Perbuatan Melawan Hukum Materiil (Bagian III)
C. DIMENSI DAN IMPLEMENTASI “PERBUATAN MELAWAN HUKUM MATERIIL” DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PADA PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Ternyata dimensi perbuatan melawan hukum materiil baik fungsi positif maupun fungsi negatif dalam tindak pidana korupsi mengalami keadaan mati suri oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006. Tegasnya, putusan Mahkamah Konstitusi telah menghilangkan dimensi perbuatan melawan hukum materiil. Apabila dideskripsikan secara global ada beberapa argumentasi sebagai ratio decidendi putusan Mahkamah Konstitusi meniadakan nuansa perbuatan melawan hukum materiil tersebut.
Pertama, penjelasan ketentuan Pasal 2 ayat (1) kalimat bagian pertama UU Nomor 31 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 yang berbunyi, “Yang dimaksud dengan secara melawan hukum” dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana”, hakikatnya penjelasan pasal tersebut memperluas kategori unsur “melawan hukum” dalam hukum pidana, tidak lagi sebagai formele wederrechtelijkheid melainkan juga dalam arti materiele wederrechtelijkheid. Konsekuensi logis dimensi demikian maka meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan secara formil dalam pengertian bersifat onwetmatig, namun apabila menurut ukuran yang dianut dalam masyarakat, yaitu norma-norma sosial yang memandang satu perbuatan sebagai perbuatan tercela sehingga telah melanggar kepatutan, kehati-hatian dan keharusan dalam masyarakat maka dipandang telah memenuhi unsur melawan hukum (wederrechtelijk). Ukuran yang dipergunakan adalah hukum atau peraturan tidak tertulis.
Rasa keadilan (rectsgevoel), norma kesusilaan atau etik, dan norma-norma moral yang berlaku di masyarakat telah cukup menjadi kretaria perbuatan tersebut bersifat melawan hukum, meskipun hanya dikaji dari perspektif secara materiil. Konsekuensi logis penjelasan UU tersebut telah melahirkan norma baru karena digunakan ukuran tidak tertulis dalam UU secara formal untuk menentukan perbuatan yang dapat dipidana. Selain itu, penjelasan demikian juga telah menyebabkan kretaria perbuatan melawan hukum (pasal 1365 KUH Perdata) yang dikenal dalam hukum perdata yang dikembangkan sebagai yurisprudensi mengenai perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad), seolah-olah telah diterima menjadi satu ukuran melawan hukum dalam hukum pidana (wederrechtelijkheid). Oleh karena itu, apa yang patut dan memenuhi syarat moralitas dan rasa keadilan yang diakui dalam masyarakat, yang berbeda-beda dari satu daerah ke daerah lain, akan mengakibatkan bahwa apa yang di satu daerah merupakan perbuatan yang melawan hukum, di daerah lain boleh jadi bukan merupakan perbuatan melawan hukum.
Kedua, dikaji dari praktik pembentukan perundang-undangan yang baik sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-III/2005 yang juga diakui mengikat secara hukum, penjelasan berfungsi untuk menjelaskan substansi norma yang terdapat dalam pasal dan tidak menambahkan norma baru, apalagi memuat substansi yang sama sekali bertentangan dengan norma yang dijelaskan.
Ketentuan Butir E Lampiran UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan antara lain menentukan penjelasan berfungsi sebagai tafsiran resmi pembentuk peraturan perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena itu penjelasan hanya memuat uraian atau jabaran lebih lanjut norma yang diatur dalam batang tubuh sehingga penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma batang tubuh, tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan norma yang dijelaskan, berikutnya penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut dan oleh karena itu dalam penjelasan dihindari rumusan yang isinya memuat perubahan terselubung terhadap ketentuan perundang-undangan yang bersangkutan.
Ketiga, Mahkamah Konstitusi menilai memang terdapat persoalan konstitusionalitas dalam kalimat pertama penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 karena ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 mengakui dan melindungi hak konstitusional warga negara untuk memperoleh jaminan dan perlindungan hukum yang pasti, dengan mana dalam bidang hukum pidana diterjemahkan sebagai asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, bahwa asas tersebut merupakan satu tuntutan akan kepastian hukum dimana orang hanya dapat dituntut dan diadili atas dasar suatu perundang-undangan yang tertulis (lex scripta) yang telah ada terlebih dahulu. Hal demikian menuntut bahwa suatu tindak pidana memiliki unsur melawan hukum, yang harus secara tertulis lebih dahulu berlaku, yang merumuskan perbuatan apa atau akibat apa dari perbuatan manusia secara jelas dan ketat yang dilarang sehingga karenanya dapat dituntut dan dipidana, sesuai dengan prinsip nullum crimen sine lege stricta. Oleh karena itu konsep melawan hukum yang secara formil tertulis (formele wederrechtelijk), yang mewajibkan pembuat UU untuk merumuskan secermat dan serinci mungkin merupakan syarat untuk menjamin kepastian hukum (lex certa) atau yang dikenal juga dengan istilah bestimmheitsgebot.
Keempat, Mahkamah Konstitusi berpendirian bahwa konsep melawan hukum materiil (materiele wederrechtelijkheid) dengan titik tolak pada hukum tidak tertulis dalam ukuran kepatutan, kehati-hatian dan kecermatan yang hidup dalam masyarakat, sebagai satu norma keadilan, adalah merupakan ukuran yang tidak pasti, dan berbeda-beda dari satu lingkungan masyarakat tertentu kelingkungan masyarakat lainnya, sehingga apa yang melawan hukum di satu tempat mungkin di tempat lain diterima dan diakui sebagai sesuatu yang sah dan tidak melawan hukum, menurut ukuran yang dikenal dalam kehidupan masyarakat setempat sehingga penjelasan Pasal 2 ayat (1) kalimat pertama UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 merupakan hal yang tidak sesuai dengan perlindungan dan jaminan kepastian hukum yang adil yang dimuat dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sehingga dengan demikian Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 sepanjang mengenai frasa “Yang dimaksud dengan secara melawan hukum” dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana”, adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Dikaji dari dimensinya maka perbuatan melawan hukum materiil menjadi mati suri oleh Putusan Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi dikaji dari praktik peradilan khususnya terhadap perkara tindak pidana korupsi dalam beberapa putusan Mahkamah Agung RI hakikatnya ada yang tidak menerapkan perbuatan melawan hukum materiil sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi dan tidak sedikit pula ada yang tetap menerapkan perbuatan melawan hukum materiil pasca putusan Mahkamah Konstitusi dengan melalui penafsiran dan penemuan hukum (rechtsvinding)[1] baik bersifat progresif maupun konservatif. Pada dimensi ini maka Hakim melakukan pembentukan hukum dengan menetapkan peraturan secara konkrit (law in concreto) atau tegasnya merupakan suatu proses konkritisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum (law in abstracto) dengan mengingat peristiwa konkrit.
Apabila dikaji dari perspektif teoretis dan normatif ada beberapa implikasi tentang dimensi perbuatan melawan hukum materiil pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006 khususnya terhadap eksistensi ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001, yaitu:
Apabila dikaji dari perspektif teoretis dan normatif ada beberapa implikasi tentang dimensi perbuatan melawan hukum materiil pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006 khususnya terhadap eksistensi ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001, yaitu:
(1) Pasca putusan Mahkamah Konstitusi yang menentukan penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 mengakibatkan perbuatan melawan hukum materiil tidak diatur dan mempunyai landasan pijakan sebagai payung hukumnya. Konsekuensi dan implikasi demikian akan mengakibatkan secara normatif pengertian ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 menjadi tidak jelas secara normatif dan implementasinya. Tegasnya, di satu sisi perbuatan melawan hukum materiil dalam perkara tindak pidana korupsi ada dalam kenyataan di masyarakat akan tetapi di sisi lain secara normatif tidak diatur dalam perundang-undangan oleh karena payung hukum perbuatan melawan hukum materiil sebagaimana penjelasan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006 sudah “diamputasi” karena dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
(2) Dalam yurisprudensi tetap (vaste jurisprudentie) yang dianut sejak lama dalam praktik peradilan ternyata Mahkamah Agung RI telah menerapkan adanya perbuatan melawan hukum materiil baik dalam fungsi negatif (Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 42 K/Kr/1965 tanggal 8 Januari 1966, Putusan Mahkamah Agung Nomor: 71/K/1970 tanggal 27 Mei 1972, Putusan Mahkamah Agung Nomor: 81/K/Kr/1973 tanggal 30 Mei 1977) maupun fungsi positif (Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 275 K/Pid/1983 tanggal 29 Desember 1983, Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2477 K/Pid/1988 tanggal 23 Juli 1993, Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1571 K/Pid/1993 tanggal 18 Januari 1995). Konsekuensi logis dimensi demikian membawa suatu polarisasi pemikiran bahwa Mahkamah Agung ingin menjatuhkan hukuman sesuai nuansa dan paradigma asas keadilan yang walaupun tidak diatur dalam UU akan tetapi karena praktik di masyarakat dianggap sebagai sebuah perbuatan tercela, maka aspek demikian tidak dapat dibiarkan dan pelakunya harus dijatuhi hukuman sesuai norma yang hidup dalam masyarakat (living law) dengan tetap mempergunakan parameter asas keadilan.
(3) Dikaji dari perspektif kebijakan pidana maka hakim selaku pemegang kebijakan aplikatif[1] harus menerapkan peraturan perundang-undangan. Oleh karena dimensi demikian maka hakim tidaklah harus berarti menjadi penyambung lidah atau corong UU (bousche de la loi/mouth of the laws) akan tetapi hakim harus dapat menerapkan, sebagai filter dan mengimplementasikan peraturan tersebut yang masih bersifat abstrak terhadap kasus konkrit. Konsekuensi logis dimensi demikian hakim dihadapkan kepada pilihan keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Di satu sisi perbuatan korupsi secara formal (perbuatan melawan hukum formal) tidak ada, akan tetapi di sisi lainnya secara materiil (perbuatan melawan hukum materril) ada maka hakim sebagai kebijakan aplikasi harus menggali, memahami dan menghayati norma-norma hukum yang hidup di dalam masyarakat. Apabila dijabarkan lebih jauh paradigma konteks di atas dikarenakan hakim hidup di masyarakat, menggali dan menetapkan hukum untuk masyarakat, peraturan dibuat untuk suatu masyarakat dan juga tentu harus menjatuhkan hukuman sesuai dengan dimensi keadilan kepada masyakarat pendukungnya di mana hukum itu hidup (living law). Dalam paradigma modern sekarang dapat disebutkan dengan paradigma bahwa, “hakim tidak hidup dalam menara gading”.Dimensi, paradigma, aktualitas dan pemikiran progresif sebagaimana apa yang dikedepankan aliran fragmatic legal realism atau realisme amerika inilah yang coba dikedepankan oleh Mahkamah Agung RI dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 996 K/Pid/2006 tanggal 16 Agustus 2006 atas nama terdakwa Hamdani Amin dan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1974 K/Pid/2006 tanggal 13 Oktober 2006 atas nama terdakwa Prof. Dr. Rusadi Kantaprawira SH dan Putusan Pengadilan Negeri Kepanjen Nomor 91/Pid.B/2008/PN Kpj dan Putusan Negeri Kepanjen Nomor 1079/Pid.B/2007/PN Kpj. Esensi krusial putusan tersebut hakikatnya tetap mempertahankan dan menerapkan perbuatan melawan hukum materiil dalam perkara tindak pidana korupsi pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006 khususnya terhadap eksistensi ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001.
__________________________________
Dosen Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Merdeka Malang dan Universitas Muhammadiyah Malang. Penulis Buku Ilmu Hukum dan Ketua Pengadilan Negeri Kepanjen, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Email: lilikmulyadi@yahoo.com