Perbuatan Melawan Hukum Materiil (Bagian IV - Selesai)
Apabila dijabarkan lebih detail ada beberapa argumentasi yang diterapkan oleh Majelis Hakim Mahkamah Agung dengan melakukan suatu penemuan hukum terhadap tetap diterapkannya perbuatan melawan hukum materiil sebagaimana norma yang diatur dalam penjelasan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001. Pertama, Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006 khususnya terhadap eksistensi ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka yang dimaksud dengan unsur “melawan hukum” menjadi tidak jelas rumusannya. Oleh karena itu berdasarkan doctrine “Sens-Clair” (la doctrine du senclair) hakim harus melakukan penemuan hukum dengan memperhatikan ketentuan Pasal 28 ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 2004 yang menentukan, “Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”, karena menurut ketentuan Pasal 16 ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 2004, “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya”. Selain itu juga Hakim dalam mencari makna “melawan hukum” seharusnya mencari dan menemukan kehendak publik yang bersifat unsur pada saat ketentuan tersebut diberlakukan pada kasus konkrit. Tegasnya, sebagaimana disebutkan Hamaker bahwa hakim seyogianya mendasarkan putusannya sesuai dengan kesadaran hukum dan penerapan hukum yang sedang hidup di dalam masyarakatnya ketika putusan itu dijatuhkan, oleh karena itu menurut I.H. Hymans hanya putusan hukum yang sesuai dengan kesadaran hukum dan kebutuhan hukum warga masyarakatnya yang merupakan “hukum dalam makna sebenarnya”.[1] Konklusi dasarnya, sebagaimana dikatakan Lie Oen Hock bahwa, “apabila kita memperhatikan UU, ternyata bagi kita bahwa UU tidak saja menunjukan banyak kekurangan-kekurangan, tapi seringkali juga tidak jelas. Walaupun demikian hakim harus melakukan peradilan. Teranglah, bahwa dalam hal sedemikian UU memberi kuasa kepada hakim untuk menetapkan sendiri maknanya ketentuan UU itu atau artinya suatu kata yang tidak jelas dalam suatu ketentuan UU. Dan hakim boleh menafsir suatu ketentuan UU secara gramatikal atau historis baik “rechts maupun wetshistoris”, secara sistimatis atau secara sosiologis atau dengan cara memperbandingkan hukum.[2] Kedua, Mahkamah Agung dalam memberi makna unsur “secara melawan hukum” dalam Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 memperhatikan doktrin dan Yurispudensi Mahkamah Agung RI yang berpendapat bahwa unsur “secara melawan hukum” dalam tindak pidana korupsi adalah mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil dan mengenai perbuatan melawan hukum dalam fungsi positif dan negatifnya, yang pengertiannya Mahkamah Agung berpedoman pada:
- Bahwa “Tujuan diperluasnya unsur perbuatan “melawan hukum”, yang tidak saja dalam pengertian formil, namun meliputi perbuatan melawan hukum secara materiil, adalah untuk mempermudah pembuktiannya di persidangan, sehingga suatu perbuatan yang dipandang oleh masyarakat sebagai melawan hukum secara materiil atau tercela perbuatannya, dapatlah pelaku dihukum melakukan tindak pidana korupsi, meskipun perbuatannya itu tidak melawan hukum secara formil.[3]
- Bahwa berdasarkan pengertian melawan hukum menurut Pasal 1 ayat (1) sub a UU Nomor 3 Tahun 1971, tidak hanya melanggar peraturan yang ada sanksinya melainkan mencakup pula perbuatan yang bertentangan dengan keharusan atau kepatutan dalam pergaulan masyarakat atau dipandang tercela oleh masyarakat.
- Bahwa dari butir 2 Surat Menteri Kehakiman RI tanggal 11 Juli 1970 sebagai pengantar diajukannya RUU Nomor 3 Tahun 1971 dapat disimpulkan pengertian perbuatan melawan hukum secara materiil adalah dititikberatkan pada pengertian yang diperoleh dari hukum tidak tertulis, hal ini tersirat dari surat tersebut yang pada pokoknya berbunyi, “Maka untuk mencakup perbuatan-perbuatan yang sesungguhnya bersifat koruptif akan tetapi sukar dipidana, karena tidak didahului suatu kejahatan atau pelanggaran dalam RUU ini dikemukakan saran “melawan hukum” dalam rumusan tindak pidana korupsi, yang pengertiannya juga meliputi perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma yang lazim atau yang bertentangan dengan keharusan dalam pergaulan hidup untuk bertindak cermat terhadap orang lain, barang maupun haknya”.
- Bahwa sejalan dengan politik hukum untuk memberantas korupsi dalam Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 29 Desember 1983 Nomor 275 K/Pid/1983, untuk pertama kalinya dinyatakan secara tegas bahwa korupsi secara materiil melawan hukum, karena perbuatan tersebut adalah perbuatan yang tidak patut, tercela dan menusuk perasaan hati masyarakat banyak, dengan memakai tolok ukur asas-asas hukum yang bersifat umum menurut kepatutan dalam masyarakat.
- Bahwa yurisprudensi dan doktrin merupakan sumber hukum formil selain UU dan kebiasaan serta traktat yang dapat digunakan oleh Mahkamah Agung dalam kasus konkrit yang dihadapinya, yurisprudensi tentang makna perbuatan melawan hukum dalam arti formil dan dalam arti materiil harus tetap dijadikan pedoman untuk terbinanya konsistensi penerapannya dalam perkara-perkara tindak pidana korupsi, karena sudah sesuai dengan kesadaran hukum dan perasaan hukum yang sedang hidup dalam masyarakat, kebutuhan hukum warga masyarakat, nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Demikianlah beberapa argumentasi sebagai ratio decidendi mengapa perbuatan melawan hukum materiil dalam perkara tindak pidana korupsi tetap dipertahankan eksistensinya pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006.
D. KONKLUSI
Dikaji dari perspektif normatif berdasarkan ketentuan UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 maka tindak pidana korupsi bersifat extra ordinary crimes sehingga diperlukan penanggulangan yang bersifat luar biasa (extra ordinary enforcement) dan tindakan-tindakan luar biasa pula (extra ordinary measures). Konsekuensi logis aspek demikian maka hendaknya relatif tiada ruang dan dimensi suatu perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan UU, asas kepatutan dan dianggap tercela oleh masyarakat tidak dilakukan suatu tindakan hukum. Oleh karena itu, perbuatan melawan hukum materiil dalam yurisprudensi baik dalam fungsi negatif (Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 42 K/Kr/1965 tanggal 8 Januari 1966, Putusan Mahkamah Agung Nomor: 71/K/1970 tanggal 27 Mei 1972, Putusan Mahkamah Agung Nomor: 81/K/Kr/1973 tanggal 30 Mei 1977) maupun fungsi positif (Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 275 K/Pid/1983 tanggal 29 Desember 1983, Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2477 K/Pid/1988 tanggal 23 Juli 1993, Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1571 K/Pid/1993 tanggal 18 Januari 1995) yang diterapkan oleh Mahkamah Agung pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006 mengalami keadaan “mati suri”. Akan tetapi berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 996 K/Pid/2006 tanggal 16 Agustus 2006 dan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1974 K/Pid/2006 tanggal 13 Oktober 2006 maka penerapan perbuatan melawan hukum materiil seolah terasa “hidup kembali”. Tugas, fungsi dan peranan hakim asasnya memberikan keadilan karena itu UU memberi independensi kepada hakim ketika memutus perkara dan doktrin memberikan cara dengan melakukan penafsiran dan penemuan hukum guna pembentukan hukum baru yang diterapkan pada kasus konkrit (law in concreto). Hakim bukanlah sebagai penyambung lidah atau corong UU (bouche de la loi/mouth of the laws), akan tetapi Hakim hendaknya harus mempunyai dimensi, paradigma, aktualitas dan pemikiran progresif seperti yang dikedepankan aliran fragmatic legal realism atau realisme amerika. Sekarang terpulang kepada Hakim yang bersangkutan, apakah akan memutus sesuai yurisprudensi ataukah tidak karena secara normatif, teoretis, doktrin dan praktik peradilan jurisprudensi di Indonesia tidak bersifat sebagai “the binding force of precedent” akan tetapi relatif bersifat sebagai “pressuasieve of precedent”.
*****
DAFTAR PUSTAKA
- A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 1995
- Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis Dan Sosilogis), Penerbit PT Toko Gunung Agung Tbk., Jakarta, 2002
- Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan, Penerbit Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2007
- ————————–, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998
- ————————–, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1996
- Bambang Poernomo, Pandangan Terhadap Asas-Asas Umum Hukum Acara Pidana, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1982
- H. Muchsin, Ikhtisar Ilmu Hukum, Penerbit IBLAM, Jakarta, 2006
- Indriyanto Seno Adjie, ”Kendala Administrative Penal Law Sebagai Tindak Pidana Korupsi & Pencucian Uang”, Paper, Jakarta, 2007
- ————————–, Korupsi Dan Hukum Pidana, Penerbit Kantor Pengacara & Konsultan Hukum “Prof. Oemar Seno Adji & Rekan”, Jakarta, 2002
- Jan Remmelink, Hukum Pidana Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting Dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003
- J.M. van Bemmelen, Hukum Pidana 1 Hukum Pidana Material Bagian Umum, Penerbit Bina Cipta, Bandung, 1979
- L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit Pradnya Paramita, Jakarta, 2005
- Lilik Mulyadi, Asas Pembalikan Beban Pembuktian Terhadap Tindak Pidana Korupsi Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia Pasca Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003, Penerbit Alumni, Bandung, 2007
- ——————, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Normatif, Teoretis, Praktik dan Masalahnya), Penerbit PT Alumni, Bandung, 2007
- ——————, Pergeseran Perspektif Dan Praktik Dari Mahkamah Agung Republik Indonesia Mengenai Putusan Pemidanaan, Majalah Varia Peradilan, Tahun Ke XXI No. 246, Mei, 2006, Penerbit Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), Jakarta
- Lie Oen Hock, Jurisprudensi Sebagai Sumber Hukum, Pidato Diucapkan Pada Waktu Pengresmian Pemangkuan Jabatan Guru Besar Luar Biasa Dalam Ilmu Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia Pada Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Dari Universitas Indonesia Di Jakarta Pada Tanggal 19 September 1959, Penerbit PT Penerbitan Universitas, Bandung, Cetakan keempat, 1965
- M. Cherif Bassiouni, Substantive Criminal Law, Charles C. Thomas Publisher, Springfield, Illionis, USA, 1978
- Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Penerbit Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2002
- Romli Atmasasmita, Strategi Dan Kebijakan Pemberantasan Korupsi Pasca Konvensi PBB Menentang Korupsi Tahun 2003: Melawan Kejahatan Korporasi, Paper, Jakarta, 2006
- ——————-, Strategi dan Kebijakan Hukum Dalam Pemberantasan Korupsi Melawan Kejahatan Korporasi di Indonesia: Membentuk Ius Constituendum Pasca Ratifikasi Konvensi PBB Menentang Korupsi Tahun 2003, Paper, Jakarta, 2006
- ——————, Strategi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Di Sektor Swasta Dalam Lingkup Konvensi PBB Anti Korupsi 2003, Paper, Jakarta, 2006
- ——————-, Indonesia Pasca Konvensi PBB Menentang Korupsi, Paper, Jakarta, 2006
- ——————-, Strategi Pemberantasan Korupsi Di Indonesia, Paper, Jakarta, 2006
- ——————-, Ratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Korupsi Dan Implikasinya Terhadap Sistem Hukum Pidana Indonesia, Paper, Jakarta, 2006
- ——————, Desain Pemberantasan Korupsi, Paper, Jakarta, 2006
- ——————, Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan Aspek Internasional, Penerbit CV Mandar Maju, Bandung, 2004
- Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000
- Yurisprudensi Mahkamah Agung Tahun 1970, Penerbit Mahkamah Agung RI, Jakarta, 1970
__________________________________
Dosen Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Merdeka Malang dan Universitas Muhammadiyah Malang. Penulis Buku Ilmu Hukum dan Ketua Pengadilan Negeri Kepanjen, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Email: lilikmulyadi@yahoo.com