petunjuk dalam proses pemeriksaan terhadap tersangka. Dalam praktek, pemeriksaan dalam sistem Inquisitor Lunak ini, tersangka boleh meminta kepada Penasehat Hukum penjelasan-penjelasan tentang maksud dari pertanyaan-pertanyaan dari penyidik, terutama terhadap pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya “menjerat”.
Atas dasar sistem di atas, maka tersangka dalam proses pemeriksaan pendahuluan (Pasal 52 dan 184 (1) KUHAP) tidak diperlakukan sebagai Terdakwa (obyek) yang harus diperiksa, melainkan tersangka dilakukan sebagai subyek, yang artinya tersangka tidak dapat dipaksa untuk mengaku bersalah dengan cara paksaan, tekanan ataupun ancaman-ancaman. Ketentuan ini jelas terdapat dalam pasal di atas (Pasal 52 dan 184 ayat (1)) KUHAP, yang intinya menyatakan bahwa tujuan pemeriksaan pendahuluan oleh penyidik tidak untuk mendapatkan pengakuan tersangka tetapi untuk mendapatkan keterangan tersangka mengenai peristiwa pidana yang dipersangkakan kepadanya.
Untuk itu KUHAP cukup banyak mengatur ketentuan mengenai penyidikan suatu tindak pidana. Ketentuan-ketentuan tersebut antara lain diatur dalam Bab IV, Bagian Kesatu, Pasal 4-12, kemudian Pasal 16-19 tentang penggunaan upaya paksa (dwang middelen), Pasal 32-49 tentang kewajiban membuat BAP. Selain itu, pada Bab XIV, Pasal 102-136 juga diatur mengenai tekhnis-tekhnis pelaksanaan tugas dan fungsi tersebut.
Persoalannya adalah, jika ketentuan-ketentuan di atas dikaitkan dengan bagaimana imlplementasi perlindungan hak-hak manusia (tersangka) dalam KUHAP, terdapat kesenjangan yang cukup signifikan. Karena ketentuan-ketentuan tersebut memberikan kewenangan dan keleluasaan kepada Penyidik untuk melakukan “serangkaian tindakan”. Pada kenyataannya, meskipun “serangkaian tindakan” itu harus didasarkan pada ketentuan hukum, tetapi dalam prakteknya “serangkaian tindakan” tersebut malah menjadi “aktor” pelanggar hak-hak manusia (tersangka). Hal ini disebabkan karena besarnya kewenangan yang diberikan undang-undang, serta sebagian rumusan-rumusan pasal dalam KUHAP sendiri memberikan peluang untuk terjadinya pelanngaran tersebut.
Peluang untuk terjadinya penggunaan wewenang yang berlebihan itu misalnya terlihat pada rumusan Pasal 5 ayat (1) huruf a butir 4 yang menyatakan penyidik dapat “mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab”. Sekalipun rumusannya kabur dan tidak jelas, rumusan pasal ini memberi keleluasaan kepada Penyidik untuk bertindak semaunya, dengan alasan bahwa tindakan yang dilakukan tersebut merupakan tindakan keharusan dan masih selaras dengan wewenang sebagaimana diatur dalam rumusan-rumusan sebelumnya.[2] Pelanggaran-pelanggaran tersebut dapat berupa pelanggaran prosedur sampai pada pelanggaran berat seperti rekayasa saksi dan rekayasa bukti-bukti suatu perkara.
Salah satu contoh pelanggaran fenomenal yang terjadi beberapa waktu lalu, misalnya pada kasus David Eko Prianto dan Imam Hambali alias Kemat. [3] Vonis hakim menyatakan mereka terbukti membunuh Asrori yang mayatnya ditemukan di kebun tebu, Jombang. Ternyata, mayat yang tercampak di kebun tebu itu bukan Asrori. Mayat Asrori sendiri belakangan diketahui terkubur di luar rumah orang tua Very Idam Heniansyah alias Riyan Si Jagal Dari Jombang. Riyan mengakui membunuh bahwa dialah yang membunuh Asrori. Polisi, yang mengawali penyidikan pembunuhan ini dengan uji DNA, telah pula memastikan bahwa mayat yang berhasil di angkat dari belakang rumah orang tua Riyan itu memang benar Asrori. Setelah itu, polisi juga akhirnya dapat mengidentifikasi mayat di kebun tebu yang awalnya diduga sebagai mayat Asrori. Mayat itu ternyata mayat Ahmad Fauzin Suyanto alias Antonius. Polisi pun telah dapat mengidentifikasi dan menangkap tersangka pembunuhnya yaitu Rudi Hartono alias Rangga.
Terkait dengan kasus di atas, fakta yang mengejutkan adalah bahwa para tersangka (David Eko Prianto dan Imam Hambali alias Kemat) tersebut ternyata dipaksa untuk menandatangani BAP hasil rekayasa penyidik pada saat penyidikan. Mereka dipaksa untuk mengakui perbuatan yang tidak mereka lakukan. Terungkapnya kasus salah mengadili (wrongful conviction) ini merupakan kegagalan dalam menegakan keadilan (miscarriage of justice) yang disebabkan proses penyidikan yang tidak sesuai dengan fungsi sebagaiman diatur KUHAP. Kegagalan ini menjadi kegagalan sistemik pada peradilan pidana Indonesia yang pada akhirnya menghasilkan vonis hakim (sebagai produk peradilan) yang salah. (Bersambung)
[1] M. Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, Ed. 2, Cet. 8. Jakarta : Sinar Grapika, 2006. Hlm. 1-2.
[2] M. Yahya Harahap. Op., Cit. Hlm 106.
[3] Dikutip dari http//www.law-insight.blogspot.com/kasus-kasus-menarik/ tanggal 27 November 2009.
___________________________
Penulis:
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Jambi - Bagian dari Tim Penulis Blog www.jambilawclub.blogspot.com